Peringatan Wajib Santo Pius X, 21 Agustus
Santo Pius lahir dengan nama Guiseppe (Yosef) Sarto di desa kecil yang bernama Riese (Venesia, Italia bagian utara) pada tanggal 2 Juni 1835. Orangtuanya bukanlah orang penting atau ternama di mata masyarakat, namun mereka adalah orang-orang Katolik yang saleh. Mereka mengasuh dan membesarkan anak-anak mereka yang sepuluh orang itu dalam suatu zaman ‘susah’.
Pastor paroki sangat tertarik pada diri Guiseppe, sang pemimpin para putera altar yang berperilaku baik itu. Dia membantu Guiseppe dalam pendidikannya. Pada tahun 1858 Guiseppe ditahbiskan sebagai seorang imam praja. Sembilan tahun lamanya dia bertugas sebagai imam tentara di Tombolo. Tombolo terletak di provinsi Padua di kawasan Veneto, 45 km sebelah barat laut Venesia dan sekitar 25 km sebelah utara kota Padua.
Romo Guiseppe mempunyai seorang Fransiskan besar sebagai ‘idola’-nya, yaitu Santo Leonardus dari Port Maurice (1676-1751). Santo Leonardus ini adalah model bagi Romo Guiseppe dalam hidupnya dan juga pada mimbar ketika berkhotbah. Kesalehan Romo Guiseppe juga patut diteladani. Pada jam 4 pagi, dia sudah kelihatan berlutut di depan tabernakel.
Sembilan tahun lamanya Romo Guiseppe berkarya sebagai pastor paroki di Salzano (sekitar 15 km dari kota Venesia). Pada waktu ditugaskan si Salzano inilah Romo Guiseppe bergabung dengan Ordo Ketiga Santo Fransiskus (sekular) dan kemudian mendirikan dua persaudaraan Ordo Ketiga Sekular.[2] Sejak saat itu Romo Guiseppe berupaya serius agar kata-kata yang diucapkannya serta tulisan-tulisannya diwarnai dengan kesederhanaan dan keugaharian standar-standar kehidupan Fransiskan, semuanya demi pencapaian cita-cita dari Bapak Serafik.
Seusai penugasan di Salzano – untuk kurun waktu sembilan tahun lamanya – Romo Guiseppe diangkat menjadi Vikjen, kanon dan wali-pengawas seminari di keuskupan Treviso (di kawasan Veneta, dekat Venesia). Banyak orang mengatakan, bahwa Romo Guiseppe tidak akan mati di Treviso. Ternyata memang demikianlah, karena kemudian Romo Guiseppe diangkat menjadi uskup Mantua , sebuah kota di Lombardy, untuk sembilan tahun lamanya. Sebagai seorang uskup, tidak ada perubahan yang terjadi dalam kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Uskup Guiseppe tetap tidak menunjukkan toleransi samasekali terhadap pesta-pesta perjamuan yang mewah. Baginya kegiatan kerasulan dalam bidang pers sangatlah penting karena merupakan mimbar zaman modern. Oleh karena itu Uskup Guiseppe mendedikasikan dirinya pada kegiatan kerasulan pers ini. Sementara itu orang-orang miskin adalah favorit-favoritnya.
Uskup Guiseppe kemudian diangkat menjadi seorang kardinal dan Patriark/batrik Venesia, juga untuk sembilan tahun lamanya. Meskipun berada begitu dekat dengan pucuk pimpinan Gereja, Kardinal Guiseppe tetap menjadi anak-rohani yang setia dari bapak-rohaninya, Fransiskus – si kecil miskin dari Assisi.
Kematian Paus Leo XIII pada tahun 1903 membawa Kardinal Guiseppe ke Roma/Vatikan untuk mengikuti pemilihan paus. Siapakah yang akan terpilih? Kardinal Guiseppe Sarto menjawab: “Leo XIII, yang mencerahkan dunia dengan hikmat-kebijaksanaannya akan digantikan oleh seorang paus yang akan membuat dunia terkesan dengan kesucian hidupnya.” ‘Nubuat’ ini digenapi: ternyata dalam konklaf Kardinal Guiseppe Sarto terpilih sebagai paus yang baru dengan nama Pius X.
Tidak lama setelah dipilih menjadi pemimpin tertinggi Gereja, Paus Pius X mengumumkan program kerjanya, yaitu ‘memperbaharui semua hal dalam Kristus’. Pius X melakukan banyak hal dalam hal kebangunan-rohani Gereja, misalnya mendorong penyambutan komuni sejak usia muda dan juga komuni harian. Ia menetapkan pokok-pokok yang diperlukan dalam rangka pencapaian kesucian hidup para klerus. Ia mendorong perkembangan Ordo Ketiga. Yang paling penting, lewat kesucian hidupnya, Paus Pius X membuat dirinya sendiri menjadi contoh bagi orang-orang untuk melakukan pembaharuan hidup rohani mereka.
Paus Pius X terkadang dijuluki ‘Paus Ekaristi’. Beliau tercatat pernah mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Komuni Kudus adalah jalan yang paling singkat dan paling aman untuk menuju surga. Memang ada jalan-jalan lain: keadaan tidak bersalah (innnocence), namun hal ini diperuntukkan bagi anak-anak kecil; pertobatan, namun hal ini menakutkan kita; memikul banyak pencobaan-pencobaan hidup, namun begitu pencobaan-pencobaan itu tiba kita menangis dan mohon dikecualikan/diselamatkan. Jalan yang paling pasti, paling mudah, paling singkat, adalah Ekaristi.” Ucapan beliau ini tentunya mendukung pemberian gelar/ julukan sebagai ‘Paus Ekaristi’.
Meskipun paus, namun ia tetap romo paroki yang penuh pengertian dan cintakasih. Setiap Minggu ia berkhotbah secara sederhana menjelaskan Injil yang dibacakannya kepada hadirin di halaman Vatikan. Kebaikan hati dan kesederhanaannya sangat menonjol.
Kemudian pecah perang dunia yang pertama. Ketika menderita sakit, dari atas pembaringannya Paus Pius X berkata: “Saya ingin menderita. Saya ingin mati bagi para serdadu di medan tempur.” Pada tanggal 20 Agustus 1914 – enam belas hari setelah pecah Perang Dunia I – Paus Pius X dengan penuh kedamaian menghembuskan nafasnya yang terakhir. Wasiatnya mencerminkan jiwa Fransiskannya: “Saya dilahirkan miskin, saya telah hidup miskin, dan saya ingin mati secara miskin pula.”
Semasa hidupnya, Paus Pius X beberapa kali menyembuhkan secara ajaib orang-orang yang sakit jasmani maupun rohani. Setelah kematiannya, banyak terjadi mukjizat pada kuburannya. Proses beatifikasinya dimulai pada tahun 1923. Beatifikasinya dilakukan pada tahun 1951 dan kanonisasinya dilakukan pada tahun 1954.
Sumber : http://www.mirifica.net/2014/08/20/peringatan-wajib-santo-pius-x-21-agustus/
Pastor paroki sangat tertarik pada diri Guiseppe, sang pemimpin para putera altar yang berperilaku baik itu. Dia membantu Guiseppe dalam pendidikannya. Pada tahun 1858 Guiseppe ditahbiskan sebagai seorang imam praja. Sembilan tahun lamanya dia bertugas sebagai imam tentara di Tombolo. Tombolo terletak di provinsi Padua di kawasan Veneto, 45 km sebelah barat laut Venesia dan sekitar 25 km sebelah utara kota Padua.
Romo Guiseppe mempunyai seorang Fransiskan besar sebagai ‘idola’-nya, yaitu Santo Leonardus dari Port Maurice (1676-1751). Santo Leonardus ini adalah model bagi Romo Guiseppe dalam hidupnya dan juga pada mimbar ketika berkhotbah. Kesalehan Romo Guiseppe juga patut diteladani. Pada jam 4 pagi, dia sudah kelihatan berlutut di depan tabernakel.
Sembilan tahun lamanya Romo Guiseppe berkarya sebagai pastor paroki di Salzano (sekitar 15 km dari kota Venesia). Pada waktu ditugaskan si Salzano inilah Romo Guiseppe bergabung dengan Ordo Ketiga Santo Fransiskus (sekular) dan kemudian mendirikan dua persaudaraan Ordo Ketiga Sekular.[2] Sejak saat itu Romo Guiseppe berupaya serius agar kata-kata yang diucapkannya serta tulisan-tulisannya diwarnai dengan kesederhanaan dan keugaharian standar-standar kehidupan Fransiskan, semuanya demi pencapaian cita-cita dari Bapak Serafik.
Seusai penugasan di Salzano – untuk kurun waktu sembilan tahun lamanya – Romo Guiseppe diangkat menjadi Vikjen, kanon dan wali-pengawas seminari di keuskupan Treviso (di kawasan Veneta, dekat Venesia). Banyak orang mengatakan, bahwa Romo Guiseppe tidak akan mati di Treviso. Ternyata memang demikianlah, karena kemudian Romo Guiseppe diangkat menjadi uskup Mantua , sebuah kota di Lombardy, untuk sembilan tahun lamanya. Sebagai seorang uskup, tidak ada perubahan yang terjadi dalam kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Uskup Guiseppe tetap tidak menunjukkan toleransi samasekali terhadap pesta-pesta perjamuan yang mewah. Baginya kegiatan kerasulan dalam bidang pers sangatlah penting karena merupakan mimbar zaman modern. Oleh karena itu Uskup Guiseppe mendedikasikan dirinya pada kegiatan kerasulan pers ini. Sementara itu orang-orang miskin adalah favorit-favoritnya.
Uskup Guiseppe kemudian diangkat menjadi seorang kardinal dan Patriark/batrik Venesia, juga untuk sembilan tahun lamanya. Meskipun berada begitu dekat dengan pucuk pimpinan Gereja, Kardinal Guiseppe tetap menjadi anak-rohani yang setia dari bapak-rohaninya, Fransiskus – si kecil miskin dari Assisi.
Kematian Paus Leo XIII pada tahun 1903 membawa Kardinal Guiseppe ke Roma/Vatikan untuk mengikuti pemilihan paus. Siapakah yang akan terpilih? Kardinal Guiseppe Sarto menjawab: “Leo XIII, yang mencerahkan dunia dengan hikmat-kebijaksanaannya akan digantikan oleh seorang paus yang akan membuat dunia terkesan dengan kesucian hidupnya.” ‘Nubuat’ ini digenapi: ternyata dalam konklaf Kardinal Guiseppe Sarto terpilih sebagai paus yang baru dengan nama Pius X.
Tidak lama setelah dipilih menjadi pemimpin tertinggi Gereja, Paus Pius X mengumumkan program kerjanya, yaitu ‘memperbaharui semua hal dalam Kristus’. Pius X melakukan banyak hal dalam hal kebangunan-rohani Gereja, misalnya mendorong penyambutan komuni sejak usia muda dan juga komuni harian. Ia menetapkan pokok-pokok yang diperlukan dalam rangka pencapaian kesucian hidup para klerus. Ia mendorong perkembangan Ordo Ketiga. Yang paling penting, lewat kesucian hidupnya, Paus Pius X membuat dirinya sendiri menjadi contoh bagi orang-orang untuk melakukan pembaharuan hidup rohani mereka.
Paus Pius X terkadang dijuluki ‘Paus Ekaristi’. Beliau tercatat pernah mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Komuni Kudus adalah jalan yang paling singkat dan paling aman untuk menuju surga. Memang ada jalan-jalan lain: keadaan tidak bersalah (innnocence), namun hal ini diperuntukkan bagi anak-anak kecil; pertobatan, namun hal ini menakutkan kita; memikul banyak pencobaan-pencobaan hidup, namun begitu pencobaan-pencobaan itu tiba kita menangis dan mohon dikecualikan/diselamatkan. Jalan yang paling pasti, paling mudah, paling singkat, adalah Ekaristi.” Ucapan beliau ini tentunya mendukung pemberian gelar/ julukan sebagai ‘Paus Ekaristi’.
Meskipun paus, namun ia tetap romo paroki yang penuh pengertian dan cintakasih. Setiap Minggu ia berkhotbah secara sederhana menjelaskan Injil yang dibacakannya kepada hadirin di halaman Vatikan. Kebaikan hati dan kesederhanaannya sangat menonjol.
Kemudian pecah perang dunia yang pertama. Ketika menderita sakit, dari atas pembaringannya Paus Pius X berkata: “Saya ingin menderita. Saya ingin mati bagi para serdadu di medan tempur.” Pada tanggal 20 Agustus 1914 – enam belas hari setelah pecah Perang Dunia I – Paus Pius X dengan penuh kedamaian menghembuskan nafasnya yang terakhir. Wasiatnya mencerminkan jiwa Fransiskannya: “Saya dilahirkan miskin, saya telah hidup miskin, dan saya ingin mati secara miskin pula.”
Semasa hidupnya, Paus Pius X beberapa kali menyembuhkan secara ajaib orang-orang yang sakit jasmani maupun rohani. Setelah kematiannya, banyak terjadi mukjizat pada kuburannya. Proses beatifikasinya dimulai pada tahun 1923. Beatifikasinya dilakukan pada tahun 1951 dan kanonisasinya dilakukan pada tahun 1954.
Sumber : http://www.mirifica.net/2014/08/20/peringatan-wajib-santo-pius-x-21-agustus/