Istilah dan Makna Doksologi
Kfr. Riston P. Situmorang, OSC
Istilah doksologi berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata δόξα [dόxa] yang berarti kemuliaan. Sebagai bagian penutup dari Doa Ekaristi atau sering disebut dengan Doa Syukur Agung, rumusan doksologi bermaksud untuk mewartakan kemuliaan Tuhan. Kata doksologi yang dalam bahasa Latin doxologia atau gloria dapat juga diterjemahkan dengan kemuliaan, penghormatan, pujian atau keluhuran. Kita sebagai manusia mempersembahkan pujian dan penghormatan untuk memuliakan dan meluhurkan keagungan Tuhan. Ada proses glorifikasi yang bergerak dari manusia menuju dan kepada Allah. Joseph Jungmann pernah berkata bahwa dalam doksologi kita dapat menemukan “sense” dari sebuah doa. Sebagai ciptaan, kita manusia bersembah sujud di hadapan Sang Pencipta sebab kemuliaan-Nya sungguh tak terbatas dan jauh melampaui apa yang dipikirkan oleh manusia.
Dengan kata lain, doksologi adalah suatu doa atau madah pujian yang melambungkan kemuliaan dan keagungan Allah. Doksologi adalah pemuliaan yang mengungkapkan keagungan rahmat dan pujian bagi Allah. Doksologi adalah misteri penyelamatan dalam hidup kita. Melalui Putra-Nya, Bapa menciptakan segala sesuatu; melalui-Nya, Bapa menebus dosa manusia dan terus menerus menyempurnakannya dengan kemuliaan-Nya. Melalui Kristus dan dalam persekutuan dengan Roh Kudus, Bapa memberi kehidupan bagi segala ciptaan, memberkatinya dan menjadikannya lebih baik dan berkembang.
Doksologi Dalam Tradisi Gereja
Dalam Tradisi Gereja dikatakan bahwa pada masa tertentu sekitar abad ke-4, setiap doa selalu diakhiri dengan doksologi, meskipun doksologi sudah dipakai sejak awal dalam doa di sinagoga dengan rumusan akhir: tibi gloria in sæcula sæculorum. St. Yustinus dalam Apologia menegaskan bahwa doksologi sebagai penutup doa selalu diakhiri dengan kata “Amen”. St. Basilius dalam buku De Spiritu Sancto menganjurkan untuk memakai forma “Kemuliaan kepada Bapa dan Putra dan Roh Kudus” dalam setiap doa umat beriman untuk menunjukkan identitas dan dimensi trinitas termasuk untuk menentang bidaah Arianisme. Gagasan ini kemudian didukung oleh beberapa Bapa Gereja seperti St. Hippolitus dan Origenes dan bahkan penggunaan doksologi secara meluas dipakai dalam devosi seperti doa Rosario.
Kitab Suci juga menunjukkan adanya penggunaan doksologi walaupun dalam konteks dan rumusan yang berbeda. Surat rasul Paulus kepada umat di Roma berbunyi: “Bagi Dia, yang menguatkan kamu, bagi Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin (bdk. Rm. 16:25-27). Bentuk doksologi yang demikian adalah suatu doksologi panjang yang juga terdapat dalam surat rasul Paulus kepada umat di Efesus: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin (Ef 3:21). Masih di abad ke-4, pemakaian doksologi diletakkan pada bagian akhir dalam setiap mazmur yang didaraskan dalam brevir. Formulasi doksologi yang digunakan tersebut masih berlaku sampai sekarang dalam “Liturgi Harian”.
Pembagian Doksologi
Seiring dengan perkembangan sejarah Liturgi, formulasi doksologi pun mengalami perkembangan variasi rumusan yang disesuaikan dengan penggunaannya dalam Liturgi. Oleh karena itu, kita dapat membedakan beberapa rumusan doksologi:
1. Berdasarkan tingkatan formulasi
Ada dua motivasi mengapa Gereja patut mendoakan doksologi dalam suatu doa: yang pertama, anugerah penciptaan. Allah menciptakan alam semesta dan segalanya. Dengan demikian, semua ciptaan adalah anugerah cinta-Nya. Maka, kita bersyukur atas ciptaan tersebut dengan memuliakan nama-Nya. Yang kedua, anugerah penebusan dan keselamatan. Gereja bersyukur karena Kristuslah yang menebus dosa-dosa manusia dan menyelamatkan umat manusia. Melalui sengsara dan kematian serta kebangkitan Kristus, semakin nyatalah kemuliaan Allah.
Ucapan syukur Gereja atas anugerah ciptaan dan penebusan serta keselamatan ini menggambarkan dimensi trinitaris yaitu hidup kristiani yang berasal dari Allah, melalui Yesus Kristus dan dihidupi dalam Roh Kudus: “Per ipsum, et cum ipso, et in ipso, est tibi Deo Patri omnipotenti, in unitate Spiritus Sancti, omnis honor et gloria, per omnia saecula saeculorum. Amen”. Per ipsum berarti melalui Dia yang adalah Kristus, cum ipso berarti hidup bersama dengan Kristus dan in ipso berarti hanya ada dalam Kristus semata.
Per Ipsum menunjukkan pentingnya Kristus sebagai Sang Perantara. Melalui Dia, kemuliaan Allah semakin tampak dari buah-buah yang dihasilkan dalam kehidupan kita masing-masing: “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15: 5). Melalui Kristus, kita dapat bersatu dengan Bapa sebab tidak ada jalan selain melalui Dia: “Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 4: 6).
Cum Ipso menunjukkan bahwa kita hidup bersama dengan Kristus dan karena itu Ia selalu menyertai kita. Dia tidak hanya berada di atas atau di hadapan kita tetapi juga berada di antara dan bersama dengan kita: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20).
In Ipso menunjukkan bahwa hidup kita ada dalam Kristus sehingga kita tidak bisa hidup, bernafas, berdoa, mencintai atau tindakan apapun jika tidak dalam Dia. Hanya dalam Dia, peristiwa keselamatan dapat terjadi.
Doksologi Dalam Misa
Dengan penjelasan doksologi di atas, semoga kita dapat menempatkan rumusan yang tepat dan memakai formulasi yang sesuai dengan ritusnya. Beberapa kekeliruan yang terjadi dan patut diminimalisir adalah:
https://osc.or.id/kom-liturgi/
Istilah doksologi berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata δόξα [dόxa] yang berarti kemuliaan. Sebagai bagian penutup dari Doa Ekaristi atau sering disebut dengan Doa Syukur Agung, rumusan doksologi bermaksud untuk mewartakan kemuliaan Tuhan. Kata doksologi yang dalam bahasa Latin doxologia atau gloria dapat juga diterjemahkan dengan kemuliaan, penghormatan, pujian atau keluhuran. Kita sebagai manusia mempersembahkan pujian dan penghormatan untuk memuliakan dan meluhurkan keagungan Tuhan. Ada proses glorifikasi yang bergerak dari manusia menuju dan kepada Allah. Joseph Jungmann pernah berkata bahwa dalam doksologi kita dapat menemukan “sense” dari sebuah doa. Sebagai ciptaan, kita manusia bersembah sujud di hadapan Sang Pencipta sebab kemuliaan-Nya sungguh tak terbatas dan jauh melampaui apa yang dipikirkan oleh manusia.
Dengan kata lain, doksologi adalah suatu doa atau madah pujian yang melambungkan kemuliaan dan keagungan Allah. Doksologi adalah pemuliaan yang mengungkapkan keagungan rahmat dan pujian bagi Allah. Doksologi adalah misteri penyelamatan dalam hidup kita. Melalui Putra-Nya, Bapa menciptakan segala sesuatu; melalui-Nya, Bapa menebus dosa manusia dan terus menerus menyempurnakannya dengan kemuliaan-Nya. Melalui Kristus dan dalam persekutuan dengan Roh Kudus, Bapa memberi kehidupan bagi segala ciptaan, memberkatinya dan menjadikannya lebih baik dan berkembang.
Doksologi Dalam Tradisi Gereja
Dalam Tradisi Gereja dikatakan bahwa pada masa tertentu sekitar abad ke-4, setiap doa selalu diakhiri dengan doksologi, meskipun doksologi sudah dipakai sejak awal dalam doa di sinagoga dengan rumusan akhir: tibi gloria in sæcula sæculorum. St. Yustinus dalam Apologia menegaskan bahwa doksologi sebagai penutup doa selalu diakhiri dengan kata “Amen”. St. Basilius dalam buku De Spiritu Sancto menganjurkan untuk memakai forma “Kemuliaan kepada Bapa dan Putra dan Roh Kudus” dalam setiap doa umat beriman untuk menunjukkan identitas dan dimensi trinitas termasuk untuk menentang bidaah Arianisme. Gagasan ini kemudian didukung oleh beberapa Bapa Gereja seperti St. Hippolitus dan Origenes dan bahkan penggunaan doksologi secara meluas dipakai dalam devosi seperti doa Rosario.
Kitab Suci juga menunjukkan adanya penggunaan doksologi walaupun dalam konteks dan rumusan yang berbeda. Surat rasul Paulus kepada umat di Roma berbunyi: “Bagi Dia, yang menguatkan kamu, bagi Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin (bdk. Rm. 16:25-27). Bentuk doksologi yang demikian adalah suatu doksologi panjang yang juga terdapat dalam surat rasul Paulus kepada umat di Efesus: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin (Ef 3:21). Masih di abad ke-4, pemakaian doksologi diletakkan pada bagian akhir dalam setiap mazmur yang didaraskan dalam brevir. Formulasi doksologi yang digunakan tersebut masih berlaku sampai sekarang dalam “Liturgi Harian”.
Pembagian Doksologi
Seiring dengan perkembangan sejarah Liturgi, formulasi doksologi pun mengalami perkembangan variasi rumusan yang disesuaikan dengan penggunaannya dalam Liturgi. Oleh karena itu, kita dapat membedakan beberapa rumusan doksologi:
1. Berdasarkan tingkatan formulasi
- Doksologi maior atau doksologi meriah yaitu doksologi dengan rumusan panjang yang dipakai dalam Ritus Pembuka khususnya dalam Ritus “Gloria”: “Kemuliaan kepada Allah di surga dan damai di bumi…. Hanya Engkaulah mahatinggi, ya Yesus Kristus, bersama dengan Roh Kudus, dalam kemuliaan Allah Bapa. Amin”. Dasar biblisnya dapat ditemukan dalam Luk 2:14 : “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya”.
- Doksologi minor atau doksologi sederhana yaitu doksologi dengan rumusan pendek yang dipakai pada bagian akhir doa offisi atau bagian penutup doa-doa kita yang lain: Gloria Patri, et Filio, et Spiritui Sancto. Sicut erat in principio, et nunc, et semper, et in saecula saeculorum. Amen, “Kemuliaan kepada Bapa dan Putera, dan Roh Kudus, seperti pada permulaan sekarang selalu dan sepanjang segala abad. Amin”.
- Doksologi Trinitaris yaitu doksologi yang lengkap dan berdimensi trinitaris yakni pujian kepada Allah Bapa, dengan pengantaraan Putera-Nya, dan dalam persatuan dengan Roh Kudus (konklusi trinitaris). Doksologi ini dipakai sebagai penutup Doa Pembuka (Collecta) dengan tiga alternatif formulasinya (bdk. PUMR 54):
- Kalau doa diarahkan kepada Bapa: “Dengan pengantaraan Yesus Kristus Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, kini dan sepanjang masa”.
- Kalau doa diarahkan kepada Bapa, tetapi pada akhir doa disebut juga Putra: “Sebab Dialah Tuhan, pengantara kami, yang bersama dengan Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, kini dan sepanjang masa”.
- Kalau doa diarahkan kepada Putra: Sebab Engkaulah Tuhan, pengantara kami, yang bersama dengan Bapa, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, kini dan sepanjang masa.
- Selain itu, doksologi trinitaris digunakan juga pada bagian akhir dari Doa Ekaristi. Doksologi ini sering juga disebut dengan doksologi meriah: “Dengan pengantaraan Kristus, bersama Dia, dan dalam Dia, bagi-Mu Allah Bapa yang mahakuasa, dalam persekutuan dengan Roh Kudus, segala hormat dan kemuliaan sepanjang segala masa. Amin”.
- Doksologi Kristologis yaitu doksologi singkat yang bersifat Kristologis: “Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami” atau “…dalam diri Yesus, Putra-Mu, Tuhan dan pengantara kami”. Doksologi ini digunakan pada bagian penutup doa atas persembahan (oratio super oblata), doa sesudah komuni (oratio post communionem), dan termasuk doa umat (doa non-presidensial).
Ada dua motivasi mengapa Gereja patut mendoakan doksologi dalam suatu doa: yang pertama, anugerah penciptaan. Allah menciptakan alam semesta dan segalanya. Dengan demikian, semua ciptaan adalah anugerah cinta-Nya. Maka, kita bersyukur atas ciptaan tersebut dengan memuliakan nama-Nya. Yang kedua, anugerah penebusan dan keselamatan. Gereja bersyukur karena Kristuslah yang menebus dosa-dosa manusia dan menyelamatkan umat manusia. Melalui sengsara dan kematian serta kebangkitan Kristus, semakin nyatalah kemuliaan Allah.
Ucapan syukur Gereja atas anugerah ciptaan dan penebusan serta keselamatan ini menggambarkan dimensi trinitaris yaitu hidup kristiani yang berasal dari Allah, melalui Yesus Kristus dan dihidupi dalam Roh Kudus: “Per ipsum, et cum ipso, et in ipso, est tibi Deo Patri omnipotenti, in unitate Spiritus Sancti, omnis honor et gloria, per omnia saecula saeculorum. Amen”. Per ipsum berarti melalui Dia yang adalah Kristus, cum ipso berarti hidup bersama dengan Kristus dan in ipso berarti hanya ada dalam Kristus semata.
Per Ipsum menunjukkan pentingnya Kristus sebagai Sang Perantara. Melalui Dia, kemuliaan Allah semakin tampak dari buah-buah yang dihasilkan dalam kehidupan kita masing-masing: “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15: 5). Melalui Kristus, kita dapat bersatu dengan Bapa sebab tidak ada jalan selain melalui Dia: “Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 4: 6).
Cum Ipso menunjukkan bahwa kita hidup bersama dengan Kristus dan karena itu Ia selalu menyertai kita. Dia tidak hanya berada di atas atau di hadapan kita tetapi juga berada di antara dan bersama dengan kita: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20).
In Ipso menunjukkan bahwa hidup kita ada dalam Kristus sehingga kita tidak bisa hidup, bernafas, berdoa, mencintai atau tindakan apapun jika tidak dalam Dia. Hanya dalam Dia, peristiwa keselamatan dapat terjadi.
Doksologi Dalam Misa
Dengan penjelasan doksologi di atas, semoga kita dapat menempatkan rumusan yang tepat dan memakai formulasi yang sesuai dengan ritusnya. Beberapa kekeliruan yang terjadi dan patut diminimalisir adalah:
- Pada bagian Doa Pembuka (Collecta), doksologi yang digunakan adalah doksologi trinitaris yang lengkap. Akan tetapi, tidak jarang kita mendoakan doksologi yang kurang lengkap baik karena menghilangkan kata “Roh Kudus” maupun karena mengganti rumusan doksologi yang tepat sesuai PUMR no 54 dengan rumusan yang lebih singkat.
- Pada bagian Doa Atas Persembahan (oratio super oblata), Doa Sesudah Komuni (oratio post communionem), dan termasuk Doa Umat (oratio fidelis), doksologi yang dipakai adalah doksologi kristologis yang singkat. Justru sebaliknya, tidak jarang kita menggantinya dengan rumusan trinitaris yang lengkap atau rumusan yang lebih panjang.
- Pada bagian akhir Doa Syukur Agung, doksologi harusnya dibawakan oleh semua imam sedangkan doksologi sebagai bagian doa presidensial harusnya hanya dibawakan oleh selebran utama saja dan bukan didoakan bersama-sama dengan imam konselebran, diakon, apalagi mengajak umat.
https://osc.or.id/kom-liturgi/