Berlutut Setelah Menerima Komuni
Berlutut merupakan salah satu gerak tubuh yang penting dalam/selama perayaan Ekaristi selain gerak tubuh lainnya seperti duduk, berdiri atau membungkuk. Setiap gerak tubuh memiliki makna yang berbeda selama liturgi. Jika demikian, apa makna berlutut? Mengapa ada bagian tertentu dari Perayaan Ekaristi di mana umat harus berlutut?
Bagian pertama dari Perayaan Ekaristi terdiri dari bacaan-bacaan suci dan homili. Kecuali ketika mendengar bacaan Injil di mana kita berdiri, kita mendengar bacaan-bacaan pertama dan kedua sambil duduk. Marilah kita ingat, bahwa Perayaan Ekaristi tidak hanya terdiri dari liturgi sabda, tetapi juga liturgi ekaristi. Ada banyak bagian dalam liturgi ekaristi di mana kita berdoa sambil berlutut, dan itulah wujud paling nyata dari sikap kerendahan hati kita di hadapan Allah.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan kerendahan hati bahwa Allah telah menganugerahkan keselamatan juga kepada orang-orang bukan Yahudi, Paulus menyatakannya dengan berlutut dan berdoa di hadapan Bapa (Efesus 4:14). Dan ketika hendak menyembuhkan Tabita, Rasul Petrus juga berlutut dan berdoa kepada Allah (Kis 9:40). Gerak tubuh berlutut telah menjadi kebiasaan dan tradisi yang dipraktikkan dalam Gereja Katolik sejak abad pertama. Santo Ambrosius mengatakan bahwa berlutut adalah sikap kerendahan hati yang tidak hanya mengekspresikan rasa tobat kita, tetapi sekaligus juga dapat meredakan murka Allah (St. Ambrose, Hexaem., VI, ix). Dan tradisi ini terus kita pertahankan sampai sekarang.
Jadi, ketika ditanyakan mengapa kita harus berlutut, jawabannya adalah karena itulah sikap tubuh yang paling sempurna yang menunjukkan kerendahan hati. Berlutut menjadi sikap pengakuan dan penyerahan diri kita kepada otoritas yang ada di hadapan kita itu. Dalam konteks perayaan liturgis, sikap berlutut menunjukkan pengakuan kita akan kekudusan dan kebesaran Allah.
Selama Perayaan Ekaristi, kita berlutut sejak menyerukan atau menyanyikan "Kudus" (Sanctus) sampai ketika akan menerima komuni kudus. Inilah momen di mana terjadi transubstansiasi, saat roti dan anggur berupa rupa menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dalam kerendahan hati dan rasa tidak pantas, kita menyambut mukjizat transubstansiasi itu sekaligus mengungkapkan pengakuan kita kepada kekudusan, kebesaran dan otoritas Allah yang sedang hadir di antara kita.
Kita mulai berdiri sejak Doa Damai. Ketika giliran untuk menerima komuni kudus tiba, kita kemudian berdiri dan berjalan secara sopan ke arah imam atau prodiakon dan menerima komuni kudus dalam sikap yang sopan. Kita berlutut lagi setelah menyambut komuni. Mengapa kita harus berlutut setelah menerima komuni kudus dan sampai bagian apa kita masih harus berlutut? Apakah kita sudah boleh duduk setelah selesai berdoa secara pribadi padahal komuni masih dibagikan?
Menurut Pedoman Umum Misale Romawi, umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengizinkan. Konferensi Uskup memang diberi wewenang untuk menyelaraskan tata gerak dan sikap tubuh dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan ciri khas dan tradisi yang sehat yang berlaku pada suatu negara/bangsa tertentu. Meskipun demikian, Takhta Suci mengehendaki agar Konferensi Uskup menjamin bahwa penyerasian itu selaras dengan makna dan ciri khas bagian dari perayaan Ekarisi bersangkutan. Misalnya, kalau umat sudah terbiasa berlutut sejak Kudus sampai akhir Doa Syukur Agung, kebiasaan ini seharusnya dipertahankan (lihat Pedoman Umum Misale Romawi, Komisi Liturgi KWI-Penerbit Nusa Indah, Ende: 2002, No. 43).
Beberapa keuskupan di Amerika Serikat, misalnya, mendorong umat untuk berlutut setelah menyambut komuni dan terus dalam keadaan berlutut sampai orang terakhir menerima komuni kudus atau bahkan sampai ketika imam atau diakon telah selesai membersihkan piala dan siborium dan mengembalikan sisa hosti ke dalam Tabernakel. Itu karena keyakinan bahwa selama pintu Tabernakel dibuka, sikap umat adalah menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada Tuhan Yesus. Tetapi praktik semacam ini bukan merupakan sebuah ketentuan yang sifatnya ketat (rigid) dan harus diberlakukan di seluruh dunia.
Di berbagai keuskupan di Indonesia, umat biasanya berlutut beberapa saat setelah menerima Komuni Kudus. Selama momen ini, umat biasanya mengucap syukur dan memanjatkan doa-doa permohonan pribadi, mengucap syukur, memuji dan memuliakan Allah secara pribadi. Setelah itu, umat boleh duduk. Komuni kudus memang bisa dan biasanya diselingi dengan nyanyian komuni oleh anggota koor. Meskipun demikian, karena ini adalah saat hening sesudah komuni dan umat diizinkan duduk (Pedoman Umum Misale Romawi, Komisi Liturgi KWI-Penerbit Nusa Indah, Ende: 2002, No. 43), hendaknya momen ini dijadikan sebagai kesempatan untuk merenungkan sekali lagi Sabda Tuhan misteri keselamatan Kristus, memadukannya dengan Sabda Allah yang dibacakan selama liturgi sabda dan membawanya dalam doa dan komunikasi yang intim dengan Allah sendiri (Lihat misalnya Buku Puji Syukur No. 211).
Di atas semuanya itu, berlutut adalah sebuah sikap batin kerendahan hati dan penyerahan diri total kepada Allah. Semoga gerak tubuh yang diekspresikan selama perayaan Ekaristi membantu kita untuk semakin dekat dengan Allah yang hadir dan mengorbankan diri-Nya bagi keselamatan kita.
Sumber: https://www.parokimbk.or.id/
Bagian pertama dari Perayaan Ekaristi terdiri dari bacaan-bacaan suci dan homili. Kecuali ketika mendengar bacaan Injil di mana kita berdiri, kita mendengar bacaan-bacaan pertama dan kedua sambil duduk. Marilah kita ingat, bahwa Perayaan Ekaristi tidak hanya terdiri dari liturgi sabda, tetapi juga liturgi ekaristi. Ada banyak bagian dalam liturgi ekaristi di mana kita berdoa sambil berlutut, dan itulah wujud paling nyata dari sikap kerendahan hati kita di hadapan Allah.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan kerendahan hati bahwa Allah telah menganugerahkan keselamatan juga kepada orang-orang bukan Yahudi, Paulus menyatakannya dengan berlutut dan berdoa di hadapan Bapa (Efesus 4:14). Dan ketika hendak menyembuhkan Tabita, Rasul Petrus juga berlutut dan berdoa kepada Allah (Kis 9:40). Gerak tubuh berlutut telah menjadi kebiasaan dan tradisi yang dipraktikkan dalam Gereja Katolik sejak abad pertama. Santo Ambrosius mengatakan bahwa berlutut adalah sikap kerendahan hati yang tidak hanya mengekspresikan rasa tobat kita, tetapi sekaligus juga dapat meredakan murka Allah (St. Ambrose, Hexaem., VI, ix). Dan tradisi ini terus kita pertahankan sampai sekarang.
Jadi, ketika ditanyakan mengapa kita harus berlutut, jawabannya adalah karena itulah sikap tubuh yang paling sempurna yang menunjukkan kerendahan hati. Berlutut menjadi sikap pengakuan dan penyerahan diri kita kepada otoritas yang ada di hadapan kita itu. Dalam konteks perayaan liturgis, sikap berlutut menunjukkan pengakuan kita akan kekudusan dan kebesaran Allah.
Selama Perayaan Ekaristi, kita berlutut sejak menyerukan atau menyanyikan "Kudus" (Sanctus) sampai ketika akan menerima komuni kudus. Inilah momen di mana terjadi transubstansiasi, saat roti dan anggur berupa rupa menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dalam kerendahan hati dan rasa tidak pantas, kita menyambut mukjizat transubstansiasi itu sekaligus mengungkapkan pengakuan kita kepada kekudusan, kebesaran dan otoritas Allah yang sedang hadir di antara kita.
Kita mulai berdiri sejak Doa Damai. Ketika giliran untuk menerima komuni kudus tiba, kita kemudian berdiri dan berjalan secara sopan ke arah imam atau prodiakon dan menerima komuni kudus dalam sikap yang sopan. Kita berlutut lagi setelah menyambut komuni. Mengapa kita harus berlutut setelah menerima komuni kudus dan sampai bagian apa kita masih harus berlutut? Apakah kita sudah boleh duduk setelah selesai berdoa secara pribadi padahal komuni masih dibagikan?
Menurut Pedoman Umum Misale Romawi, umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengizinkan. Konferensi Uskup memang diberi wewenang untuk menyelaraskan tata gerak dan sikap tubuh dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan ciri khas dan tradisi yang sehat yang berlaku pada suatu negara/bangsa tertentu. Meskipun demikian, Takhta Suci mengehendaki agar Konferensi Uskup menjamin bahwa penyerasian itu selaras dengan makna dan ciri khas bagian dari perayaan Ekarisi bersangkutan. Misalnya, kalau umat sudah terbiasa berlutut sejak Kudus sampai akhir Doa Syukur Agung, kebiasaan ini seharusnya dipertahankan (lihat Pedoman Umum Misale Romawi, Komisi Liturgi KWI-Penerbit Nusa Indah, Ende: 2002, No. 43).
Beberapa keuskupan di Amerika Serikat, misalnya, mendorong umat untuk berlutut setelah menyambut komuni dan terus dalam keadaan berlutut sampai orang terakhir menerima komuni kudus atau bahkan sampai ketika imam atau diakon telah selesai membersihkan piala dan siborium dan mengembalikan sisa hosti ke dalam Tabernakel. Itu karena keyakinan bahwa selama pintu Tabernakel dibuka, sikap umat adalah menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada Tuhan Yesus. Tetapi praktik semacam ini bukan merupakan sebuah ketentuan yang sifatnya ketat (rigid) dan harus diberlakukan di seluruh dunia.
Di berbagai keuskupan di Indonesia, umat biasanya berlutut beberapa saat setelah menerima Komuni Kudus. Selama momen ini, umat biasanya mengucap syukur dan memanjatkan doa-doa permohonan pribadi, mengucap syukur, memuji dan memuliakan Allah secara pribadi. Setelah itu, umat boleh duduk. Komuni kudus memang bisa dan biasanya diselingi dengan nyanyian komuni oleh anggota koor. Meskipun demikian, karena ini adalah saat hening sesudah komuni dan umat diizinkan duduk (Pedoman Umum Misale Romawi, Komisi Liturgi KWI-Penerbit Nusa Indah, Ende: 2002, No. 43), hendaknya momen ini dijadikan sebagai kesempatan untuk merenungkan sekali lagi Sabda Tuhan misteri keselamatan Kristus, memadukannya dengan Sabda Allah yang dibacakan selama liturgi sabda dan membawanya dalam doa dan komunikasi yang intim dengan Allah sendiri (Lihat misalnya Buku Puji Syukur No. 211).
Di atas semuanya itu, berlutut adalah sebuah sikap batin kerendahan hati dan penyerahan diri total kepada Allah. Semoga gerak tubuh yang diekspresikan selama perayaan Ekaristi membantu kita untuk semakin dekat dengan Allah yang hadir dan mengorbankan diri-Nya bagi keselamatan kita.
Sumber: https://www.parokimbk.or.id/