Kremasi Jenazah dalam Pandangan Gereja Katolik
Sekalipun sering diwarnai keraguan dan pandangan-pandangan yang pro-kontra, kremasi tampaknya semakin pilihan logis di kalangan umat Katolik, karena berbagai faktor. Bagaimanakah sikap Gereja Katolik?
Gereja Katolik baru mengizinkan praktek kremasi pada tahun 1969. Namun, dengan memberi catatan bahwa alasan kremasi tidak boleh bertentangan dengan iman kristiani. “Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani” (Kan. 1176$3).
Prioritas pada pemakaman dibanding kremasi, dilatarbelakangi oleh alasan berikut:
Pertama, hal itu sesuai dengan praktek dalam Perjanjian Lama (Abraham, Ishak, Musa, dsb) dan Perjanjian Baru (Yesus, Stefanus). Bahkan Perjanjian Lama jenazah yang tidak dikuburkan, tetapi hangus dalam api, dianggap sebagai hukuman Tuhan, mis. Sodom-Gomora (Kej 19:1-29), Jezebel (2 Raj 9:30-37),dan keturunan Ahab (1 Raj 21:17-24).
Kedua, dengan dimakamkan, simbolisasi untuk dibangkitkan oleh Kristus pada akhir zaman menjadi lebih jelas. Demikian pula sesuai dengan ilustrasi St. Paulus seperti benih yang ditaburkan ke tanah (1 Kor 15).
Ketiga, pada masa penganiayaan Gereja oleh kekaisaran Romawi, jenazah para martir dimakamkan secara rahasia di kuburan bawah tanah yang disebut dengan katakombe. Mereka tidak mengikuti kebiasaan Romawi yang membakar jenazah.
Lalu, mengapa Gereja bersikap terbuka dengan membolehkan kremasi? Ada berbagai faktor. Misalnya, alasan higienis, khususnya pada jenazah yang mempunyai penyakit menular. Lalu, alasan ekonomis, karena sedikitnya lahan untuk pemakaman, misalnya di Singapura.
Selain itu, alasan praktis, contohnya dalam kasus korban kecelakaan yang jenazahnya hancur, kremasi menjadi tindakan yang logis. Atau juga, alasan lainnya, yang bisa jadi sekedar mengikuti tradisi dan kebiasaan leluhur, tanpa harus menolak iman akan kebangkitan badan.
Memahami Tradisi
Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang (KAS) Rama Ignasius Sukawalyana, Pr., mengemukakan, pada prinsipnya Gereja tidak melarang kremasi jenazah. Gereja ingin memaknai tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu dengan terang iman Katolik.
“Dalam Nostra Aetate Konsili Vatikan II tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristiani disebutkan bahwa Gereja mendorong umatnya untuk mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat di masyarakat,” kata Rama Suka.
Berkait dengan kremasi, Rama Sukawalyana menjelaskan, Gereja itu menyatu dengan budaya masyarakat. Karenaitu, Gereja tidak gegabah untuk melarang tradisi yang berkembang di masyarakat. “Termasuk dalam hal ini soal kremasi jenazah,” tuturnya.
Kremasi jenazah adalah cara lain dari umat dalam memberikan penghormatan kepada orang yang sudah meninggal. Jika pada masyarakat Jawa dan Barat, tradisinya adalah memakamkan jenazah, pada masyarakat Tionghoa, dengan kremasi. “Intinya sama, yaitu cara kita untuk ‘mengantarkan’ jenazah, dari debu kembali ke debu, seperti yang tertulis pada Kitab Kejadian,” ujarnya.
Rama Sukawalayana yang juga Pastor Kepala Paroki Santo Yusup Pekerja Gondangwinangun ini pun mempersilakan umat yang ingin mengkremasi jenazah anggota keluarganya. “Silakan. Nggak apa-apa.”
Rama Sukawalyana menjelaskan, sampai sekarang belum ada pedoman pastoral di KAS terkait dengan kremasi jenazah. Di Keuskupan Agung Jakarta sudah ada, yang dibuat oleh Rama Samuel Pr. Yaitu buku mengenai ibadat melepas jenazah, kremasi, dan memperingati jenazah umat Tionghoa, dari sisi pastoral, teologis, dan liturgis.
“Dalam tradisi Tionghoa, ada banyak cara seputar pengantaran jenazah, seperti jaga jenazah, tutup peti, pemberkatan jenazah, kremasi jenazah, dan seterusnya. Berdasarkan pengalaman, tata cara Katolik hanya sampai pada pemberkatan ata pemakaman jenazah. Untuk urusan kremasi, diserahkan pada keluarga masing-masing,” paparnya.
Rama Sukawalyana menegaskan, iman akan “kebangkitan badan” tidak berkaitan dengan janazah yang telah menjadi abu. Semua jenazah yang dikuburkan akan hancur, begitu pula yang dikremasi.
Tetap Menghormati Tubuh
Menjelaskan lebih dalam tentang kremasi, pakar kebudayaan Tionghoa, Rama Paulus Agung Wijayanto SJ mengemukakan, dalam tradisi Gereja praktik kremasi cukup lama dipandang berlawanan dengan iman Gereja.
Di balik sikap Gereja yang demikian, sebetulnya Gereja tidak ingin supaya penghargaan terhadap tubuh itu direndahkan. “Yang ditolak adalah anggapan bahwa tubuh itu tidak berguna lalu dibuang atau bakar begitu saja,” ucap pakar kebudayaan Tionghoa ini.
Tetapi dalam perjalanan waktu Gereja menyadari bahwa ada latar belakang kebudayaan dan maksud tertentu, sehingga Gereja bisa menerima praktik kremasi, sejauh itu tidak untuk merendahkan tubuh.
Secara pribadi Rama Agung menanggapi kremasi dengan prinsip dasar bahwa setiap orang lahir sebagai manusia dan ketika meninggal pun harus dihargai sebagai manusia. Dan sikap dasar inilah kiranya yang harus dipegang.
“Bahwa ada yang dimakamkan dan ada yang dikremasi, setiap kebudayaan memiliki cara masing-masing. Asalkan cara-cara tertentu itu merupakan cara-cara terbaik untuk menghormati seseorang yang telah meninggal. Karenanya kita perlu juga menghormati suatu kebudayaan. Dan tentunya tidak mengabaikan iman Kristiani, bila orang tersebut Kristiani. Yaitu penghargaan akan kebangkitan badan,” tandas Pastor Kepala Paroki St Isidorus, Sukorejo ini.
Praktik kremasi bila hanya berdasarkan alasan praktis-ekonomis semata dan tanpa kasih, maka orang tersebut harus diingatkan. Orang harus memberikan yang terbaik bagi orang yang telah meninggal, meski dengan segala keterbatasan yang ada.
“Analogi berpikirnya demikian. Kalau keluarga tidak bisa memberikan nisan yang sangat mahal, oleh karena keterbatasan ekonomi, maka keluarga tersebut harus memberikan nisan yang terbaik menurut keluarga itu sesuai kemampuan dan merupakan ungkapan kasih keluarga kepada orang yang telah meninggal,” ujarnya.
Kebangkitan Badan
Sejarah kremasi sudah ada sejak dinasti-dinasti awal di Tiongkok. Ada macam-macam faktor dan alasan yang melatarbelakangi munculnya praktik kremasi. Misalnya, karena masalah perang. Karena harus berpindah-pindah, maka untuk praktisnya para korban perang dikremasi.
Contoh lain, seseorang dikremasi untuk kedekatan hati. Daripada dimakamkan di suatu tempat, maka dikremasi terasa lebih dekat secara rohani dengan orang yang telah meninggal. Dimakamkan di suatu tempat terasa ada jarak tertentu. Alasan-alasan tersebut berbeda-beda dari berbagai generasi dan dinasti.
Apakah ada pedoman pastoral khusus untuk praktik kremasi? Pedoman pastoral untuk praktik kremasi, tidak ada yang spesifik. Yang terpenting adalah prinsip dasar, bagaimana cara memanusiakan dan memuliakan tubuh manusia terkait dengan kebangkitan badan.Dalam iman Katolik dengan inkarnasi (penjelmaan) Tuhan Yesus Kristus, penghargaan atas tubuh semakin diteguhkan.Tubuh bukan hanya dipandang sebagai sumber kejahatan, namun dengan tubuh orang juga bisa berbuat baik dan menjadi kudus.
Allah menjadi manusia, maka martabat sebagai badan atau tubuh juga dipermuliakan di dalam Kristus. Dan sesudah kematian, kita tidak mengabaikan peran dan fungsi keutuhan manusia.
Tentang kebangkitan badan, pemahaman iman Katolik tidak sekadar kebangkitan badan jasmani. Namun pemahamannya lebih dalam lagi. Seperti diungkapkan Rasul Paulus,tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus, bahkan kematian (Roma 8). Bagi orang Katolik dengan peristiwa kematian, kasih tidak berhenti, maka kita harus memberikan penghormatan yang terbaik.
Berkaitan abu kremasi, apakah boleh disimpan di rumah? Apakah boleh dilarung di laut dengan cara disebar?Kadang ada alasan praktis atau alasan kultural.Misalnya, keluarganya berada di luar negeri dan kemungkinan kembali begitu kecil, maka ada yang menyimpannya. Sejauh itu mendapatkan perawatan yang baik, Rama Agung bisa memahami.
Di Gereja Katolik belum ditemukan aturan detail tentang perlakuan terhadap abu jenazah. Namun di Singapura, Taiwan, dan Malaysia, ada yang memakamkan abu kremasi dalam bentuk guci di halaman-halaman Gereja (Church Yard). “Seperti di Singapura, karena pemerintahnya tidak mengizinkan adanya makam karena tanah terbatas, maka ada yang memakamkan abu jenazah di halaman atau di bawah gereja. Rupanya ini jauh lebih baik, daripada disimpan di rumah atau dibuang ke laut,” tutur Rama Agung.
Pengalaman Melakukan Kremasi
Bagaimanakah pengalaman keluarga-keluarga Katolik yang telah melakukan kremasi untuk jenazah anggota keluarganya?
Sekalipun diselimuti sebersit perasaan tidak tega dan miris, bagi Ibu Hana Mutia Dewi, kremasi tampaknya pilihan yang terbaik bagi keluarga. Kremasi, baginya, adalah cara yang efisien dan murah. Terlebih lagi, di saat harga tanah semakin mahal dan lahan semakin sempit. Upaya kremasi merupakan solusi terbaik.
“Bagi kami, kremasi bukanlah suatu tradisi, melainkan upaya terbaik memberikan penghormatan terakhir bagi keluarga yang sangat dikasihi,” tuturnya.
Ibu yang aktif dipelbagai kegiatan sosial dan kerohanian di Gereja Katolik ini menilai kremasi lebih efisien daripada penguburan di makam. Proses penguburan juga berbiaya cukup tinggi, setelah itu, butuh perawatan, biaya bulanan, biaya tahunan, dan kewajiban rutin untuk mendatangi makam untuk berdoa. “Dalam hal mengirim doa, kalau kremasi cukup dengan kegiatan tabur bunga di laut atau di sungai, di mana pun kita berada.”
Tentang penyimpanan abu jenasah di columbarium atau muselium, Hana Mutia mengatakan, hal itu tergantung iman masing- masing. "Saya orangnya tidak suka yang bertele-tele, saya suka yang simple saja. Kalau ada orang pengin menyimpan monggo, tapi bagi kami, akan lebih menghormati kalau abu itu dilarung," ujarnya.
Anastasia Lies Yunani, umat Paroki Fransiskus Xaverius Kebon Dalem Semarang, mengungkapkan, keluarganya melakukan kremasi jenazah ayahnya karena permintaan almarhum.
Melalui perundingan keluarga, akhirnya memang kremasilah yang dipilih sebagai cara penghormatan terakhir bagi ayahnya. "Saya yakin ayah berterimakasih bahwa pesan beliau untuk dikremasi terkabulkan," ungkap ibu dua anak ini.
Ayahnya berkeinginan, usai meninggal tidak akan merepotkan anak cucunya. Doa pun bisa dilakukan di mana saja, kapan saja. “Kami biasanya mengirim doa dengan menabur bunga di sungai atau laut.”
Dia menilai, munculnya tren kremasi bagi umat Kristiani, layak diapresiasi. Apalagi Gereja memperbolehkannya. "Saya rasa tren ini akan semakin berkembang, karena umat sudah semakin teredukasi. Akan semakin banyak pihak membuat jasa pelayanan kremasi, yang pada akhirnya akan membuat jasa pelayanan ini semakin murah.”
Jika lima tahun lalu, sambungnya, kremasi dianggap aneh oleh sebagian kalangan. Namun,sekarang tren ini semakin meningkat. Kelak, semakin banyak orang menyadari kremasi itu juga baik.
Sumber: https://www.salamdamai.org/2016/12/kremasi-jenazah-dalam-pandangan-gereja.html
Gereja Katolik baru mengizinkan praktek kremasi pada tahun 1969. Namun, dengan memberi catatan bahwa alasan kremasi tidak boleh bertentangan dengan iman kristiani. “Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani” (Kan. 1176$3).
Prioritas pada pemakaman dibanding kremasi, dilatarbelakangi oleh alasan berikut:
Pertama, hal itu sesuai dengan praktek dalam Perjanjian Lama (Abraham, Ishak, Musa, dsb) dan Perjanjian Baru (Yesus, Stefanus). Bahkan Perjanjian Lama jenazah yang tidak dikuburkan, tetapi hangus dalam api, dianggap sebagai hukuman Tuhan, mis. Sodom-Gomora (Kej 19:1-29), Jezebel (2 Raj 9:30-37),dan keturunan Ahab (1 Raj 21:17-24).
Kedua, dengan dimakamkan, simbolisasi untuk dibangkitkan oleh Kristus pada akhir zaman menjadi lebih jelas. Demikian pula sesuai dengan ilustrasi St. Paulus seperti benih yang ditaburkan ke tanah (1 Kor 15).
Ketiga, pada masa penganiayaan Gereja oleh kekaisaran Romawi, jenazah para martir dimakamkan secara rahasia di kuburan bawah tanah yang disebut dengan katakombe. Mereka tidak mengikuti kebiasaan Romawi yang membakar jenazah.
Lalu, mengapa Gereja bersikap terbuka dengan membolehkan kremasi? Ada berbagai faktor. Misalnya, alasan higienis, khususnya pada jenazah yang mempunyai penyakit menular. Lalu, alasan ekonomis, karena sedikitnya lahan untuk pemakaman, misalnya di Singapura.
Selain itu, alasan praktis, contohnya dalam kasus korban kecelakaan yang jenazahnya hancur, kremasi menjadi tindakan yang logis. Atau juga, alasan lainnya, yang bisa jadi sekedar mengikuti tradisi dan kebiasaan leluhur, tanpa harus menolak iman akan kebangkitan badan.
Memahami Tradisi
Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang (KAS) Rama Ignasius Sukawalyana, Pr., mengemukakan, pada prinsipnya Gereja tidak melarang kremasi jenazah. Gereja ingin memaknai tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu dengan terang iman Katolik.
“Dalam Nostra Aetate Konsili Vatikan II tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristiani disebutkan bahwa Gereja mendorong umatnya untuk mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat di masyarakat,” kata Rama Suka.
Berkait dengan kremasi, Rama Sukawalyana menjelaskan, Gereja itu menyatu dengan budaya masyarakat. Karenaitu, Gereja tidak gegabah untuk melarang tradisi yang berkembang di masyarakat. “Termasuk dalam hal ini soal kremasi jenazah,” tuturnya.
Kremasi jenazah adalah cara lain dari umat dalam memberikan penghormatan kepada orang yang sudah meninggal. Jika pada masyarakat Jawa dan Barat, tradisinya adalah memakamkan jenazah, pada masyarakat Tionghoa, dengan kremasi. “Intinya sama, yaitu cara kita untuk ‘mengantarkan’ jenazah, dari debu kembali ke debu, seperti yang tertulis pada Kitab Kejadian,” ujarnya.
Rama Sukawalayana yang juga Pastor Kepala Paroki Santo Yusup Pekerja Gondangwinangun ini pun mempersilakan umat yang ingin mengkremasi jenazah anggota keluarganya. “Silakan. Nggak apa-apa.”
Rama Sukawalyana menjelaskan, sampai sekarang belum ada pedoman pastoral di KAS terkait dengan kremasi jenazah. Di Keuskupan Agung Jakarta sudah ada, yang dibuat oleh Rama Samuel Pr. Yaitu buku mengenai ibadat melepas jenazah, kremasi, dan memperingati jenazah umat Tionghoa, dari sisi pastoral, teologis, dan liturgis.
“Dalam tradisi Tionghoa, ada banyak cara seputar pengantaran jenazah, seperti jaga jenazah, tutup peti, pemberkatan jenazah, kremasi jenazah, dan seterusnya. Berdasarkan pengalaman, tata cara Katolik hanya sampai pada pemberkatan ata pemakaman jenazah. Untuk urusan kremasi, diserahkan pada keluarga masing-masing,” paparnya.
Rama Sukawalyana menegaskan, iman akan “kebangkitan badan” tidak berkaitan dengan janazah yang telah menjadi abu. Semua jenazah yang dikuburkan akan hancur, begitu pula yang dikremasi.
Tetap Menghormati Tubuh
Menjelaskan lebih dalam tentang kremasi, pakar kebudayaan Tionghoa, Rama Paulus Agung Wijayanto SJ mengemukakan, dalam tradisi Gereja praktik kremasi cukup lama dipandang berlawanan dengan iman Gereja.
Di balik sikap Gereja yang demikian, sebetulnya Gereja tidak ingin supaya penghargaan terhadap tubuh itu direndahkan. “Yang ditolak adalah anggapan bahwa tubuh itu tidak berguna lalu dibuang atau bakar begitu saja,” ucap pakar kebudayaan Tionghoa ini.
Tetapi dalam perjalanan waktu Gereja menyadari bahwa ada latar belakang kebudayaan dan maksud tertentu, sehingga Gereja bisa menerima praktik kremasi, sejauh itu tidak untuk merendahkan tubuh.
Secara pribadi Rama Agung menanggapi kremasi dengan prinsip dasar bahwa setiap orang lahir sebagai manusia dan ketika meninggal pun harus dihargai sebagai manusia. Dan sikap dasar inilah kiranya yang harus dipegang.
“Bahwa ada yang dimakamkan dan ada yang dikremasi, setiap kebudayaan memiliki cara masing-masing. Asalkan cara-cara tertentu itu merupakan cara-cara terbaik untuk menghormati seseorang yang telah meninggal. Karenanya kita perlu juga menghormati suatu kebudayaan. Dan tentunya tidak mengabaikan iman Kristiani, bila orang tersebut Kristiani. Yaitu penghargaan akan kebangkitan badan,” tandas Pastor Kepala Paroki St Isidorus, Sukorejo ini.
Praktik kremasi bila hanya berdasarkan alasan praktis-ekonomis semata dan tanpa kasih, maka orang tersebut harus diingatkan. Orang harus memberikan yang terbaik bagi orang yang telah meninggal, meski dengan segala keterbatasan yang ada.
“Analogi berpikirnya demikian. Kalau keluarga tidak bisa memberikan nisan yang sangat mahal, oleh karena keterbatasan ekonomi, maka keluarga tersebut harus memberikan nisan yang terbaik menurut keluarga itu sesuai kemampuan dan merupakan ungkapan kasih keluarga kepada orang yang telah meninggal,” ujarnya.
Kebangkitan Badan
Sejarah kremasi sudah ada sejak dinasti-dinasti awal di Tiongkok. Ada macam-macam faktor dan alasan yang melatarbelakangi munculnya praktik kremasi. Misalnya, karena masalah perang. Karena harus berpindah-pindah, maka untuk praktisnya para korban perang dikremasi.
Contoh lain, seseorang dikremasi untuk kedekatan hati. Daripada dimakamkan di suatu tempat, maka dikremasi terasa lebih dekat secara rohani dengan orang yang telah meninggal. Dimakamkan di suatu tempat terasa ada jarak tertentu. Alasan-alasan tersebut berbeda-beda dari berbagai generasi dan dinasti.
Apakah ada pedoman pastoral khusus untuk praktik kremasi? Pedoman pastoral untuk praktik kremasi, tidak ada yang spesifik. Yang terpenting adalah prinsip dasar, bagaimana cara memanusiakan dan memuliakan tubuh manusia terkait dengan kebangkitan badan.Dalam iman Katolik dengan inkarnasi (penjelmaan) Tuhan Yesus Kristus, penghargaan atas tubuh semakin diteguhkan.Tubuh bukan hanya dipandang sebagai sumber kejahatan, namun dengan tubuh orang juga bisa berbuat baik dan menjadi kudus.
Allah menjadi manusia, maka martabat sebagai badan atau tubuh juga dipermuliakan di dalam Kristus. Dan sesudah kematian, kita tidak mengabaikan peran dan fungsi keutuhan manusia.
Tentang kebangkitan badan, pemahaman iman Katolik tidak sekadar kebangkitan badan jasmani. Namun pemahamannya lebih dalam lagi. Seperti diungkapkan Rasul Paulus,tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus, bahkan kematian (Roma 8). Bagi orang Katolik dengan peristiwa kematian, kasih tidak berhenti, maka kita harus memberikan penghormatan yang terbaik.
Berkaitan abu kremasi, apakah boleh disimpan di rumah? Apakah boleh dilarung di laut dengan cara disebar?Kadang ada alasan praktis atau alasan kultural.Misalnya, keluarganya berada di luar negeri dan kemungkinan kembali begitu kecil, maka ada yang menyimpannya. Sejauh itu mendapatkan perawatan yang baik, Rama Agung bisa memahami.
Di Gereja Katolik belum ditemukan aturan detail tentang perlakuan terhadap abu jenazah. Namun di Singapura, Taiwan, dan Malaysia, ada yang memakamkan abu kremasi dalam bentuk guci di halaman-halaman Gereja (Church Yard). “Seperti di Singapura, karena pemerintahnya tidak mengizinkan adanya makam karena tanah terbatas, maka ada yang memakamkan abu jenazah di halaman atau di bawah gereja. Rupanya ini jauh lebih baik, daripada disimpan di rumah atau dibuang ke laut,” tutur Rama Agung.
Pengalaman Melakukan Kremasi
Bagaimanakah pengalaman keluarga-keluarga Katolik yang telah melakukan kremasi untuk jenazah anggota keluarganya?
Sekalipun diselimuti sebersit perasaan tidak tega dan miris, bagi Ibu Hana Mutia Dewi, kremasi tampaknya pilihan yang terbaik bagi keluarga. Kremasi, baginya, adalah cara yang efisien dan murah. Terlebih lagi, di saat harga tanah semakin mahal dan lahan semakin sempit. Upaya kremasi merupakan solusi terbaik.
“Bagi kami, kremasi bukanlah suatu tradisi, melainkan upaya terbaik memberikan penghormatan terakhir bagi keluarga yang sangat dikasihi,” tuturnya.
Ibu yang aktif dipelbagai kegiatan sosial dan kerohanian di Gereja Katolik ini menilai kremasi lebih efisien daripada penguburan di makam. Proses penguburan juga berbiaya cukup tinggi, setelah itu, butuh perawatan, biaya bulanan, biaya tahunan, dan kewajiban rutin untuk mendatangi makam untuk berdoa. “Dalam hal mengirim doa, kalau kremasi cukup dengan kegiatan tabur bunga di laut atau di sungai, di mana pun kita berada.”
Tentang penyimpanan abu jenasah di columbarium atau muselium, Hana Mutia mengatakan, hal itu tergantung iman masing- masing. "Saya orangnya tidak suka yang bertele-tele, saya suka yang simple saja. Kalau ada orang pengin menyimpan monggo, tapi bagi kami, akan lebih menghormati kalau abu itu dilarung," ujarnya.
Anastasia Lies Yunani, umat Paroki Fransiskus Xaverius Kebon Dalem Semarang, mengungkapkan, keluarganya melakukan kremasi jenazah ayahnya karena permintaan almarhum.
Melalui perundingan keluarga, akhirnya memang kremasilah yang dipilih sebagai cara penghormatan terakhir bagi ayahnya. "Saya yakin ayah berterimakasih bahwa pesan beliau untuk dikremasi terkabulkan," ungkap ibu dua anak ini.
Ayahnya berkeinginan, usai meninggal tidak akan merepotkan anak cucunya. Doa pun bisa dilakukan di mana saja, kapan saja. “Kami biasanya mengirim doa dengan menabur bunga di sungai atau laut.”
Dia menilai, munculnya tren kremasi bagi umat Kristiani, layak diapresiasi. Apalagi Gereja memperbolehkannya. "Saya rasa tren ini akan semakin berkembang, karena umat sudah semakin teredukasi. Akan semakin banyak pihak membuat jasa pelayanan kremasi, yang pada akhirnya akan membuat jasa pelayanan ini semakin murah.”
Jika lima tahun lalu, sambungnya, kremasi dianggap aneh oleh sebagian kalangan. Namun,sekarang tren ini semakin meningkat. Kelak, semakin banyak orang menyadari kremasi itu juga baik.
Sumber: https://www.salamdamai.org/2016/12/kremasi-jenazah-dalam-pandangan-gereja.html