Memahami Makna Kolekte
Kolekte dalam liturgi mengingatkan kita akan kebiasaan orang Israel untuk mempersembahkan kepada Tuhan hasil karya yang pertama, baik hewan maupun hasil panen perdana (Kel 27:7; Im 1:3; Im 23:10-13; Ul 26:2). Orang-orang Israel mengenal kebiasaan memberi dua persepuluhan, yang menjadi tanda syukur atas anugerah dari Tuhan berupa hasil ternak dan panen. Secara konkret pemberian itu digunakan untuk memberi makan kepada kaum Lewi yang menjalankan fungsi pelayanan sebagai imam. Sebagian lagi diberikan kepada orang-orang miskin yang sangat membutuhkan pertolongan.
Kebiasaan mempersembahkan persepuluhan ini diteruskan juga oleh para pengikut Kristus. Banyak Gereja mempraktekkan cara persembahan ini. Besarnya persembahan itu bisa tepat sebagai persepuluhan, tetapi ada juga pemberian yang kurang atau bahkan lebih dari persepuluhan. Ada yang memberikannya di luar perayaan liturgis tetapi ada yang melakukannya sebagai bagian utuh dari perayaan liturgis. Kita mengenal bentuk pemberian sebagian dari hasil karya atau pendapatan kita pada saat perayaan liturgis dengan nama kolekte.
Pada hari Minggu, Hari Raya atau hari-hari perayaan khusus, biasanya dibuat kolekte untuk disatukan dengan bahan persembahan roti dan anggur serta bahan persembahan lain yang diarak ke altar agar diambil oleh pemimpin perayaan yang bertindak selaku Kristus yang menghargai setiap pemberian sekecil apa pun (bdk. Mat. 14:15-19). Kolekte bersama bahan persembahan lainnya seharusnya diterima dengan penuh sukacita dan dihargai dengan meletakkannya di suatu tempat yang pantas, sebaiknya dekat altar (bukan di atas meja altar), karena di atas altar hanya diletakkan bahan korban syukur Yesus Kristus yaitu roti dan anggur ((Pedoman Umum Misale Romawi no. 73 dan 140 (terj. dari Institutio Generalis Missalis Romani, editio typica tertia 200, oleh Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2002), hlm. 53 dan 75. Selanjutnya disingkat PUMR.)) yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus.
Makna kolekte
Apa saja yang dikumpulkan untuk dipersembahkan dan apa maknanya? Dalam praktek Gereja abad III, selain roti dan anggur untuk Ekaristi, dipersembahkan juga minyak, lilin, gandum, buah anggur dan barang bernilai lainnya. Pada abad pertengahan muncul kebiasaan mengumpulkan derma dalam bentuk uang sebagai bagian dari persiapan persembahan. ((P.Visentin, “Eucaristia”, dalam Domenico Sartore e Achille M.Tricca (ed.), Nuovo Dizionario di Liturgia (Edizioni Paoline, Roma, 1983), hlm 497; Bdk. P.Bernard Boli Ujan, SVD, Mendalami Bagian-bagian Perayaan Ekaristi (Yogyakarta, 1992), hlm. 44-48.)) Pengumpulan uang derma dapat dilakukan sebagai awal persiapan persembahan. Inilah yang disebut kolekte. ((Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae), Buku Imam (Terj. Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2008), no. 19, hlm. 37. Selanjutnya disingkat TPE.)) Selain asal usul kata kolekte, juga konteks liturgis persiapan persembahan ini turut memberi makna pada kegiatan kolekte itu.
Kata kolekte berasal dari collecta (bahasa Latin) yang berarti sumbangan untuk makan bersama, pengumpulan, rapat atau sidang. ((P. Th. L Verhoeven, SVD, dan Marcus Carvallo, Kamus Latin-Indonesia (Ende, Penerbit Ledalero, Maumere 1969), hlm. 163.)) Istilah yang sama ini (collecta) dalam tradisi liturgi dipakai untuk persekutuan beriman yang terbentuk sebagai satu kelompok doa di suatu tempat (gereja). Di Roma pada abad-abad pertama biasanya umat berkumpul di salah satu gereja “statio”. Di sana mereka berdoa bersama lalu berarak bersama-sama menuju tempat perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Paus di sebuah gereja lain sambil berdoa dan bernyanyi. ((Mengenai sejarah Ekaristi di gereja statio di Roma, lihat Marcel Metzger, “The History of the Eucharistic Liturgy in Rome” dalam Anscar J.Chupungco, O.S.B. (ed.), Handbook for Liturgical Studies: The Eucharist (A Pueblo Book, The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1997), hlm. 110-114)) Selanjutnya istilah collecta dipakai juga sebagai nama untuk Doa Pembuka dalam perayaan Ekaristi, karena doa itu yang diucapkan secara lantang oleh imam pemimpin sebenarnya mengumpulkan dalam rumusan yang singkat-padat semua intensi atau maksud hati dari umat beriman yang hadir (yang berdoa dalam hati dalam keheningan sesudah ajakan imam: “Marilah berdoa”). ((PUMR, no. 54; Bdk. Vincenzo Raffa, Liturgia eucaristica, mistagogia della messa: dalla storia e dalla teologia alla pastorale practica (Edizioni Liturgiche, Roma, 1998), hlm. 68-69; P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 23-24.)) Maka collecta dalam arti pengumpulan uang (kolekte) sebagai bagian dari persiapan persembahan mempunyai hubungan erat sekali dengan persatuan-persaudaraan dan dengan doa.
Kolekte tidak hanya sekedar memberikan sesuatu dari diri sendiri kepada orang lain, tetapi kolekte itu mempererat persatuan-persaudaraan antara kita dengan orang lain yang menerima sesuatu dari diri kita. Kolekte adalah bagian dari doa yang mempersatukan kita sebagai saudara saudari dalam Tuhan. Kita bisa berdoa dengan kata-kata, dengan nyanyian, dengan sikap-gerak, tetapi juga dengan pemberian (kolekte). Aspek penting dari doa yang seharusnya mewarnai juga pemberian (kolekte) adalah syukur-pujian atas anugerah yang telah diterima dan atas kesempatan untuk berbuat baik dengan meneruskan anugerah itu kepada orang lain yang membutuhkannya meskipun orang-orang itu tidak kita kenal. Inilah makna liturgis penting dari kolekte: bersama-sama mengumpulkan sesuatu untuk kepentingan banyak orang lain. Maka semakin kita rela memberi (kolekte) semakin kita tahu bersyukur (dalam Doa Syukur Agung), semakin kita bersatu padu dengan saudara-saudari yang lain dan dengan Tuhan sendiri sebagai sumber anugerah (dalam komuni).
Menurut tradisi liturgi memang pernah ada semacam syarat untuk boleh menerima komuni (menyambut Tubuh dan Darah Yesus Kristus), yaitu selain berada dalam keadaan pantas-layak karena penuh rahmat dan tidak berdosa berat, juga kalau penerima komuni itu telah membawa dan memberi sesuatu sebagai bagian dari kolekte pada saat persiapan persembahan. ((“Dalam sinode Elvira (awal abad IV) ditegaskan bahwa umat yang membawa persembahan adalah umat yang ikut komuni. Maka persembahan itu dibawa hanya oleh orang yang telah dipermandikan dan mau berpartisipasi lebih penuh sebagai umat beriman yang sudah dipilih menjadi imam rajawi. Di daerah Gallia terdapat kebiasaan menyebut nama orang yang membawa pesembahan dalam doa persembahan. Tetapi di Roma tidak ada tradisi itu.” P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 45-46.)) Ada hubungan yang erat antara kolekte dan komuni dalam perayaan Ekaristi. Dalam hal ini kolekte tidak “membeli komuni”. Kalau kita memberi dengan penuh rasa syukur, dengan sendirinya kita mengalami persaudaraan-persatuan sejati bersama sesama dan Tuhan yang dirayakan secara sakramental dalam komuni.
Semangat yang benar
Dalam konteks persiapan persembahan, membuat kolekte berarti memberikan bagian dalam mempersiapkan bahan kurban syukur Yesus Kristus. Maka urutan perarakan dan penyerahan bahan-bahan persembahan adalah: pertama-tama roti dan anggur (yang akan menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus) lalu bahan-bahan lain dan kolekte. ((Bdk. Peter J. Elliott, Ceremonies of the Modern Roman Rite: The Eucharist and the Liturgy of the Hours, A Manula for Clergy and All Involved in Liturgical Ministries (Ignatius Press, San Francisco, 1995), hlm. 100-105.)) Itu berarti kita tidak mengandalkan atau mengutamakan pemberian-kurban kita, tetapi menomorsatukan pemberian-kurban Yesus Kristus. Bila demikian kita terhindar dari sikap “memberi sambil menuntut balasan dari Tuhan” alias do ut des (Latin = saya beri supaya engkau membalas). Yesus sendiri memberi seluruh diri-Nya sebagai kurban syukur pujian kepada Bapa, tanpa menuntut apa-apa dari Bapa sebagai gantinya. Maka ganti memberi sambil menuntut, kita akan memberi dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang selalu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kita. Kehadiran orang yang berkekurangan bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk meneruskan kebaikan dan perhatian Tuhan yang berlimpah-limpah itu seraya mendorong orang-orang lain untuk selalu bersyukur kepada Tuhan, dan bukan terutama kepada kita. Itulah sebabnya Yesus mengingatkan kita untuk memberi dengan tangan kanan sedemikian rupa sehingga tangan kiri tidak mengetahuinya (bdk Mat 6:3).
Bila dirayakan Ibadat Sabda tanpa Ekaristi, ada kemungkinan membuat kolekte pada Ritus Penutup ibadat sebelum pengutusan dan berkat. Itu berarti kolektenya diberikan dalam konteks pengutusan ke tengah dunia. Kolekte lalu menjadi satu bentuk dari kesaksian iman bagi banyak orang lain yang dilayani dalam hidup harian. Selanjutnya dengan kolekte itu orang yang menerimanya dapat semakin percaya dan berharap pada Tuhan sumber kekuatan dan hidup. Maka kita tidak memberi kepada orang lain untuk membuat mereka menjadi malas dan kurang berusaha berdikari. Patut disesali bila kita enggan memberi kolekte hanya karena berprasangka bahwa pemberian cuma-cuma itu akan membuat si penerima kurang bersemangat untuk mencari jalan keluar mengatasi kekurangannya.
Untuk siapa?
Untuk siapa kolekte itu digunakan? Sejak abad-abad pertama umat beriman membuat kolekte dengan tujuan menopang hidup para pelayan altar, mengatasi kemiskinan orang-orang papa, dan memenuhi kebutuhan rumah Allah atau tempat ibadat. Para pelayan altar yang menjalankan tugas-tugas pengabdian bagi banyak orang lain termasuk memimpin perayaan-perayaan liturgis sepantasnya mendapat dukungan materi dan keuangan selain dukungan moril serta rohani agar dapat sehat, kuat dan tekun memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Bagi orang-orang miskin dan berkekurangan kolekte itu dapat membantu menciptakan keadilan untuk lebih banyak orang. Santo Yustinus dalam abad ke-tiga mengingatkan orang Kristen untuk tidak melalaikan kewajiban menolong orang miskin. Ia menulis dalam Apologia I, no. 65: “Orang-orang yang berada dalam kelimpahan kalau ingin menyumbang hendaknya meletakkan itu di dekat si pemimpin yang akan menggunakannya untuk membantu yatim piatu dan para janda, orang miskin yang sakit, para narapidana, orang-orang asing disekitarnya dan semua orang yang sangat membutuhkannya.” ((Lihat terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R.C.D. Jasper & G.J.Cuming, Prayers of the Eucharist, 2nd ed. (New York, 1980), hlm. 20. Bdk. Herman Wegman, Christian Worship in East and West: A Study Guide to Liturgical History (terj. Gordon W. Lathrop dari teks asli Geshiedenis van de Christelijke Eredienst in het Westen en in het Oosten, Pueblo Publishing Company, New York, 1985), hlm. 42.)) Kemudian St. Agustinus kembali mencanangkan kewajiban orang Kristiani untuk memberi kolekte buat orang miskin. ((Bdk. Joseph A. Jungmann, The Mass of the Roman Rite: Its Origins and Development Vol. Two (Benzinger Brothers, Inc., New York, 1955) hlm. 1-41.))
Kolekte merupakan tanda solidaritas dengan orang-orang kecil, juga dengan keluarga, lingkungan, wilayah dan paroki bahkan keuskupan atau siapa saja yang menderita kekurangan tanpa batas wilayah maupun agama. Maka di beberapa tempat kolekte itu menjadi sumber untuk membentuk dana solidaritas. Ada banyak tempat yang membutuhkan dana untuk membangun dan memperlengkapi kebutuhan rumah sakit, panti asuhan atau rumah para lansia, selain rumah ibadat dan pastoran atau gedung paroki dan ruang serba guna untuk berbagai kegiatan umum.
Dalam kenyataan ada banyak paroki yang jumlah kolektenya setiap minggu mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Namun tidak dapat disangkal bahwa banyak paroki hanya berhasil mengumpulkan kolekte mingguan sebanyak ratusan ribu atau bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Mengapa? Umumnya orang langsung menunjukkan sebab perbedaan itu dalam tingkat kesejahteraan hidup para anggota persekutuan beriman di paroki masing-masing. Kolektenya besar karena umatnya kebanyakan kaya raya, kolektenya sedikit karena umatnya sebagian besar terdiri dari orang miskin. Mungkin ada benarnya, tetapi belum tentu selalu demikian.
http://www.katolisitas.org/
Kebiasaan mempersembahkan persepuluhan ini diteruskan juga oleh para pengikut Kristus. Banyak Gereja mempraktekkan cara persembahan ini. Besarnya persembahan itu bisa tepat sebagai persepuluhan, tetapi ada juga pemberian yang kurang atau bahkan lebih dari persepuluhan. Ada yang memberikannya di luar perayaan liturgis tetapi ada yang melakukannya sebagai bagian utuh dari perayaan liturgis. Kita mengenal bentuk pemberian sebagian dari hasil karya atau pendapatan kita pada saat perayaan liturgis dengan nama kolekte.
Pada hari Minggu, Hari Raya atau hari-hari perayaan khusus, biasanya dibuat kolekte untuk disatukan dengan bahan persembahan roti dan anggur serta bahan persembahan lain yang diarak ke altar agar diambil oleh pemimpin perayaan yang bertindak selaku Kristus yang menghargai setiap pemberian sekecil apa pun (bdk. Mat. 14:15-19). Kolekte bersama bahan persembahan lainnya seharusnya diterima dengan penuh sukacita dan dihargai dengan meletakkannya di suatu tempat yang pantas, sebaiknya dekat altar (bukan di atas meja altar), karena di atas altar hanya diletakkan bahan korban syukur Yesus Kristus yaitu roti dan anggur ((Pedoman Umum Misale Romawi no. 73 dan 140 (terj. dari Institutio Generalis Missalis Romani, editio typica tertia 200, oleh Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2002), hlm. 53 dan 75. Selanjutnya disingkat PUMR.)) yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus.
Makna kolekte
Apa saja yang dikumpulkan untuk dipersembahkan dan apa maknanya? Dalam praktek Gereja abad III, selain roti dan anggur untuk Ekaristi, dipersembahkan juga minyak, lilin, gandum, buah anggur dan barang bernilai lainnya. Pada abad pertengahan muncul kebiasaan mengumpulkan derma dalam bentuk uang sebagai bagian dari persiapan persembahan. ((P.Visentin, “Eucaristia”, dalam Domenico Sartore e Achille M.Tricca (ed.), Nuovo Dizionario di Liturgia (Edizioni Paoline, Roma, 1983), hlm 497; Bdk. P.Bernard Boli Ujan, SVD, Mendalami Bagian-bagian Perayaan Ekaristi (Yogyakarta, 1992), hlm. 44-48.)) Pengumpulan uang derma dapat dilakukan sebagai awal persiapan persembahan. Inilah yang disebut kolekte. ((Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae), Buku Imam (Terj. Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2008), no. 19, hlm. 37. Selanjutnya disingkat TPE.)) Selain asal usul kata kolekte, juga konteks liturgis persiapan persembahan ini turut memberi makna pada kegiatan kolekte itu.
Kata kolekte berasal dari collecta (bahasa Latin) yang berarti sumbangan untuk makan bersama, pengumpulan, rapat atau sidang. ((P. Th. L Verhoeven, SVD, dan Marcus Carvallo, Kamus Latin-Indonesia (Ende, Penerbit Ledalero, Maumere 1969), hlm. 163.)) Istilah yang sama ini (collecta) dalam tradisi liturgi dipakai untuk persekutuan beriman yang terbentuk sebagai satu kelompok doa di suatu tempat (gereja). Di Roma pada abad-abad pertama biasanya umat berkumpul di salah satu gereja “statio”. Di sana mereka berdoa bersama lalu berarak bersama-sama menuju tempat perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Paus di sebuah gereja lain sambil berdoa dan bernyanyi. ((Mengenai sejarah Ekaristi di gereja statio di Roma, lihat Marcel Metzger, “The History of the Eucharistic Liturgy in Rome” dalam Anscar J.Chupungco, O.S.B. (ed.), Handbook for Liturgical Studies: The Eucharist (A Pueblo Book, The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1997), hlm. 110-114)) Selanjutnya istilah collecta dipakai juga sebagai nama untuk Doa Pembuka dalam perayaan Ekaristi, karena doa itu yang diucapkan secara lantang oleh imam pemimpin sebenarnya mengumpulkan dalam rumusan yang singkat-padat semua intensi atau maksud hati dari umat beriman yang hadir (yang berdoa dalam hati dalam keheningan sesudah ajakan imam: “Marilah berdoa”). ((PUMR, no. 54; Bdk. Vincenzo Raffa, Liturgia eucaristica, mistagogia della messa: dalla storia e dalla teologia alla pastorale practica (Edizioni Liturgiche, Roma, 1998), hlm. 68-69; P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 23-24.)) Maka collecta dalam arti pengumpulan uang (kolekte) sebagai bagian dari persiapan persembahan mempunyai hubungan erat sekali dengan persatuan-persaudaraan dan dengan doa.
Kolekte tidak hanya sekedar memberikan sesuatu dari diri sendiri kepada orang lain, tetapi kolekte itu mempererat persatuan-persaudaraan antara kita dengan orang lain yang menerima sesuatu dari diri kita. Kolekte adalah bagian dari doa yang mempersatukan kita sebagai saudara saudari dalam Tuhan. Kita bisa berdoa dengan kata-kata, dengan nyanyian, dengan sikap-gerak, tetapi juga dengan pemberian (kolekte). Aspek penting dari doa yang seharusnya mewarnai juga pemberian (kolekte) adalah syukur-pujian atas anugerah yang telah diterima dan atas kesempatan untuk berbuat baik dengan meneruskan anugerah itu kepada orang lain yang membutuhkannya meskipun orang-orang itu tidak kita kenal. Inilah makna liturgis penting dari kolekte: bersama-sama mengumpulkan sesuatu untuk kepentingan banyak orang lain. Maka semakin kita rela memberi (kolekte) semakin kita tahu bersyukur (dalam Doa Syukur Agung), semakin kita bersatu padu dengan saudara-saudari yang lain dan dengan Tuhan sendiri sebagai sumber anugerah (dalam komuni).
Menurut tradisi liturgi memang pernah ada semacam syarat untuk boleh menerima komuni (menyambut Tubuh dan Darah Yesus Kristus), yaitu selain berada dalam keadaan pantas-layak karena penuh rahmat dan tidak berdosa berat, juga kalau penerima komuni itu telah membawa dan memberi sesuatu sebagai bagian dari kolekte pada saat persiapan persembahan. ((“Dalam sinode Elvira (awal abad IV) ditegaskan bahwa umat yang membawa persembahan adalah umat yang ikut komuni. Maka persembahan itu dibawa hanya oleh orang yang telah dipermandikan dan mau berpartisipasi lebih penuh sebagai umat beriman yang sudah dipilih menjadi imam rajawi. Di daerah Gallia terdapat kebiasaan menyebut nama orang yang membawa pesembahan dalam doa persembahan. Tetapi di Roma tidak ada tradisi itu.” P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 45-46.)) Ada hubungan yang erat antara kolekte dan komuni dalam perayaan Ekaristi. Dalam hal ini kolekte tidak “membeli komuni”. Kalau kita memberi dengan penuh rasa syukur, dengan sendirinya kita mengalami persaudaraan-persatuan sejati bersama sesama dan Tuhan yang dirayakan secara sakramental dalam komuni.
Semangat yang benar
Dalam konteks persiapan persembahan, membuat kolekte berarti memberikan bagian dalam mempersiapkan bahan kurban syukur Yesus Kristus. Maka urutan perarakan dan penyerahan bahan-bahan persembahan adalah: pertama-tama roti dan anggur (yang akan menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus) lalu bahan-bahan lain dan kolekte. ((Bdk. Peter J. Elliott, Ceremonies of the Modern Roman Rite: The Eucharist and the Liturgy of the Hours, A Manula for Clergy and All Involved in Liturgical Ministries (Ignatius Press, San Francisco, 1995), hlm. 100-105.)) Itu berarti kita tidak mengandalkan atau mengutamakan pemberian-kurban kita, tetapi menomorsatukan pemberian-kurban Yesus Kristus. Bila demikian kita terhindar dari sikap “memberi sambil menuntut balasan dari Tuhan” alias do ut des (Latin = saya beri supaya engkau membalas). Yesus sendiri memberi seluruh diri-Nya sebagai kurban syukur pujian kepada Bapa, tanpa menuntut apa-apa dari Bapa sebagai gantinya. Maka ganti memberi sambil menuntut, kita akan memberi dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan yang selalu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kita. Kehadiran orang yang berkekurangan bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk meneruskan kebaikan dan perhatian Tuhan yang berlimpah-limpah itu seraya mendorong orang-orang lain untuk selalu bersyukur kepada Tuhan, dan bukan terutama kepada kita. Itulah sebabnya Yesus mengingatkan kita untuk memberi dengan tangan kanan sedemikian rupa sehingga tangan kiri tidak mengetahuinya (bdk Mat 6:3).
Bila dirayakan Ibadat Sabda tanpa Ekaristi, ada kemungkinan membuat kolekte pada Ritus Penutup ibadat sebelum pengutusan dan berkat. Itu berarti kolektenya diberikan dalam konteks pengutusan ke tengah dunia. Kolekte lalu menjadi satu bentuk dari kesaksian iman bagi banyak orang lain yang dilayani dalam hidup harian. Selanjutnya dengan kolekte itu orang yang menerimanya dapat semakin percaya dan berharap pada Tuhan sumber kekuatan dan hidup. Maka kita tidak memberi kepada orang lain untuk membuat mereka menjadi malas dan kurang berusaha berdikari. Patut disesali bila kita enggan memberi kolekte hanya karena berprasangka bahwa pemberian cuma-cuma itu akan membuat si penerima kurang bersemangat untuk mencari jalan keluar mengatasi kekurangannya.
Untuk siapa?
Untuk siapa kolekte itu digunakan? Sejak abad-abad pertama umat beriman membuat kolekte dengan tujuan menopang hidup para pelayan altar, mengatasi kemiskinan orang-orang papa, dan memenuhi kebutuhan rumah Allah atau tempat ibadat. Para pelayan altar yang menjalankan tugas-tugas pengabdian bagi banyak orang lain termasuk memimpin perayaan-perayaan liturgis sepantasnya mendapat dukungan materi dan keuangan selain dukungan moril serta rohani agar dapat sehat, kuat dan tekun memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Bagi orang-orang miskin dan berkekurangan kolekte itu dapat membantu menciptakan keadilan untuk lebih banyak orang. Santo Yustinus dalam abad ke-tiga mengingatkan orang Kristen untuk tidak melalaikan kewajiban menolong orang miskin. Ia menulis dalam Apologia I, no. 65: “Orang-orang yang berada dalam kelimpahan kalau ingin menyumbang hendaknya meletakkan itu di dekat si pemimpin yang akan menggunakannya untuk membantu yatim piatu dan para janda, orang miskin yang sakit, para narapidana, orang-orang asing disekitarnya dan semua orang yang sangat membutuhkannya.” ((Lihat terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R.C.D. Jasper & G.J.Cuming, Prayers of the Eucharist, 2nd ed. (New York, 1980), hlm. 20. Bdk. Herman Wegman, Christian Worship in East and West: A Study Guide to Liturgical History (terj. Gordon W. Lathrop dari teks asli Geshiedenis van de Christelijke Eredienst in het Westen en in het Oosten, Pueblo Publishing Company, New York, 1985), hlm. 42.)) Kemudian St. Agustinus kembali mencanangkan kewajiban orang Kristiani untuk memberi kolekte buat orang miskin. ((Bdk. Joseph A. Jungmann, The Mass of the Roman Rite: Its Origins and Development Vol. Two (Benzinger Brothers, Inc., New York, 1955) hlm. 1-41.))
Kolekte merupakan tanda solidaritas dengan orang-orang kecil, juga dengan keluarga, lingkungan, wilayah dan paroki bahkan keuskupan atau siapa saja yang menderita kekurangan tanpa batas wilayah maupun agama. Maka di beberapa tempat kolekte itu menjadi sumber untuk membentuk dana solidaritas. Ada banyak tempat yang membutuhkan dana untuk membangun dan memperlengkapi kebutuhan rumah sakit, panti asuhan atau rumah para lansia, selain rumah ibadat dan pastoran atau gedung paroki dan ruang serba guna untuk berbagai kegiatan umum.
Dalam kenyataan ada banyak paroki yang jumlah kolektenya setiap minggu mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Namun tidak dapat disangkal bahwa banyak paroki hanya berhasil mengumpulkan kolekte mingguan sebanyak ratusan ribu atau bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Mengapa? Umumnya orang langsung menunjukkan sebab perbedaan itu dalam tingkat kesejahteraan hidup para anggota persekutuan beriman di paroki masing-masing. Kolektenya besar karena umatnya kebanyakan kaya raya, kolektenya sedikit karena umatnya sebagian besar terdiri dari orang miskin. Mungkin ada benarnya, tetapi belum tentu selalu demikian.
http://www.katolisitas.org/