Tampilkan postingan dengan label Busana Liturgi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Busana Liturgi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 Agustus 2019

Busana Liturgis Imam dalam Misa

BUSANA LITURGI

Setiap mengikuti perayaan ekaristi, kita selalu melihat Pakaian dan warna yang dikenakan imam yang berperan sebagai In Persona Christi dalam memimpin ekaristi. Pakaian yang rata-rata orang menyebutnya dengan istilah "JUBAH" (meskipun sebenarnya bukan...) terdiri dari beberapa lapis dan beberapa bagian, di mana masing-masing bagian memiliki makna dan memiliki tata cara dengan doa saat imam mengenakannya.

Busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa mengalami perkembangan seturut berjalannya waktu. Namun demikian, sejak masa-masa awali Gereja, busana liturgis telah dikenakan oleh para imam untuk merayakan Misa. Walau para imam dari Perjanjian Lama mengenakan busana liturgis dalam ritus-ritus liturgis mereka, namun busana-busana liturgis “Kristiani” tidak sungguh diambil dari sana; tetapi, busana-busana liturgis Kristiani ini merupakan perkembangan dari busana Graeco-Romawi, termasuk budaya religiusnya. Meski begitu, gagasan dari Perjanjian Lama mengenai suatu busana khusus yang harus dikenakan dalam melaksanakan ritus-ritus liturgis sungguh mempengaruhi Gereja. St Hieronimus menegaskan, “Agama Ilahi memiliki satu busana dalam pelayanan hal-hal kudus, dan busana lain dalam interaksi dan hidup sehari-hari.”

Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313M, Gereja terus menyempurnakan “siapa mengenakan apa, bilamana, dan bagaimana” hingga sekitar tahun 800 ketika norma-norma liturgis perihal busana pada dasarnya distandarisasi dan tetap sama hingga pembaharuan sesudah Konsili Vatikan Kedua. Untuk itu marilah kita lihat bersama terdiri dari apa saja pakaian yang dikenakan imam saat memimpin ekaristi satu persatu.

AMIK (Tanda Perlindungan)

Amik adalah selembar kain lenan putih berbentuk segi empat dengan dua tali panjang di dua ujungnya. Imam mengenakannya sekeliling leher, menutupi bahu dan pundak, menyilangkan kedua tali di depan (membentuk salib St Andreas), dan lalu membawa tali ke belakang punggung, melilitkannya sekeliling pinggang dan mengikatkannya dengan suatu simpul.

Tujuan praktis amik adalah untuk menutupi jubah biasa imam, dan untuk menyerap keringat dari kepala dan leher. Di kalangan Graeco-Romawi, amik adalah penutup kepala, seringkali dikenakan di bawah topi baja para prajurit Romawi untuk menyerap keringat, dengan demikian mencegah keringat menetes ke mata.

Tujuan rohani amik adalah mengingatkan imam akan nasehat St Paulus, “Terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17).

Doa ketika mengenakan amik:
“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”


ALBA, Citra Kekudusan

Alba adalah pakaian putih panjang hingga sebatas pergelangan kaki, dan memiliki lengan panjang hingga pergelangan tangan. Kata “alba” dalam bahasa Latin artinya “putih”. Alba adalah pakaian luar yang umum dikenakan di kalangan Graeco-Romawi dan mirip dengan soutane yang dikenakan di Timur Tengah. Tetapi, mereka yang berwenang mengenakan alba dengan kualitas yang lebih baik dengan aneka sulaman atau gambar. Beberapa alba modern memiliki kerah sehingga amik tidak diperlukan lagi.

Tujuan rohani alba adalah mengingatkan imam akan pembaptisannya, saat kain putih diselubungkan padanya guna melambangkan kemerdekaannya dari dosa, kemurnian hidup baru, dan martabat Kristiani. Di samping itu, Kitab Wahyu menggambarkan para kudus yang berdiri sekeliling altar Anak Domba di surga sebagai “Orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (7:14). Demikian pula imam wajib mempersembahkan Misa dengan kemurnian tubuh dan jiwa, dan dengan kelayakan martabat imamat Kristus. Di beberapa negara tropis, termasuk Indonesia, jika tidak ada alba, maka dapat dipakai jubah yang berwarna putih.

Doa ketika mengenakan alba:
“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”


SINGEL, Tali Kesucian

Singel adalah tali yang tebal dan panjang dengan jumbai-jumbai pada kedua ujungnya, yang diikatkan sekeliling pinggang untuk mengencangkan / merapikan alba. Singel merupakan simbol nilai kemurnian hati dan pengekangan diri. Singel dapat berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Di kalangan Graeco-Romawi, singel adalah bagaikan ikat pinggang.

Tujuan rohani singel adalah mengingatkan imam akan nasehat St Petrus, “Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Pet 1:13-15).

Doa ketika mengenakan singel:
“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”


STOLA, Lambang Penugasan Resmi

Stola adalah semacam selendang panjang, kira-kira 4 inci (± 10 cm) lebarnya, warnanya sama dengan kasula, yang dikalungkan pada leher. Stola diikatkan di pinggang dengan singel. Stola merupakan simbol bahwa pemakainya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakannya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan. Sebelum pembaharuan Konsili Vatikan Kedua, stola disilangkan di dada imam untuk melambangkan salib. Stola juga berasal dari budaya masa lampau. Para rabi mengenakan selendang doa dengan jumbai-jumbai sebagai tanda otoritas mereka. Stola yang disilangkan juga merupakan simbolisme dari ikat pinggang bersilang yang dikenakan para prajurit Romawi: satu ikat pinggang dengan pedang di pinggang, dan ikat pinggang lainnya dengan kantong perbekalan, misalnya air dan makanan. Dalam arti ini, stola mengingatkan imam bukan hanya pada otoritas dan martabatnya sebagai imam, melainkan juga tugas kewajibannya untuk mewartakan Sabda Allah dengan gagah berani dan penuh keyakinan (“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun” Ibr 4:12) dan untuk melayani kebutuhan umat beriman. Sekarang, imam mengenakan stola yang dikalungkan pada leher dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak disilangkan. Stola yang sempit biasanya dikenakan di dalam kasula, sedangkan stola yang lebar dikenakan di atas kasula.

Doa ketika mengenakan stola:
“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.”


KASULA, Lambang Cinta dan Pengorbanan

Kasula, disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba dan stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan. Selama berabad-abad model kasula telah mengalami beberapa perubahan dan variasi. Kasula berasal dari kata Latin “casula” yang artinya “rumah”; kasula di kalangan Graeco-Romawi serupa sebuah mantol tanpa lengan yang sepenuhnya menutupi tubuh dan melindungi si pemakai dari cuaca buruk.

Tujuan rohani kasula adalah mengingatkan imam akan kasih dan pengurbanan Kristus, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14).

Doa ketika mengenakan kasula:
“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”


Pada Abad Pertengahan, muncul dua interpretasi populer mengenai makna busana liturgis ini. Interpretasi yang paling umum menafsirkan busana liturgis sebagai simbol sengsara Yesus: kain yang digunakan prajurit untuk menutup muka-Nya (amik) dan jubah (alba) sementara Ia diolok-olok dan disesah; tali-temali dan belenggu (singel) yang membelenggu-Nya sepanjang penderaan; salib (stola) yang Ia panggul; dan jubah tak berjahit (kasula) yang atasnya para prajurit membuang undi. Interpretasi lain yang juga populer lebih berfokus pada busana itu dari asal-usulnya yang dari militer Romawi, yang dipandang sebagai simbol imam sebagai laskar Kristus yang berperang melawan dosa dan setan.

Pada intinya, busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa memiliki dua tujuan utama. Pertama, “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (Pedoman Umum Misale Romawi No. 335). Kedua, busana liturgis mengilhami imam dan semua umat beriman untuk merenungkan arti simboliknya yang kaya makna.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Liturgical Vestments” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
tambahan : “Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Busana Liturgis”; Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia)
gambar : “Vestments” by Father Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

baca selanjutnya...

Minggu, 03 Februari 2013

Mengenal Busana Liturgi Uskup

Yang dimaksud busana liturgi uskup dalam hal ini adalah busana yang dikenakan uskup saat upacara-upacara liturgi, termasuk di antaranya Misa, Ibadat Harian dan berbagai kesempatan memberikan sakramen dan sakramental.

Selain busana liturgi, uskup juga mempunyai busana resmi dan busana sehari-hari, yang dikenakan dalam acara-acara yang bukan upacara liturgi. Contohnya, saat menerima tamu, menghadiri berbagai rapat dan undangan, dan termasuk juga menghadiri wisuda universitas Katolik.

Pada prinsipnya busana liturgi uskup yang paling mendasar dan pertama adalah yang dalam Caeremoniale Episcoporum (CE-Tata Upacara Para Uskup) disebut sebagai Habitus Choralis, seperti yang dikenakan oleh Uskup Surabaya YM Vincentius Sutikno Wisaksono pada gambar di samping, yaitu: jubah ungu setakat mata kaki (1) dan sabuk sutera ungu (2); rochet dari linen atau bahan sejenis (3); mozeta ungu (4); salib pektoral, dengan tali anyaman warna hijau-emas (5) (bukan dengan rantai); pileola ungu (6), yang mungkin lebih dikenal dengan nama solideo atau zucchetto; bireta ungu (7); cincin (8); dan stocking/kaos kaki ungu (tidak terlihat).

Jubah ungu (1) adalah jubah liturgi uskup. Sama dengan jubah resminya yang berwarna hitam/putih, jubah ungu ini dilengkapi dengan aksen warna merah (bukan ungu) di bagian tepi, lubang kancing dan kancing. Yang beda, bagian lengan bawah jubah ungu ini, yang ditekuk ke atas sekitar 20-25 cm, dilapis dengan sutera warna merah.

Sabuk sutera ungu (2) uskup untuk keperluan liturgi dan non liturgi sama saja barangnya. Sabuk ini dikenakan di dada bagian bawah, bukan di pinggang.

Rochet (3) adalah busana khusus uskup yang mirip dengan superpli. Bedanya, bagian lengan rochet sempit dan superpli (seharusnya) lebih lebar. Biasanya, bagian bawah badan dan lengan rochet terbuat dari renda yang cukup lebar.

Mozeta ungu (4) adalah mantol kecil yang hanya boleh dipakai oleh uskup. Sebelum reformasi aturan busana di tahun 1969, mozeta bahkan hanya boleh dipakai uskup kala ia berada di dalam wilayah keuskupannya. Selain uskup, ada beberapa ordo dan kanon reguler, yang sejak ratusan tahun lalu oleh Paus diberikan hak mengenakan mozeta (dengan warna lain). Termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah para Fransiskan, Karmelit, Dominikan dan Kanon Reguler Salib Suci. Mozeta atau apapun namanya, yang bentuknya mirip dengannya, hendaknya tidak dikenakan oleh misdinar, seperti yang marak belakangan ini.

Salib pektoral pasangan jubah ungu harus digantung dengan tali anyaman warna hijau-emas (5). Untuk jubah resmi warna hitam/putih, salib pektoral digantung dengan rantai. Salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas mozeta. Dalam Misa, salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas alba dan di bawah kasula dan dalmatik pontifikal (bukan di atas kasula). (Bdk. CE 61)

Pileola atau solideo atau zucchetto ungu (6) adalah topi bundar dan kecil. Sesuai tradisi, pileola sebenarnya dikenakan oleh semua klerus. Pileola imam berwarna hitam, uskup ungu, kardinal merah dan Paus putih. (Catatan: Seturut tradisi, jubah imam berwarna hitam; meski begitu, putih selalu boleh digunakan imam, uskup dan kardinal di daerah tropis) Awalnya, pileola adalah pelindung kepala dari hawa dingin, untuk dikenakan oleh semua klerus yang sudah di-tonsura (dicukur gundul, seperti sering kita lihat pada gambar/patung St. Fransiskus Asisi atau St. Antonius Padua).

Bireta ungu (7) adalah topi segi empat yang dikenakan di atas pileola. Bireta uskup berwarna ungu dan bireta imam berwarna hitam, keduanya dilengkapi dengan pom yang sewarna. Bireta kardinal berwarna merah, terbuat dari sutera bermotif air, dan tidak dilengkapi dengan pom.

Cincin (8) senantiasa dikenakan uskup, sebagai simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya. (Bdk. CE 1199)

Cappa Magna atau mantol kebesaran uskup warnanya ungu, seperti tampak pada gambar di samping. Cappa magna tradisional dalam foto di samping panjangnya 8 meter. Cappa magna modern panjangnya hanya 4.5 meter, baik untuk uskup maupun kardinal. Cappa magna boleh dikenakan uskup hanya di dalam wilayah keuskupannya dan untuk perayaan-perayaan yang paling agung. (Bdk. CE 1200)

Uskup mengenakan busana liturgi tersebut di atas saat ia bepergian secara resmi di depan publik ke atau dari gereja, saat ia hadir dalam suatu upacara liturgi tetapi tidak memimpinnya, dan dalam berbagai kesempatan lain yang dinyatakan dalam Caeremoniale Episcoporum. (Bdk. CE 1202)

Secara khusus, uskup diminta mengenakan busana liturgi di atas saat kunjungan pastoral (Bdk. CE 1179). Saat itu, uskup hendaknya disambut di pintu (gerbang) gereja oleh pastor paroki yang mengenakan cappa/pluviale dan membawa salib untuk diciumnya. Pastor paroki kemudian menyerahkan aspergil dan air suci, agar uskup dapat memberkati dirinya sendiri dan semua yang hadir menyambutnya. (Bdk. CE 1180)

Uskup agung mengenakan jubah liturgi yang persis sama dengan uskup. Kardinal pun juga, hanya saja warnanya merah dan khusus bahan suteranya menggunakan sutera bermotif air. Bahan sutera bermotif air ini hanya boleh dikenakan oleh kardinal dan utusan khusus Paus (misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan). Sutera bermotif air untuk nuntius, yang adalah uskup agung, berwarna ungu.

Selain jubah ungu lengkap dengan asesorisnya tersebut di atas, pada dasarnya hanya ada dua macam busana liturgi yang dikenakan uskup. Keduanya sama juga dengan busana liturgi imam, yaitu Cappa/Pluviale dan Kasula/Planeta. Pluviale dikenakan saat prosesi, saat memberikan berbagai sakramen dan sakramentali, saat memimpin Ibadat Pagi (Laudes) dan Ibadat Sore (Vesper) dan saat Misa, bila ia tidak memimpinnya atau tidak berkonselebrasi. Untuk Ibadat Bacaan, Tengah Hari dan Penutup (Completorium), baik memimpin atau tidak, uskup dapat mengenakan habitus choralis jubah ungu di atas, lengkap dengan asesorisnya. Kasula dikenakan saat Misa.

Singkatnya, busana liturgi mendasar untuk uskup adalah Habitus Choralis di atas, dan untuk upacara liturgi yang lebih meriah, dikenakan Pluviale/Cappa, dan khusus untuk Misa, dikenakan Kasula/Planeta.

Para ahli busana Gereja mengatakan bahwa sebenarnya kasula adalah pluviale yang dijahit di bagian depannya. Keduanya sama-sama berasal dari bahan kain setengah lingkaran. Pluviale juga adalah busana yang umum bagi para biarawan-biarawati dan anggota koor, untuk upacara liturgi yang meriah, sesuai tradisi.

Foto di atas : Saat Perarakan Minggu Palma, Paus mengenakan pluviale dan didampingi dua kardinal diakon yang mengenakan dalmatik. Perhatikan cara kardinal diakon memegang pluviale Paus selama prosesi, sesuai tradisi.

Berikut adalah tambahan asesoris khusus untuk uskup yang mengenakan kasula, untuk dikenakan saat Misa Stasional di Katedral ataupun Misa Agung lainnya (Bdk. CE 56 & 62).

Dalmatik Pontifikal sebenarnya sama dengan dalmatik diakon biasa, hanya yang ini bisa berwarna putih polos saja atau bisa ditambah dengan hiasan garis-garis sederhana. Busana ini dipakai di bawah kasula.
Foto-foto di atas : Saat Pencucian Kaki pada Misa Kamis Putih, Paus melepas kasula, maka nampaklah dalmatik pontifikal yang dikenakannya di bawah kasula, plus juga apron putih yang diikatkan di pinggang, yang biasanya dikenakan saat uskup memberikan sakramen krisma.

Pallium adalah kalung putih yang dikenakan di atas kasula. Pallium adalah asesoris khusus untuk uskup agung metropolitan, yaitu uskup agung yang memimpin suatu keuskupan agung. (Catatan: Ada uskup agung yang tidak memimpin keuskupan agung, misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan dan pejabat-pejabat Kuria Romawi di Vatikan) Pallium dianugerahkan langsung oleh Paus kepada semua metropolitan yang baru diangkat, sekali dalam setahun, pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, (29 Jun) di Vatikan (lihat foto penganugerahan pallium di atas: Paus mengenakan pallium dan uskup agung metropolitan yang berlutut di depannya baru saja menerima pallium dari Paus. Seremoriarius di sebelah kiri, Mgr. Francesco Camaldo, sedang memegang pallium juga). Pallium hanya dikenakan oleh seorang metropolitan saat ia memimpin Misa di dalam wilayah keuskupan agungnya (termasuk dalam wilayah keuskupan sufragannya).

Saat tiba di gereja untuk upacara liturgi, uskup yang mengenakan busana liturgi jubah ungu di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoral, mozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amik, alba, singel, salib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas dan stola. Di atas itu semua, uskup mengenakan pluviale, atau bila ia memimpin atau berkonselebrasi dalam Misa, uskup mengenakan dalmatik pontifikal (untuk Misa Agung) dan kasula serta pallium (untuk Misa Agung, khusus metropolitan).

Berikut adalah tambahan asesoris untuk uskup, saat mengenakan kasula atau pluviale, untuk upacara agung (Bdk. CE 56 & 62).

Mitra bagi seorang uskup kurang lebih sama makna dan kegunaannya dengan mahkota bagi seorang raja. Dalam tradisi Gereja Katolik, ada tiga macam mitra uskup, yaitu mitra preciosa, semi-preciosa dan mitra linen putih polos. Mitra preciosa adalah mitra yang indah dan berharga, seringkali memakai benang emas atau perak dan dilengkapi juga dengan batu permata. Mitra semi-preciosa adalah mitra yang selama ini kita lihat dipakai banyak uskup di Indonesia. Mitra putih polos dari bahan kain linen (atau kain sutera damask untuk kardinal) adalah mitra yang dipakai saat uskup berkonselebrasi, ataupun saat Misa Arwah. Satu catatan kecil, seturut tradisi, lambang uskup dapat digunakan dalam mitra, tetapi penempatannya biasanya di ujung bawah kedua pita besar di belakang dan bukan di bagian depan mitra (lihat foto di atas). Catatan: Pita berujung hitam dan bersalib merah yang ada di tengah adalah pallium, dilihat dari belakang.

Tongkat dipakai uskup hanya dalam wilayah keuskupannya. Uskup tamu yang memimpin suatu upacara agung, atas perkenan uskup diosesan setempat, dapat juga memakai tongkat. Saat beberapa uskup hadir dalam suatu upacara, hanya satu uskup pemimpin upacara yang memakai tongkat. (Bdk. CE 59)

Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 22 No 3 - Mei-Jun 2011.

Sumber :
http://tradisikatolik.blogspot.com/search/label/Piranti%20Liturgi

baca selanjutnya...

Jumat, 12 Oktober 2012

Busana Asisten Imam

Bagaimana model jubah Asisten Imam yang benar? Atau tepatnya, seperti apa busana yang harusnya dikenakan Asisten Imam atau Pro Diakon yang nama resminya adalah Pelayan Komuni Tak Lazim? Bagaimana aturan gereja Katolik mengenai hal ini? Di beberapa gereja yang sempat saya kunjungi ada praktik-praktik yang sudah baik dan benar, tapi ada pula yang menyalahi aturan liturgi atau menyimpang dari tradisi gereja Katolik.

Pedoman Umum Misale Romawi menyebut bahwa "Busana liturgis yang lazim digunakan oleh semua pelayan liturgi, tertahbis maupun tidak tertahbis, ialah alba, yang dikencangi dengan singel, kecuali kalau bentuk alba itu memang tidak menuntut singel. Kalau alba tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka dikenakan amik sebelum alba. ..." (PUMR 336) Lebih lanjut ditulis "Akolit, lektor dan pelayan awam lain boleh mengenakan alba atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gereja yang bersangkutan." (PUMR 339)

Di atas adalah pasal-pasal yang membolehkan Pelayan Komuni Tak Lazim pakai alba. Saya perlu garis bawahi di sini, membolehkan, bukan mengharuskan. Lho, jadi Asisten Imam tidak harus pakai alba? Jawabnya tidak, bahkan tidak harus pakai busana liturgis apapun. Busana awam sehari-hari pun juga boleh. Memang, di Vatikan nggak ada Pelayan Komuni Tak Lazim (karena jumlah imam yang bisa bantu bagi komuni sudah lebih dari cukup); dalam kasus ini Vatikan nggak bisa kita jadikan acuan. Yang jelas, di Vatikan Lektor nggak pakai busana liturgis apapun. Lektor yang adalah awam, ya berbusana awam, sopan dan rapi. Di Amerika Serikat, Pelayan Komuni Tak Lazim dan Lektor pun berbusana awam biasa. Kesimpulannya, sekali lagi tidak harus pakai busana liturgis apapun, tapi seandainya toh mau pakai, bisa pakai alba.

Di foto paling atas, para pelayan komuni tak lazim di Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya memakai alba model Roma, dengan ploi/lipit (lipatan), dan dikencangkan dengan singel. Mungkin lebih jelas lagi di foto yang hanya seorang AI ini. Longgar sekali memang alba ini, di bagian bawah kelilingnya 3 meter. Itu yang bikin indah. Oh ya, alba ini nggak semahal yang dibayangkan orang. Berikut singelnya harganya nggak lebih dari Rp 180.000. Silakan klik di foto untuk memperbesar.

Masih ada lagi yang bisa disimpulkan dari aturan di atas. Yang pertama, amik, alba dan singel bukanlah monopoli imam. Amik, alba dan singel adalah busana semua pelayan liturgi, tertahbis (uskup, imam dan diakon) maupun tidak (awam). Yang kedua, sekiranya dipandang perlu untuk menggunakan busana lain (selain alba), adalah konferensi uskup yang berhak memutuskannya (bukan seorang uskup, sekalipun untuk wilayahnya sendiri). Yang ketiga, yang benar adalah alba, bukan jubah.

Apa sebenarnya beda alba dengan jubah? Kita semua pernah melihat imam atau uskup pakai jubah. Biasanya jubah dibuat dari bahan yang relatif lebih tebal jika dibandingkan dengan alba. Harusnya jubah klerus dibuat dari wol atau bahan yang setara mutunya (Ut Sive Sollicite 1969). Pada bagian badan atas sampai dengan pinggang, jubah tidak longgar, pas di badan. Alba biasanya dibuat dari bahan yang relatif lebih tipis dari jubah dan berukuran besar (longgar) dari atas sampai ke bawah, makanya perlu diikat dengan singel. Alba selalu berwarna putih, jubah tidak. Bahkan, menurut tradisi katolik jubah warna putih sebenarnya merupakan privilese paus. Kalau mau tahu lebih detil boleh baca artikel saya tentang Busana Imam ini.

Yang terakhir yang mau saya sampaikan, kalau mau pakai busana liturgis ya pakailah alba dan singel (plus amik, kalau perlu). Itu aja. Jangan ditambah apa-apa lagi, kawatirnya malah jadi salah. Coba lihat Busana AI di foto sebelah ini. Yang pertama, ini adalah jubah, bukan alba, jadi kurang tepat. Lalu, ada tambahan asesoris salib dada. Ini juga kurang tepat dan bahkan menyalahi aturan busana gereja Katolik, karena salib dada (cruce pectoralis), model apapun, merupakan privilese uskup. Kalau mau tahu lebih detil juga, boleh baca artikel saya yang lain tentang Busana Uskup.

Sumber : http://tradisikatolik.blogspot.com/search/label/Lektor

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP