Sabtu, 05 Oktober 2019

Makna Perarakan Masuk Dalam Perayaan Ekaristi

Print Friendly and PDF

Rombongan putra altar sudah siap di depan pintu luar sakristi. Ketika seorang putra altar akan memasukkan dupa ke dalam pedupaan yang dipegang kawannya, putra altar lain yang lebih senior menegur: ”Hei, jangan dulu! Yang mengisi itu nanti pastor!” Dijawab: ”Ah, untuk ngisi begini aja kenapa harus pastor sih?” Perdebatan kecil segera berakhir, karena sang putra altar yunior mau memahami dan mengikuti ”petunjuk” seniornya.

Ketika imam sudah bergabung dalam rombongan, petugas pedupaan menghadap imam. Imam pun segera mengisikan dupa ke dalam pedupaan. Lalu, tanpa mengucapkan sesuatu, ia memberi berkat tanda salib untuk pedupaan yang sudah mengepulkan asap dan beraroma itu. Aksi pertama imam sebagai pemimpin perayaan itu menandai dimulainya perarakan masuk, awal Perayaan Ekaristi.

Saat imam bersama para petugas lainnya memasuki ruang perayaan adalah bagian dari Ritus Pembuka. Perarakan masuk selalu menjadi unsur pertama dari Ritus Pembuka dalam Misa yang wajar. Maka, lebih tepat dikatakan bahwa Misa selalu diawali dengan perarakan masuk, bukan dengan nyanyian atau bahkan tanda salib. Ini sebuah keharusan, karena sang imamlah yang akan menentukan kelangsungan Misa. Hanya imam yang mendapat kewenangan dari uskup yang boleh merayakan Ekaristi.

Seluruh unsur dalam Ritus Pembuka bersifat mengantar dan mempersiapkan jemaat untuk dapat mendengarkan Sabda Allah (dalam Liturgi Sabda), yang kemudian memuncak dalam persatuan dengan Tubuh Kristus (dalam Liturgi Ekaristi). Tujuan utama dan paling mendasar dari Ritus Pembuka adalah agar kesatuan jemaat dapat sungguh terwujud. Umat dipersatukan satu sama lain, dipersatukan dengan Gereja sedunia, bahkan dengan Allah. Maka, umat yang berkumpul harus menjadi jemaat (congregatus) yang bersekutu di bawah pimpinan Kristus.

Di tengah umat itu imam mewakili uskupnya yang tak dapat hadir. Uskup sendirilah yang sebenarnya menghadirkan kembali Kristus sebagai kepala jemaat, Gereja. Imam pun sekaligus tampil sebagai Kristus dan pemimpin jemaat. Busana liturgis yang dikenakannya tidak untuk ”sekadar tampil beda”, tapi untuk menopang hakikat perannya itu. Imam sedang memerankan sosok pribadi yang suci.

Busananya menyinarkan cahaya kekudusan dan kemuliaan. Busana profan sehari-hari tampaknya tidak memenuhi persyaratan simbolisme ini. Bagaimanapun bentuk fisiknya, seorang imam sepantasnya berusaha sebaik mungkin tampil sebagai pribadi Kristus. Dalam perarakan masuk, ia disambut jemaat dengan berdiri, tanda penghormatan.

Yesus Kristus pernah bersabda bahwa bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya, maka Ia hadir di tengah mereka. Ketika imam bergabung dengan jemaat maka kesatuan Gereja pun diperteguh dan kehadiran Kristus dinyatakan.

Tampilnya imam sebagai lambang kehadiran Kristus di tengah jemaat didukung beberapa unsur. Unsur-unsur itu dibawa para petugas dengan urutan sebagai berikut: dupa berasap, salib perarakan diapit dua lilin bernyala, dan yang istimewa adalah Evangeliarium, kitab Injil yang dimuliakan dan nanti diletakkan di atas altar sebelum dibawakan sebagai puncak Liturgi Sabda.

Jika seorang uskup menjadi selebran (pemimpin Misa), maka jumlah lilin dan petugas masih bisa ditambah. Sebutlah cara ini sebagai bentuk perarakan meriah. Perarakan meriah biasa dilakukan pada waktu khusus, misalnya untuk Misa tingkat hari raya, Misa ritual (seperti Misa tahbisan), atau Misa stasional (seperti Misa Krisma sebelum Tri Hari Paskah) yang dipimpin uskup.

Cara yang lain adalah perarakan sederhana. Cukuplah imam disertai satu atau dua pelayan altar, tanpa unsur-unsur pendukung seperti layaknya dalam cara meriah. Atau bahkan, imam hanya sendirian memasuki ruang perayaan. Memang ini amat sederhana tapi sudah memenuhi syarat minimal.

Dua bentuk perarakan itu dapat diiringi nyanyian. Dalam cara sederhana tidak diharuskan ada nyanyian. Namun, cara meriah sudah semestinya diiringi nyanyian yang sesuai. Namanya juga ”meriah”, tentu akan tampak aneh jika rombongan yang sudah keren dengan segala atribut kelengkapannya memasuki gereja tanpa iringan apa pun.

Perjalanan menuju puncak dimulai dengan perarakan masuk ini. Sebuah perjumpaan telah terjadi dan peristiwa keselamatan pun akan dirajut dalam jalinan ritual sepanjang Perayaan Ekaristi.

Penulis: Christophorus H. Suryanugraha OSC
- HidupKatolik.com
--Deo Gratias--

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP