Menggali Makna Ritus Damai

Model Ritus Damai yang diletakkan sebelum DSA seperti itu masih terdapat dalam liturgi Gereja Timur. Namun, sejak Paus Gregorius Agung, ritus damai di liturgi Barat dipindahkan sesudah DSA atau sesudah doa Bapa Kami karena lebih untuk mempersiapkan penerimaan komuni.
Penempatan ritus damai sesudah doa Bapa Kami dimaksudkan: “Gereja memohon damai dan kesatuan bagi Gereja sendiri dan bagi seluruh umat manusia, sedangkan umat beriman menyatakan persekutuan dan cinta kasih satu sama lain sebelum dipersatukan dengan Tubuh Kristus" (PUMR 82). Dengan demikian, Salam Damai yang dilangsungkan bukan pertama-tama demi saling memaafkan, namun lebih untuk mengungkapkan persekutuan dan kesatuan hidup bersama dalam damai.
Ada tiga bagian dalam ritus damai ini.
Pertama, undangan imam kepada jemaat untuk berdoa dan sekaligus doanya sendiri untuk memohon damai. Damai yang dimohon bukan sekadar suatu damai yang disebabkan karena tidak adanya. perang atau konflik. Damai, menurut arti. kata Ibrani-Aram shalom, menunjuk suatu pengertian yang mencakup seluruh dimensi penyelamatan Mesias, termasuk kesejahteraan lahir dan batin, jiwa dan badan.
Kedua, sapaan imam kepada umat akan Damai Tuhan yang menyertai mereka. "Damai Tuhan bersamamu" dan umat menjawab: "Dan bersama rohmu". Saat imam mengucapkan "Damai Tuhan bersamamu” itu, ia mestinya merentangkan tangan secara lebar-lebar, seolah-olah hendak memeluk semua hadirin, Perentangan tangan tersebut mestinya berbeda dari rentangan tangan saat memimpin doa-doa presidensial.
Ketiga, sesudah ajakan untuk saling memberikan salam damai, imam dan umat beriman saling menyampaikan sa1am damai dalam bentuk konkrit dan lahiriah, misalnya bersalaman atau saling membungkuk, atau di tempat tertentu dengan saling berpelukan atau mencium. Namun, bagaimana sebaiknya salam damai disampaikan, itu diserahkan pada kekhasan dan kebiasaan masing-masing daerah sesuai dengan ketentuan dari Konferensi Uskup.
Sumber : Martasudjita,E.Pr., Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius 2005.