Menuju Perayaan Ekaristi yang Benar
oleh: P. Alex I. Suwandi, Pr
Tahun 2005 dicanangkan sebagai Tahun Ekaristi. Pada hari Kamis Putih 17 April 2003, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan sebuah ensiklik khusus tentang Ekaristi, “Ecclesia de Eucharistia” [Ensiklik no 52]. Paus memberikan mandat kepada Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen-sakramen bekerja sama dengan Kongregasi Ajaran Iman untuk mempersiapkan instruksi yang berisikan disiplin tentang Sakramen Ekaristi. Instruksi itu telah selesai 19 Maret 2004 dan diterbitkan pada tanggal 25 Maret 2004 dengan judul “Redemptionis Sacramentum” berisi 8 bab dan memuat 186 artikel. Instruksi tersebut ditandatangani oleh Prefek Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen-sakramen, Kardinal Francis Arinze dan Sekretaris Uskup Agung Domenico Sorrentino.
PENYIMPANGAN
Instruksi ini mengungkapkan bahwa selama ini terjadi banyak penyimpangan dalam pelaksanaan Perayaan Ekaristi, yaitu adanya ungkapan-ungkapan dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tradisi dan ajaran Gereja Katolik Roma, sehingga terjadi ketimpangan antara lex orandi dan superficial. Padahal tidak seorang pun, bahkan tidak seorang imam pun, diperbolehkan mengubah, menambah atau mengganti liturgi gereja, kecuali Tahta Suci dan Uskup Diosesan dalam batas-batas wewenang menurut hukum.
Pada tahun 1970, Vatikan telah mengumumkan agar segala bentuk eksperimen yang berhubungan dengan Misa dihentikan. Permintaan ini diulangi lagi pada tahun 1988. Namun yang terjadi adalah improvisiasi dan eksperimen yang masih terus berlangsung di banyak tempat dan oleh banyak imam maupun awam. Tahta Suci merasa prihatin akan hal ini dan karenanya merasa perlu mengeluarkan instruksi tentang Misa Kudus, agar kesucian dan sifat kesatuan universal ritus Roma tidak dilukai dan menjadi kabur.
PERKEMBANGAN YANG TERJADI DALAM GEREJA KATOLIK DI INDONESIA MASA KINI :
Banyak umat awam terlibat dalam Misa, tidak hanya sebagai lektor, akolit, misdinar, tetapi juga sebagai pembagi komuni [prodiakon]. Ini suatu hal yang baik dan dihargai, namun semuanya itu harus sesuai dengan perannya yang tepat.
Banyak orang menyangka bahwa Roma hanya memperbolehkan misdinar laki-laki, karena dari sini banyak muncul panggilan imamat. Tahta Suci tidak melarang perempuan menjadi misdinar [no 47].
Mengenai prodiakon, dikatakan bahwa mereka bertugas bukanlah demi partisipasi penuh awam dalam Perayaan Ekaristi, tetapi lebih-lebih dari kodratnya, bersifat pelengkap dan sementara, karena terbatasnya jumlah imam [no 151].
Karena hanya imamlah pelayan sesungguhnya dari Sakramen Ekaristi, nama yang tepat bagi petugas awam ini adalah “pelayan luar biasa Komuni Suci” dan bukan “pelayan khusus Komuni Suci” dan juga bukan “pelayan luar biasa dari Ekaristi” ataupun “pelayan khusus Ekaristi”, karena nama-nama ini tidak cocok dan terlalu luas fungsinya [no 156].
Dalam menjalankan tugasnya, prodiakon tidak boleh mendelegasikan pelayanannya kepada orang lain [no 159].
Diingatkan bahwa prodiakon tidak boleh membawa Hosti Kudus ke rumahnya [no 132].
Prodiakon harus langsung membawa Hosti Kudus kepada orang sakit, tanpa singgah terlebih dahulu di tempat lain untuk suatu urusan profan tertentu [no 133].
Peralatan Misa untuk Tubuh dan Darah Kristus haruslah terbuat dari barang berharga. Ketentuan ini mengandung arti bahwa dengan menggunakan barang-barang tersebut, kita memberikan kehormatan dan kemuliaan bagi Allah. Maka janganlah dipakai benda-benda umum / yang berkualitas jelek / benda-benda antik / artistik yang terbuat dari gelas, tanah liat atau materi yang mudah pecah [no 117].
Busana imam saat merayakan Misa adalah Alba, Stola dan Kasula. Imam tidak boleh tidak memakai stola [no 123].
Bertentangan dengan ketentuan dalam buku-buku liturgi, apabila imam merayakan Misa atau ritus lainnya harus mengenakan busana suci. Tidak diperkenankan merayakannya hanya dengan stola di atas busana religius [jubah biara] / di atas pakaian awam biasa [no 126].
Imam tidak diperkenankan merayakan Misa di kuil / tempat suci agama non-Kristen lainnya [no 109].
POIN-POIN DI MANA PENYIMPANGAN SERING TERJADI :
Awam, bahkan seorang bruder / suster, tidak diperkenankan membacakan Injil dalam Misa, hanya imam [no 63].
Bacaan Kitab Suci tidak boleh dihilangkan atau diganti atas inisiatif sendiri atau diganti dengan bacaan-bacaan non-Biblis [no 62].
Awam termasuk seminaris, mahasiswa teologi dan petugas pastoral tidak diperkenankan menyampaikan khotbah dalam Misa Kudus [no 64,66].
Hanya imam yang menyampaikan khotbah. Khotbah harus berdasarkan Kitab Suci dan berujung pangkal pada Kristus, bukan hanya berceritera tentang politik atau hal-hal profan [no 67].
Di luar Misa, awam dapat berkhotbah, namun kuasa untuk memberi izin berkhotbah ini berada di tangan Uskup, bukan imam atau diakon [no 161].
Jika awam ingin menyampaikan kesaksian tentang hidup Kristianinya, kesaksian tersebut sebaiknya dilakukan di luar Misa. Hanya dengan alasan khusus dan berat, kesaksian iman dapat diizinkan dalam Misa, namun hal itu dilakukan sesudah Doa Penutup [no 74].
Kecenderungan awam berperan sebagai klerus ( klerikalisasi) harus dihindari.
Untuk menyambut Hosti Kudus, seseorang harus bersih dari dosa berat. Karena itu, setiap orang yang memiliki dosa berat harus menerima Sakramen Tobat sebelum menyambut Komuni Kudus. Imam yang berdosa berat, tidak boleh merayakan Misa sebelum menerima Sakramen Tobat [no 81].
Umat boleh menyambut Hosti Suci dengan berlutut / berdiri, menerimanya dengan lidah / di tangan. Namun bila ada bahaya profanisasi, Hosti tidak diberikan di tangan penyambut. Hosti harus segera dikonsumsi di hadapan imam / prodiakon, tidak boleh dibawa pergi. Umat tidak boleh mengambil sendiri Hosti dengan tangannya, juga tidak boleh saling memberikan Hosti Suci satu sama lain, seperti yang terjadi misalnya pada Misa Pernikahan, di mana kedua mempelai saling memberikan Hosti Suci [no 94]. Hanya imam atau prodiakon yang boleh memberikan Hosti Kudus.
Umumnya umat menyambut komuni dalam satu rupa, yaitu Tubuh Kristus. Umat boleh menyambut dalam dua rupa, yaitu Tubuh dan Darah Kristus. Namun, penyambutan Darah Kristus hanya dapat diberikan dalam keadaan tertentu di mana tidak ada resiko profanisasi / umat tidak terlalu banyak / tidak akan ada banyak sisa sesudah semua menyambut. Melihat syarat ini, tidak mungkinlah umat menyambut dalam dua rupa dalam Misa hari Minggu.
Jika Darah Kristus akan disambut, umat menyambutnya dengan meminumnya langsung dari piala atau dengan mencelupkan / menggunakan sendok / pipet. Di Indonesia yang paling sering dilakukan jika umat menyambut dalam dua rupa adalah umat mencelupkan Hosti ke dalam piala. Akan tetapi, Roma menyatakan bahwa umat tidak boleh mencelupkan Hosti ke dalam piala [no 104].
Umat menerima Hosti yang tercelup langsung dari imam dan diterima di mulut, bukan di tangan [no 103].
Salam Damai dilakukan sesaat sebelum komuni, bukan pada saat sebelum persembahan. Salam damai hanya dilakukan kepada orang-orang yang berdekatan, tidak boleh berjalan ke mana-mana dan membuat gaduh, sehingga mengganggu kesakralan Misa. Imam memberikan salam damai kepada para petugas Misa, namun tetap berada di panti imam. Dengan alasan tertentu, imam dapat memperluasnya pada beberapa umat. Salam damai ini hanya menandakan perdamaian, kesatuan dan cinta kasih sebelum menerima Hosti dan tidak merupakan suatu tindakan rekonsiliasi / penghapusan dosa [no 71,72].
Doa Syukur Agung (DSA) adalah doa presedensial, sehingga doa ini hanya boleh diucapkan imam, tidak boleh diucapkan diakon, prodiakon / umat, baik secara perorangan maupun bersama-sama [no 52].
Imam tidak boleh menggubah / mengubah DSA menurut seleranya sendiri [no 51].
Saat ini, Indonesia memiliki DSA yang dialogis dan partisipatif. Sangatlah mendesak liturgi ini dimintakan persetujuan dari Tahta Suci. DSA yang diakui Roma hanya DSA 1 sampai dengan 4, sisanya dari 5 sampai dengan 10 belum mendapat persetujuan Tahta Suci [no 54].
Imam tidak boleh memecahkan Hosti pada waktu konsekrasi [no 55].
Pemecahan Hosti hanya boleh dilakukan pada saat pengucapan Anak Domba Allah, yang menandakan bahwa walaupun umat Allah terdiri dari banyak orang, sesungguhnya adalah satu kesatuan karena berasal dari satu Tubuh yaitu Kristus [no 73].
Nama paus dan uskup setempat harus diucapkan dalam DSA. Hal ini berasal dari tradisi yang sangat kuno dan merupakan manifestasi dari kesatuan seluruh gereja [no 56].
Instruksi Redemptionis Sacramentum ini ditujukan tidak hanya kepada para uskup, imam dan diakon, tetapi juga kepada seluruh umat beriman [no 2].
Karena itu, setiap umat beriman Katolik, apakah imam, diakon atau awam, diperkenankan mengajukan keluhan kepada uskup setempat jika ia menemukan penyimpangan dalam liturgi Ekaristi. Bahkan ia boleh mengajukan keluhan kepada Tahta Suci. Namun demikian, segala keluhan itu harus dilakukan dalam kebenaran dan cinta kasih [no 184].
Naskah ini dikutip dari YESAYA: www.indocell.net/yesaya