Menjadi Imam, Biarawan Dan Biarawati: Antara Pilihan Dan Panggilan Hidup
Suatu saat sesudah acara tahbisan, seorang neomis (imam baru) memberi kata sambutan. Dalam sambutan itu, dia menyebutkan: “Saya bangga atas prestasi yang saya capai ini, yaitu boleh menerima martabat imamat suci ini”. Mendengar kata-kata itu, banyak orang bertepuk tangan tanda memuji. Tetapi ada beberapa tamu undangan spontan komentar: “Prestasi apaan? Menjadi imam kok sebuah prestasi?” Jawabnya adalah: Iya dan tidak! Tetapi, lebih lebih tepat kalau dikatakan tidak, sebab menjadi imam, biarawan dan biarawati adalah cara hidup khusus yang dikehendaki pertama-tama oleh Allah. Bahkan seorang imam bisa melakukan hal-hal yang mengagumkan semata-mata karena kuasa dari Allah. “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku yang memilih kamu ..” (Yoh 15, 16). Jadi, adakah umat manusia masih memiliki hak untuk memilih? Saat memilih itu kuasa Allah bekerja, sehingga tidak mungkin manusia memilih sesuatu yang salah sejauh mau membuka hati terhadap kehendak Allah.
TAHUN HIDUP BHAKTI
Tahun 2015 oleh Gereja Universal dicanangkan sebagai Tahun Hidup Bhakti. Intinya Gereja mendukung panggilan hidup sebagai imam, biarawan dan biarawati. Kelangsungan kehidupan menggereja tidak pernah dilepaskan dari panggilan hidup imam, biarawan dan biarawati. Di sisi lain panggilan hidup bhakti tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan umat asal dan tempat mereka menumbuhkan iman. Maka tidak berlebihan apabila Bapa Paus Fransiskus meminta umat untuk berkontribusi dan memberikan perhatian terhadap panggilan hidup menjadi imam, biarawan dan biarawati. Pertanyaannya adalah: peranan dan tindakan apakah yang bisa dilakukan oleh umat baik dalam komunitas maupun personal untuk mendukung dan mengisi tahun hidup bhakti tersebut?
Pertama: jangan biarkan suara panggilan yang terdengar atau menggema dalam diri orang muda hanya lewat begitu saja. Seringkali kita mendengar ada anak-anak atau orang muda yang menyatakan keinginannya untuk menjadi imam, biarawan, atau biarawati. Kalau kita mau jujur dari ribuan bahkan jutaan orang belum tentu satu orang saja merasakan panggilan tersebut. Dengan kata lain suara panggilan itu sangat khas dan unik, maka janganlah dibiarkan begitu saja apalagi sampai dihalang-halangi atau dilarang. Orang muda tersebut harus sungguh-sungguh mencari penegasan dan mohon penerangan Roh Kudus untuk memurnikan suara itu, melalui refleksi dan doa.
Kedua: Banyak imam, bruder, frater atau suster memilih panggilan tersebut karena dahulu pernah ditawarkan oleh orang tua atau pembimbing rohaninya entah waktu kecil atau pada momen tertentu. Ternyata tawaran itu cukup memiliki arti penting di kemudian hari, tatkala mereka akan memutuskan cita-cita hidupnya. Kalau demikian para orang tua atau para pembimbing rohani perlu menawarkan kepada anak-anak bahwa menjadi imam, biarawan atau biarawati menjadi salah satu panggilan atau cita-cita hidup mereka. Harapannya tentunya bahwa tawaran itu suatu saat menggema dan ditanggapi secara positif oleh kaum muda.
Ketiga: imam, biarawan-biarawati membutuhkan dukungan doa. Proses pendidikan atau formatio, hidup dan karya mereka seringkali penuh tantangan dan mengalami kesulitan dalam berbagai hal. Tidak jarang mereka harus berjuang sendiri. Sebenarnya umat dapat mendukung mereka lewat doa-doa, entah sebagai komunitas kategorial atau territorial, lingkungan, keluarga atau secara pribadi. Doa-doa itu, walau tidak tampak, pengaruhnya secara rohani sungguh nyata bagi pergulatan mereka. Sedikit pertanyaan nakal: pernahkah kita mendoakan Romoyang membaptis kita atau putra putri kita, atau menikahkan kita, atau memberkati rumah kita, mengajar kita, atau yang saat ini menjadi gembala kita? Doa penuh orang beriman yang didoakan dengan sungguh-sungguh akan besar kuasanya.
Keempat: Proses formatio atau pendidikan para calon imam dari SLTA atau SMA atau S1 membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh (10) tahun. Seorang imam secara akademis saat ini bahkan harus minimal S2. Hidup dan pendidikan para calon imam selama sepuluh tahun tersebut tentunya membutuhkan dana yang cukup besar. KAS sendiri mengajak dan mewajibkan setiap paroki memberikan dukungan dalam bentuk kolekte atau sumbangan khusus untuk pendidikan di seminari. Namun banyak seminari, tarekat, atau keuskupan-keuskupan lain mengalami kesulitan untuk pembiayaan calon imamnya. Maka apabila kita memiliki rejeki lebih dan mengucap syukur lewat dukungan dana pendididikan calon imam itu sangat dianjurkan diharapkan.
SIAPA IMAM, BIARAWAN-BIARAWATI.
Imam adalah seorang laki-laki yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk tugas pengabdian kepada Tuhan Allah dan Gereja. Dibedakan imam biarawan dan imam diocessan (praja). Imam biarawan terikut kepada peraturan hidup membiara dibawah kepemimpinan seorang pendiri dan penggantinya, sedang Imam diocessan terikat kepada keuskupan (dioces) setempat. Seorang imam memiliki martabat sebagai pemimpin umat berkat tahbisan yang diterima, maka imam juga dipanggil Romo (gembala).
Biarawan adalah seorang laki-laki yang melakukan asketisme, memfokuskan pikiran dan raganya untuk mengabdi sepenuhnya dalamm rangka mengikuti panggilan Tuhan. Konsep ini kiranya telah sangat lama ada dan dapat ditemukan pada berbagai agama seperti Kristen, Buddha, dll. Biarawan dalam agama Katolik adalah laki-laki yang menjadi anggota suatu ordo atau tarekat religus seperti Yesuit, Dominikan, Fransiskan, Benediktin dan sebagainya. Di Indonesia para biarawan kadang-kadang dipanggil bruder (Belanda:broeder, saudara laki-laki). Para biarawan tunduk pada aturan (statuta) tarekat mereka. Mereka bekerja di suatu wilayah keuskupan atau di wilayah keuskupan lain (luar daerah atau luar negeri). Para biarawan katolik melayani sebagai pastor/imam (SJ, MSF, SVD, SCJ, MSC, dsb) dan sebagai bruder atau frater (CMM, BTD, MTB, dsb)
Biarawati adalah seorang perempuan yang secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya untuk kehidupan agama di suatu biara atau tempat ibadah. Istilah ini dapat ditemui di berbagai agama seperti Katolik, Kristen Timur (Kristen Ortodoks, Ortodoks Oriental, dll), Anglikan, Jain, Lutheran, dan Buddhisme. Biarawati dalam agama Katolik adalah perempuan yang tergabung dalam suatu tarekat atau ordo religius. Di Indonesia para biarawati biasanya dipanggil suster (Belanda: zuster, saudara perempuan). Para suster biasanya bekerja di bidang pendidikan (formal dan nonformal), kesehatan, dan pelayanan sosial di lingkungan gereja atau masyarakat umum seperti suster-suster CB, SSPS, JMJ, SMSJ, SND, PRR, dsb). Ada juga pada beberapa tarekat religius biarawati yang mengkhususkan kepada pelayanan religius melalui doa (dalam gereja Katolik dikenal dengan biara suster kontemplatif) seperti suster-suster Ordo Karmel Tak Berkasut (OCD) dan Suster SSPS Adorasi Abadi.
Sama seperti halnya pastor, biarawati tidak menikah karena telah mengucapkan atau mendeklarasikan 3 kaul yakni kaul kemurnian, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan dalam suatu komunitas religius. Kaul adalah janji sukarela kepada Allah, untuk melaksanakan suatu tindakan yang lebih sempurna. Kaul merupakan dasar hidup membiara yang disahkan oleh Gereja, di mana para anggota yang terhimpun dalam suatu komunitas religius memutuskan untuk memperjuangkan kesempurnaan lewat sarana-sarana ketiga kaul religius, yakni kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan, yang diamalkan sesuai dengan peraturan.
Kaul kemiskinan
Kaul kemiskinan adalah pelepasan sukarela hak atas milik atau penggunaan milik tersebut dengan maksud untuk menyenangkan Allah. Semua harta milik dan barang-barang menjadi milik Kongregasi, atau tarekat. Manusia tidak lagi memiliki hak atas apa saja yang diberikan kepadanya, entah barang entah uang. Semua derma dan hadiah, yang barangkali diberikan kepadanya sebagai ungkapan terima kasih atau ungkapan lain apa pun, menjadi hak Kongregasi. Keutamaan Kemiskinan adalah keutamaan injili yang mendorong hati untuk melepaskan diri dari barang-barang fana; karena kaulnya, biarawan-biarawati terikat oleh kewajiban itu.
Kaul kemurnian
Kaul kemurnian mewajibkan manusia lepas perkawinan dan menghindari segala sesuatu yang dilarang oleh perintah keenam dan kesembilan. Setiap kesalahan melawan keutamaan kemurnian juga merupakan pelanggaran terhadap kaul kemurnian sebab di sini tidak ada perbedaan antara kaul kemurnian dan keutamaan kemurnian, tidak seperti dalam kaul kemiskinan dan kaul ketaatan.
Kaul ketaatan
Kaul Ketaatan lebih tinggi daripada dua kaul yang pertama. Sebab, kaul ketaatan adalah suatu kurban, dan ia lebih penting karena ia membangun dan menjiwai tubuh religius. Dengan kaul ketaatan biarawan-biarawati berjanji pada Allah untuk taat kepada para pimpinan yang sah dalam segala sesuatu yang mereka perintahkan demi peraturan. Kaul ketaatan membuat biarawan-biarawati bergantung kepada pimpinan atas dasar peraturan-peraturan sepanjang hayatnya dan dalam segala urusannya. Keutamaan ketaatan lebih luas daripada kaul ketaatan; keutamaan ini mencakup ketentuan dan peraturan, dan bahkan nasihat-nasihat para pimpinan. Memenuhi perintah dengan tulus dan sempurna – ini disebut ketaatan kehendak kalau kehendak mendorong budi untuk tunduk kepada nasihat pimpinan. Sehubungan dengan ini, untuk menunjang ketaatan.
Imam Projo dan Imam Religius
Tiga kaul yang menjadi dasar kehidupan seorang biarawan-biarawati merupakan cara mewujudkan iman yang radikal sesuai nasihat Injil. Gereja berkeyakinan bahwa tiga hal itulah yang menjadi inti dari nasihat Injil yang diwartakan Yesus. Kita perlu memahami bahwa imam-imam projo (pr), dioces, bukanlah imam-imam biarawan. Mereka ini tidak mengucapkan tiga kaul tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya hampir sama dengan imam-imam religius. Kesederhanaan hidup seorang imam adalah bagian integral dari hidup panggilannya secara utuh. Kesederhanaan pula yang menjadi semangat hidup dan karya Bapa Paus Fransiskus selama karya imamatnya. Beliau mengambil nama St Fransiskus karena teladan kesederhanaan hidup dari St. Fransiskus dari Asisi dalam segala aspek kehidupan tokoh kudus Gereja tersebut. Kesederhanaan hidup para imam ini secara jelas memantulkan kekudusan dan Terang Kristus kepada umat di sekitar-Nya, sebab mereka secara istimewa mengambil gaya hidup Kristus sebagai gaya hidup mereka sendiri.
Maka semua imam, baik imam anggota suatu Ordo religius, maupun imam Diocesan (RD) yang juga sering dikenal dengan sebutan imam ‘projo’, dipanggil untuk hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang pelayan Tuhan. Imam-imam dari Ordo religius memang umumnya terikat oleh kaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan, sesuai dengan spiritualitas pendiri Ordo tersebut. Maka para imam dari Ordo religius ini terikat ketentuan untuk menjadikan hampir semua harta miliknya menjadi milik komunitas Ordo tersebut, hanya ada kekecualian untuk barang-barang pribadi. Namun imam-imam diocesan tidak terikat kaul kemiskinan, artinya diperbolehkan mempunyai kepemilikan tertentu, untuk menunjang pelayanannya. Maka ada sejumlah orang mengira bahwa karena para imam projo tidak terikat kaul kemiskinan, maka mereka boleh hidup seperti kaum awam dan boleh hidup dalam ‘kemewahan’. Benarkah demikian? Projo itu bukan ordo. Projo ialah terjemahan Jawa dari Pr, yang sebenarnya berarti Priest atau imam. Projo sendiri dalam bahasa Jawa berarti “rakyat’. Maka, imam ialah orang yang ditahbiskan untuk melaksanakan tugas imamat bersama rakyat. Jangan sampai imam membuat sandungan karena gaya hidup mewah. Imam wajib hidup berpenampilan wajar sebagai imam di tengah rakyat. (Bdk. Pedoman Imam, KWI).
Salam dan berkah dalem.
FX. Suyamta Kirnasucitra,Pr
Pastor Paroki Sragen
TAHUN HIDUP BHAKTI
Tahun 2015 oleh Gereja Universal dicanangkan sebagai Tahun Hidup Bhakti. Intinya Gereja mendukung panggilan hidup sebagai imam, biarawan dan biarawati. Kelangsungan kehidupan menggereja tidak pernah dilepaskan dari panggilan hidup imam, biarawan dan biarawati. Di sisi lain panggilan hidup bhakti tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan umat asal dan tempat mereka menumbuhkan iman. Maka tidak berlebihan apabila Bapa Paus Fransiskus meminta umat untuk berkontribusi dan memberikan perhatian terhadap panggilan hidup menjadi imam, biarawan dan biarawati. Pertanyaannya adalah: peranan dan tindakan apakah yang bisa dilakukan oleh umat baik dalam komunitas maupun personal untuk mendukung dan mengisi tahun hidup bhakti tersebut?
Pertama: jangan biarkan suara panggilan yang terdengar atau menggema dalam diri orang muda hanya lewat begitu saja. Seringkali kita mendengar ada anak-anak atau orang muda yang menyatakan keinginannya untuk menjadi imam, biarawan, atau biarawati. Kalau kita mau jujur dari ribuan bahkan jutaan orang belum tentu satu orang saja merasakan panggilan tersebut. Dengan kata lain suara panggilan itu sangat khas dan unik, maka janganlah dibiarkan begitu saja apalagi sampai dihalang-halangi atau dilarang. Orang muda tersebut harus sungguh-sungguh mencari penegasan dan mohon penerangan Roh Kudus untuk memurnikan suara itu, melalui refleksi dan doa.
Kedua: Banyak imam, bruder, frater atau suster memilih panggilan tersebut karena dahulu pernah ditawarkan oleh orang tua atau pembimbing rohaninya entah waktu kecil atau pada momen tertentu. Ternyata tawaran itu cukup memiliki arti penting di kemudian hari, tatkala mereka akan memutuskan cita-cita hidupnya. Kalau demikian para orang tua atau para pembimbing rohani perlu menawarkan kepada anak-anak bahwa menjadi imam, biarawan atau biarawati menjadi salah satu panggilan atau cita-cita hidup mereka. Harapannya tentunya bahwa tawaran itu suatu saat menggema dan ditanggapi secara positif oleh kaum muda.
Ketiga: imam, biarawan-biarawati membutuhkan dukungan doa. Proses pendidikan atau formatio, hidup dan karya mereka seringkali penuh tantangan dan mengalami kesulitan dalam berbagai hal. Tidak jarang mereka harus berjuang sendiri. Sebenarnya umat dapat mendukung mereka lewat doa-doa, entah sebagai komunitas kategorial atau territorial, lingkungan, keluarga atau secara pribadi. Doa-doa itu, walau tidak tampak, pengaruhnya secara rohani sungguh nyata bagi pergulatan mereka. Sedikit pertanyaan nakal: pernahkah kita mendoakan Romoyang membaptis kita atau putra putri kita, atau menikahkan kita, atau memberkati rumah kita, mengajar kita, atau yang saat ini menjadi gembala kita? Doa penuh orang beriman yang didoakan dengan sungguh-sungguh akan besar kuasanya.
Keempat: Proses formatio atau pendidikan para calon imam dari SLTA atau SMA atau S1 membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh (10) tahun. Seorang imam secara akademis saat ini bahkan harus minimal S2. Hidup dan pendidikan para calon imam selama sepuluh tahun tersebut tentunya membutuhkan dana yang cukup besar. KAS sendiri mengajak dan mewajibkan setiap paroki memberikan dukungan dalam bentuk kolekte atau sumbangan khusus untuk pendidikan di seminari. Namun banyak seminari, tarekat, atau keuskupan-keuskupan lain mengalami kesulitan untuk pembiayaan calon imamnya. Maka apabila kita memiliki rejeki lebih dan mengucap syukur lewat dukungan dana pendididikan calon imam itu sangat dianjurkan diharapkan.
SIAPA IMAM, BIARAWAN-BIARAWATI.
Imam adalah seorang laki-laki yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk tugas pengabdian kepada Tuhan Allah dan Gereja. Dibedakan imam biarawan dan imam diocessan (praja). Imam biarawan terikut kepada peraturan hidup membiara dibawah kepemimpinan seorang pendiri dan penggantinya, sedang Imam diocessan terikat kepada keuskupan (dioces) setempat. Seorang imam memiliki martabat sebagai pemimpin umat berkat tahbisan yang diterima, maka imam juga dipanggil Romo (gembala).
Biarawan adalah seorang laki-laki yang melakukan asketisme, memfokuskan pikiran dan raganya untuk mengabdi sepenuhnya dalamm rangka mengikuti panggilan Tuhan. Konsep ini kiranya telah sangat lama ada dan dapat ditemukan pada berbagai agama seperti Kristen, Buddha, dll. Biarawan dalam agama Katolik adalah laki-laki yang menjadi anggota suatu ordo atau tarekat religus seperti Yesuit, Dominikan, Fransiskan, Benediktin dan sebagainya. Di Indonesia para biarawan kadang-kadang dipanggil bruder (Belanda:broeder, saudara laki-laki). Para biarawan tunduk pada aturan (statuta) tarekat mereka. Mereka bekerja di suatu wilayah keuskupan atau di wilayah keuskupan lain (luar daerah atau luar negeri). Para biarawan katolik melayani sebagai pastor/imam (SJ, MSF, SVD, SCJ, MSC, dsb) dan sebagai bruder atau frater (CMM, BTD, MTB, dsb)
Biarawati adalah seorang perempuan yang secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya untuk kehidupan agama di suatu biara atau tempat ibadah. Istilah ini dapat ditemui di berbagai agama seperti Katolik, Kristen Timur (Kristen Ortodoks, Ortodoks Oriental, dll), Anglikan, Jain, Lutheran, dan Buddhisme. Biarawati dalam agama Katolik adalah perempuan yang tergabung dalam suatu tarekat atau ordo religius. Di Indonesia para biarawati biasanya dipanggil suster (Belanda: zuster, saudara perempuan). Para suster biasanya bekerja di bidang pendidikan (formal dan nonformal), kesehatan, dan pelayanan sosial di lingkungan gereja atau masyarakat umum seperti suster-suster CB, SSPS, JMJ, SMSJ, SND, PRR, dsb). Ada juga pada beberapa tarekat religius biarawati yang mengkhususkan kepada pelayanan religius melalui doa (dalam gereja Katolik dikenal dengan biara suster kontemplatif) seperti suster-suster Ordo Karmel Tak Berkasut (OCD) dan Suster SSPS Adorasi Abadi.
Sama seperti halnya pastor, biarawati tidak menikah karena telah mengucapkan atau mendeklarasikan 3 kaul yakni kaul kemurnian, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan dalam suatu komunitas religius. Kaul adalah janji sukarela kepada Allah, untuk melaksanakan suatu tindakan yang lebih sempurna. Kaul merupakan dasar hidup membiara yang disahkan oleh Gereja, di mana para anggota yang terhimpun dalam suatu komunitas religius memutuskan untuk memperjuangkan kesempurnaan lewat sarana-sarana ketiga kaul religius, yakni kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan, yang diamalkan sesuai dengan peraturan.
Kaul kemiskinan
Kaul kemiskinan adalah pelepasan sukarela hak atas milik atau penggunaan milik tersebut dengan maksud untuk menyenangkan Allah. Semua harta milik dan barang-barang menjadi milik Kongregasi, atau tarekat. Manusia tidak lagi memiliki hak atas apa saja yang diberikan kepadanya, entah barang entah uang. Semua derma dan hadiah, yang barangkali diberikan kepadanya sebagai ungkapan terima kasih atau ungkapan lain apa pun, menjadi hak Kongregasi. Keutamaan Kemiskinan adalah keutamaan injili yang mendorong hati untuk melepaskan diri dari barang-barang fana; karena kaulnya, biarawan-biarawati terikat oleh kewajiban itu.
Kaul kemurnian
Kaul kemurnian mewajibkan manusia lepas perkawinan dan menghindari segala sesuatu yang dilarang oleh perintah keenam dan kesembilan. Setiap kesalahan melawan keutamaan kemurnian juga merupakan pelanggaran terhadap kaul kemurnian sebab di sini tidak ada perbedaan antara kaul kemurnian dan keutamaan kemurnian, tidak seperti dalam kaul kemiskinan dan kaul ketaatan.
Kaul ketaatan
Kaul Ketaatan lebih tinggi daripada dua kaul yang pertama. Sebab, kaul ketaatan adalah suatu kurban, dan ia lebih penting karena ia membangun dan menjiwai tubuh religius. Dengan kaul ketaatan biarawan-biarawati berjanji pada Allah untuk taat kepada para pimpinan yang sah dalam segala sesuatu yang mereka perintahkan demi peraturan. Kaul ketaatan membuat biarawan-biarawati bergantung kepada pimpinan atas dasar peraturan-peraturan sepanjang hayatnya dan dalam segala urusannya. Keutamaan ketaatan lebih luas daripada kaul ketaatan; keutamaan ini mencakup ketentuan dan peraturan, dan bahkan nasihat-nasihat para pimpinan. Memenuhi perintah dengan tulus dan sempurna – ini disebut ketaatan kehendak kalau kehendak mendorong budi untuk tunduk kepada nasihat pimpinan. Sehubungan dengan ini, untuk menunjang ketaatan.
Imam Projo dan Imam Religius
Tiga kaul yang menjadi dasar kehidupan seorang biarawan-biarawati merupakan cara mewujudkan iman yang radikal sesuai nasihat Injil. Gereja berkeyakinan bahwa tiga hal itulah yang menjadi inti dari nasihat Injil yang diwartakan Yesus. Kita perlu memahami bahwa imam-imam projo (pr), dioces, bukanlah imam-imam biarawan. Mereka ini tidak mengucapkan tiga kaul tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya hampir sama dengan imam-imam religius. Kesederhanaan hidup seorang imam adalah bagian integral dari hidup panggilannya secara utuh. Kesederhanaan pula yang menjadi semangat hidup dan karya Bapa Paus Fransiskus selama karya imamatnya. Beliau mengambil nama St Fransiskus karena teladan kesederhanaan hidup dari St. Fransiskus dari Asisi dalam segala aspek kehidupan tokoh kudus Gereja tersebut. Kesederhanaan hidup para imam ini secara jelas memantulkan kekudusan dan Terang Kristus kepada umat di sekitar-Nya, sebab mereka secara istimewa mengambil gaya hidup Kristus sebagai gaya hidup mereka sendiri.
Maka semua imam, baik imam anggota suatu Ordo religius, maupun imam Diocesan (RD) yang juga sering dikenal dengan sebutan imam ‘projo’, dipanggil untuk hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang pelayan Tuhan. Imam-imam dari Ordo religius memang umumnya terikat oleh kaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan, sesuai dengan spiritualitas pendiri Ordo tersebut. Maka para imam dari Ordo religius ini terikat ketentuan untuk menjadikan hampir semua harta miliknya menjadi milik komunitas Ordo tersebut, hanya ada kekecualian untuk barang-barang pribadi. Namun imam-imam diocesan tidak terikat kaul kemiskinan, artinya diperbolehkan mempunyai kepemilikan tertentu, untuk menunjang pelayanannya. Maka ada sejumlah orang mengira bahwa karena para imam projo tidak terikat kaul kemiskinan, maka mereka boleh hidup seperti kaum awam dan boleh hidup dalam ‘kemewahan’. Benarkah demikian? Projo itu bukan ordo. Projo ialah terjemahan Jawa dari Pr, yang sebenarnya berarti Priest atau imam. Projo sendiri dalam bahasa Jawa berarti “rakyat’. Maka, imam ialah orang yang ditahbiskan untuk melaksanakan tugas imamat bersama rakyat. Jangan sampai imam membuat sandungan karena gaya hidup mewah. Imam wajib hidup berpenampilan wajar sebagai imam di tengah rakyat. (Bdk. Pedoman Imam, KWI).
Salam dan berkah dalem.
FX. Suyamta Kirnasucitra,Pr
Pastor Paroki Sragen