Senin, 07 Juni 2010

Misa: Doa Teragung dan Terluhur Kita

Print Friendly and PDF

oleh:
P. Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D. *


Perubahan-perubahan dalam Misa Katolik sepanjang Vatican Kedua mencakup membuat Misa berkurang vertical dan lebih horizontal; membuatnya sebagai suatu perjamuan (Kamis Putih) sebagai tambahan atas kurban (Jumat Agung); memperkenankan imam merayakan Misa bersama umat daripada mendaraskan Misa bagi umat. Perubahan-perubahan ini menggambarkan siapa kita sebagai Gereja, bagaimana kita bersembah sujud kepada Tuhan dan bagaimana kita bertindak dalam dunia.

Seperti apakah Gereja Kristus generasi mendatang? Bentuk dari Gereja Katolik mendatang akan ditentukan sebagian besar oleh keputusan yang ditetapkan sekitar empatpuluh tahun yang lalu dalam Konsili Vatican Kedua (1962-1965). Tak ada satu pun dari keputusan-keputusan itu yang lebih berdampak langsung pada umat Katolik selain dari keputusan-keputusan menyangkut Misa. Sebagian besar umat Katolik pertama kali mengalami buah-buah dari Vatican II dalam gereja-gereja paroki mereka pada hari Minggu pagi dalam Perayaan Ekaristi.

Intisari Misa, tentu saja, tidak mengenal waktu dan tidak berubah. Tetapi sebagian dari kita yang cukup senior untuk mengenang pengalaman hari Minggu pagi sekitar tahun 60-an (tidak ada Misa hari Sabtu sore kala itu!) dapat memberikan kesaksian bagaimana Konsili telah secara radikal mengubah cara kita mengalami Misa.

“Masa Lalu yang Indah”

Seperti apakah Misa sebelum Konsili? Apabila saya memejamkan mata dan mengenangkan Misa Latin di masa muda saya, gambaran yang datang ke benak saya adalah suatu upacara yang kekhidmadan, kemisteriusan dan keagungannya tak dapat dibandingkan dengan apapun dalam kehidupan sehari-hari saya: bahasa yang berbeda, busana yang berbeda, gerakan-gerakan yang berbeda, musik yang berbeda (musik yang sekarang dapat saya dengarkan di CD, dimainkan oleh para biarawan di gereja-gereja Gothic yang megah). Segalanya mengarah ke surga kepada Allah yang Mahamulia.

Saya cukup tahu mengenai kodrat manusia untuk dapat menyadari bahwa kenangan akan gambaran dan suara ini mungkin lebih bersifat nostalgia daripada kenyataan. Apabila mengenangkan masa-masa yang telah lalu, kita seringkali mengabaikan unsur-unsur negatif dari pengalaman itu. Hal ini teristimewa benar apabila membayangkan suatu masa lampau yang tidak kita alami secara pribadi.

Sebagai contoh, apabila saya menonton sebuah film koboi, saya iri akan orang-orang itu dan akan hidup mereka yang santai di padang. Mereka tidak harus khawatir akan batas waktu penerbitan, pasar saham pun biaya pendidikan. Tetapi, di manakah mereka mencuci pakaian mereka? Bagaimana mereka menambal gigi yang berlubang? Bagaimana mereka mengisi baterai telepon genggam mereka?

Situasi serupa dapat muncul ketika orang “mengenangkan” Misa sebelum Vatican II; Misa Latin didaraskan dari sebuah buku misa yang, sebagian besar, diterbitkan pada tahun 1570 sesudah Konsili Trente. Saya mempunyai kenangan indah atas Misa-Misa Latin itu; Misa-Misa itu telah membantu membentuk iman saya dan memelihara panggilan saya kepada Ordo Fransiskan dan kepada imamat. Tetapi, apabila saya memeriksa kenang-kenangan itu secara kritis, saya mendapati bahwa “masa lalu yang indah” itu tidak sepenuhnya baik.

Vertikal dan / atau Horisontal?

Sepanjang masa sekolah menengah dan kuliah saya biasa pergi ke Misa untuk berdoa, tetapi doa saya tidak terkoordinasi dengan doa imam di altar. Saya mendaraskan rosario dan doa-doa devosi lainnya; imam mendaraskan Misa. Tentu saja, saya berhenti melakukan apa yang tengah saya lakukan dan memandang kala lonceng berbunyi ketika imam mengunjukkan hosti yang dikonsekrasikan. Tetapi, selain dari itu, imam dan saya tidak berada pada hal yang sama.

Imam sibuk mendaraskan doa resmi Gereja, liturgi, yang terutama adalah sembah sujud kepada Allah yang Mahaagung (suatu tindakan “vertikal”), sementara saya sibuk mendaraskan rosario dan doa-doa devosi lainnya - doa-doa yang lebih berfokus pada kepentingan saya (suatu tindakan “horizontal”). Imam berdoa dalam bahasa Latin, bahasa Tuhan; saya berdoa dalam bahasa ibu saya.

Para uskup dalam Konsili Vatican Kedua berusaha menyatukan doa-doa “vertikal” dan “horizontal” ini. Para Uskup menyadari bahwa sembah sujud yang paling berkenan kepada Allah adalah sembah sujud yang menghantar kita ke kepenuhan potensi rohani, mental dan jasmani. Seperti dikatakan St Ireneus: “Kemuliaan Tuhan adalah manusia yang hidup sepenuhnya!” Tuhan tak dapat disembah (vertikal) oleh mereka yang tidak peduli kepada sesama (horizontal).

Adakah perpindahan ke gaya liturgis yang lebih “horizontal” mendatangkan manfaat bagi doa kita dan bagi Gereja kita? Sebagian umat Katolik beranggapan bahwa sembah sujud kepada Allah yang Mahamulia (vertikal) telah menjadi terlalu biasa-biasa saja, terlalu sederhana, terlalu kurang hormat - terlalu horizontal. Yang lainnya merasa bahwa Misa “yang baru” sungguh khidmad dan misterius, tetapi dalam suatu cara yang berbeda dari ritus sebelumnya yang, meski sangat khidmad, juga sebagian besar kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari umat. Mereka mengatakan bahwa Misa “yang lama” menghormati Tubuh Kristus yang Dimuliakan di surga tanpa disertai kepedulian yang cukup bagi Tubuh Kristus di dunia, yakni Gereja.

Ketegangan antara vertikal dan horizontal ini bukanlah suatu hal yang baru. St Paulus mengatakan kepada jemaat Korintus bahwa pertemuan-pertemuan ekaristik mereka “mendatangkan keburukan” (1 Kor 11:17) sebab, sementara komunitas khusuk pada sembah sujud kepada Allah (vertikal), mereka tidak mempertalikan sembah sujud itu dengan kepedulian terhadap komunitas, khususnya mereka yang miskin (horizontal).

Karya Bersama

Konstitusi tentang Liturgi Suci dari Konsili Vatican Kedua memaklumkan bahwa Misa adalah karya bersama imam dan umat. Umat beriman hendaknya “ikut merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna” (#11). Sekarang imam berbicara dalam bahasa saya; saya dapat mengerti doa-doanya. Saya dapat menjadikan doa liturgis itu sebagai doa saya sendiri dan menanggapinya dengan iman: “Amin,” “Terjadilah demikian,” “Ya,” “Itulah doaku.” Saya dapat memandang wajah imam dan imam dapat melihat saya. Saya dapat mengikuti ungkapan-ungkapannya dalam undangan, permohonan, pujian dan syukur. Saya “mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya” (#48).

Jika dulu imam mendaraskan Misa bagi umat, sekarang imam merayakan Misa bersama umat. Bagi atau bersama - kata-kata simple, tetapi menyangkut suatu perubahan besar. Dan umat beriman, seturut peran mereka, diminta untuk bergerak dari menonton ke melakukan - lagi, suatu perubahan besar. Dan, sama seperti halnya dibutuhkan lebih banyak pengetahuan, kecakapan dan upaya untuk bermain bola basket daripada sekedar menonton suatu pertandingan bola basket, demikian pula dibutuhkan lebih banyak pengetahuan, kecakapan dan upaya untuk merayakan dan berpartisipasi dalam Ekaristi daripada sekedar menonton imam mendaraskan Misa. Misa “yang baru” membawa pula bersamanya suatu tanggung jawab baru.

Menambahkan Kamis Putih pada Jumat Agung

Ketika saya pergi ke Misa Latin bertahun-tahun yang lalu, saya akan membayangkan diri saya berlutut di kaki salib di mana Yesus wafat karena dosa-dosa saya. Saya berusaha mempersembahkan hidup saya sebagaimana Ia mempersembahkan hidup-Nya. Saya belajar dari Katekismus Baltimore: “Misa adalah kurban Perjanjian Baru di mana Kristus, melalui pelayanan imam, mempersembahkan DiriNya kepada Tuhan….” Tahun 1950-an, pada kebanyakan Misa, tiada seorang pun selain dari imam yang menyambut Komuni Kudus. Meski pada tahun 1905 Paus Pius X telah mendorong umat beriman untuk menyambut Komuni Kudus sesering mungkin, nyatanya dibutuhkan sekitar limapuluh tahun agar praktek tersebut menjadi lazim di paroki-paroki. Pada masa-masa ketika sedikit saja umat yang menyambut Komuni Kudus, adalah logis menggambarkan Misa sehubungan dengan Jumat Agung - kurban.

Vatican II hendak mengembalikan gambaran Kamis Putih: “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #47; penekanan ditambahkan). Kamis Putih menyangkut suatu perjamuan - makan dan minum. Tetapi, umat Katolik telah terbiasa pergi ke Misa selama bertahun-tahun lamanya tanpa menyambut Komuni sehingga, bagi kebanyakan kita, Komuni tampak sebagai sesuatu yang ditambahkan pada kurban Misa. Jika diperlukan beberapa dekade agar praktek menyambut Komuni sesering mungkin menjadi suatu praktek yang lazim, kita dapat memperkirakan rentang waktu yang kurang lebih sama bagi dimensi “perjamuan” Ekaristi agar menyatu dengan dimensi “kurban”. Bahkan sekarang ini, banyak umat Katolik memandang menyambut Komuni Kudus lebih dari segi menyambut hosti secara pribadi daripada berbagi bersama suatu perjamuan kudus.

Dalam perjamuan, kita makan dan minum. Banyak umat Katolik diajar dengan cermat bahwa Kristus disambut sepenuhnya dan seutuhnya dalam rupa roti hingga mereka tidak memandang perlu untuk minum dari piala. Pedoman Umum Misale Romawi memaklumkan: “Sebagai tanda, komuni kudus mempunyai bentuk yang lebih penuh kalau disambut dalam rupa roti dan anggur, sebab komuni-dua-rupa itu melambangkan dengan lebih sempurna perjamuan ekaristis. Juga dinyatakan dengan lebih jelas bahwa perjanjian yang baru dan kekal diikat dalam Darah Tuhan. Kecuali itu, lewat komuni-dua-rupa tampak jelas juga hubungan antara perjamuan ekaristis di dunia dan perjamuan eskatologis dalam kerajaan Bapa” (#281). Kita menyambut roti, dan kita menjadi Tubuh Kristus. Piala adalah tanda bagaimana hal ini terjadi: dengan minum Darah Kristus kita mengikrarkan kesediaan kita untuk mencurahkan darah kita, hidup kita, untuk melayani satu sama lain - bahkan hingga seperti yang Kristus lakukan di atas salib.

Tanda Perjamuan Ekaristik

Agar pembaharuan Konsili Vatican Kedua menghasilkan buah, “tanda perjamuan ekaristik” wajib dinyatakan dalam setiap Misa. Seperti apakah suatu perjamuan itu? Ini merupakan pertanyaan yang sulit bagi mereka yang terbiasa menyantap fast food, makan sendirian atau makan di depan televisi. Kita dapat lupa bahwa makan lebih dari sekedar menyantap makanan. Bayangkanlah suatu perjamuan Syukuran. Mungkin keluarga kalian mempunyai kebiasaan khusus tersendiri, tetapi pada umumnya bentuk perjamuan meliputi empat bagian:

1. Sanak keluarga datang berkumpul bersama.
2. Kita saling bertukar kabar mengenai apa-apa yang terjadi dalam lingkungan keluarga.
3. Kita bergerak ke meja, mengucapkan doa syukur, makan dan minum.
4. Kita mengucapkan salam perpisahan dan kembali ke rumah masing-masing.

Perjamuan ekaristik mempunyai keempat bagian yang sama ini, dan “bentuk” perjamuan dari Ekaristi ini telah mengubah apa yang kita lakukan dalam Misa:

1. Pertama kita berkumpul bersama. Kita datang berkumpul bersama warga paroki yang lainnya.
2. Kita mendengarkan Kitab Suci dan homili. Kita mendengarkan kisah tentang perbuatan-perbuatan ajaib Tuhan dan kita digerakkan untuk mengucap syukur.
3. Kita menempatkan diri di Meja Tuhan bersama para rasul dan mereka semua yang ikut ambil bagian dalam Ekaristi dari berbagai abad. Kita bersatu dengan imam dalam mengenangkan karya-karya agung keselamatan dan memohon Bapa mengutus Roh Kudus untuk mengubah roti dan anggur - dan mengubah kita - menjadi Tubuh Kristus: “Kuatkanlah kami dengan Tubuh dan DarahNya, penuhilah kami dengan Roh KudusNya, agar kami sehati dan sejiwa dalam Kristus” (Doa Syukur Agung III). Dan kemudian kita maju untuk menyambut roti dan minum dari piala.
4. Akhirnya, kita diutus untuk mengamalkan misteri yang telah kita rayakan: menjadi tubuh Kristus bagi dunia, memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, memberi tumpangan kepada orang-orang asing, memberi pakaian pada yang telanjang, merawat yang sakit dan melawat yang dalam penjara (Matius 25:35-36).

Lebih dari Sekedar Menata Ulang Perabotan

Perubahan-perubahan dalam Misa yang dilakukan oleh Konsili Vatican Kedua bukanlah kosmetik belaka. Argumen mengenai hal-hal yang tampaknya dangkal - berbagai pendapat mendukung atau menentang Misa Latin, termasuk bahasa Latin, berlutut, pelayanan, membungkuk saat menyambut Komuni - sesungguhnya mengenai sesuatu yang lebih mendalam, lebih penting dan jauh lebih sulit dipahami. Hal-hal demikian menyangkut penghormatan, komunitas dan tradisi. Hal-hal itu menyentuh kesaksian paling mendalam mengenai siapa kita sebagai Gereja, bagaimana seharusnya Tuhan disembah dan bagaimana kita seharusnya bertindak dalam dunia. Jawab atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan membentuk Gereja generasi mendatang.

Pertanyaan-pertanyaan untuk Direnungkan:

1. Perubahan apakah dalam Misa sejak Konsili Vatican Kedua yang paling berarti bagimu? Jika engkau mengalami perubahan-perubahan itu, perubahan manakah yang paling sulit engkau pahami? Yang paling sulit engkau menyesuaikan diri?
2. Adakah pengalaman liturgimu sekarang ini lebih “vertikal” atau lebih “horizontal”? Seberapa banyak menurutmu, hal ini bergantung pada imam dan dewan paroki? Pada warga komunitas paroki?
3. Apakah yang akan engkau lakukan untuk meningkatkan partisipasimu sendiri secara lebih penuh dan aktif dalam liturgi? Bagaimanakah engkau akan membantu mendorong komunitasmu untuk berpartisipasi secara lebih penuh?

* Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.

sumber : “The Mass Our Greatest and Best Prayer by Thomas Richstatter, O.F.M.”; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Naskah ini sepenuhnya dikutip www.indocell.net/yesaya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP