Memilih Nyanyian Liturgi
Nyanyian dan musik merupakan unsur penting dalam liturgi Gereja. Begitu pentingnya peran itu sehingga ada ungkapan “Bernyanyi dengan baik sama dengan dua kali berdoa.” Dari ungkapan itu tersirat bahwa nyanyian dalam Gereja merupakan doa yang diungkapkan dalam bentuk nyanyian. Jadi nyanyian/lagu adalah doa! Nah, bagaimana bila kita menyanyikan nyanyian itu tidak dengan baik; atau nyanyian yang kita pakai dalam ibadat bukanlah doa?
Mengamati apa yang sering terjadi di berbagai gereja setidaknya akan kita jumpai beberapa hal yang menggugurkan anggapan nyanyian = doa. Hal itu bukan hanya pada nyanyiannya saja namun juga pada pihak-pihak yang entah sadar atau tidak telah memilih nyanyian yang sebenarnya tidak tepat dengan hakekat nyanyian dalam liturgi Gereja Katolik. Berikut beberapa hal yang patut kita renungkan:
1. Fungsi nyanyian dalam liturgi Gereja adalah ungkapan doa umat beriman (bukan hanya koor/solis) untuk memuliakan Allah.
Hal itu bisa berupa ungkapan syukur, pujian, permohonan, dll. Maka hendaknya nyanyian yang dipakai dalam perayaan liturgi hendaknya sungguh membawa umat untuk semakin menghayati imannya. Liturgi merupakan perayaan bersama seluruh umat beriman bukan sebagian umat atau hanya pemimpin saja. Karena itu akan tidak tepat bila dalam perayaan liturgi umat hanya disuruh jadi penonton koor atau solis bernyanyi karena tidak tahu lagu apa yang dinyanyikan. Memang ada kemungkinan beberapa nyanyian bisa dinyanyikan eksklusif oleh koor. Namun jangan sampai bagian-bagian yang mengungkapkan kebersamaan (pembukaan, persembahan, madah syukur, ordinarium) dimonopoli koor. Jika nyanyiannya belum dikenal umat apa salahnya jika disediakan teks atau sebelum misa berlangsung umat diajak berlatih bersama.
2. Koor atau pemimpin paduan suara haruslah jeli membedakan mana lagu liturgi, mana lagu rohani atau lagu pop rohani.
Bukan asal nyanyian mengandung kata “Tuhan” lalu dianggap cocok untuk dinyanyikan. Nyanyian liturgi mengandung unsur kebersamaan bukan individual, maka umumnya tidak memakai kata “aku” atau ungkapan doa pribadi. Dalam memilih nyanyian liturgi soal selera perlu dikesampingkan. Sering terjadi suatu lagu yang sudah populer, dirasa bagus dan enak didengar tanpa pertimbangan dipaksakan untuk dinyanyikan (umumnya saat persembahan atau komuni). Teliti dahulu syairnya apakah cocok dengan iman Katolik atau tidak. Keprihatinan ini akan sangat terasa pada saat misa perkawinan. Jika kita sungguh menyimak nyanyian yang sering dipakai, kita mungkin bertanya: Apakah seka-rang kita ini di Gereja Katolik, Gereja lain atau lagi nonton konser? Kadangkala campur aduk lagu pop yang musiknya bagus dipaksa dengan syair yang “berwarna” Kristen.
3. Jika nyanyian bukan dari buku resmi nyanyian Gereja Katolik atau terjemahan (misalnya selain Puji Syukur, Madah Bakti) perhatikan syair dan latar belakang lagu itu.
Jangan sampai syairnya bertentangan dengan teologi Katolik atau tidak cocok peruntukkannya. Mis. Lagu “Di Doa Ibuku, Ada Namaku Disebut” syair lagu itu berkisah kenangan seorang anak akan ibunya yang sudah meninggal yang dulu rajin berdoa. Lha kalau dipakai untuk sungkeman apa nggak seperti mendoakan agar orangtuanya cepat meninggal? Berkaitan dengan latar belakang nyanyian, sering kita tidak memperhatikan lagu-lagu gubahan yang sebenarnya liriknya dicomot dari lagu pop. Ada lagu-lagu “gaya” Mandarin yang sudah akrab di telinga kita yang sebenarnya adalah lagu pop 80-an. Ada juga lagu cinta muda-mudi 70-an dipaksa jadi lagu komuni, mis. Tubuh dan Darah-Mu aslinya adalah Doa dan Restumu, atau lagu Eldeweiss jadi lagu pujian untuk Maria!
4. Ada lagu-lagu yang sudah dari sononya (aturan Pedoman Umum Misa Romawi) tidak boleh diganti syairnya.
Lagu-lagu itu adalah yang disebut Ordinarium (Kyrie, Gloria, dst.) dan Bapa Kami. Ordinarium umumnya diciptakan satu paket, dari Tuhan Kasihanilah sampai Anak Domba Allah. Syairnya dari dahulu (awal Gereja) memang sudah begitu. Selain untuk mempertahankan tradisi Gereja juga melarang syair lagu itu diubah karena merupakan doa umat beriman sepanjang masa. Jika mau diubah, diganti syair atau lagu lain haruslah seijin uskup setempat. Lagu Bapa Kami adalah doa Bapa Kami yang dinyanyikan. Kita tahu bahwa doa ini diajarkan sendiri oleh Yesus kepada para murid. So, siapa sih kita kok sampai berani mengubah “doa sakral” dari Yesus sendiri? Coba perhatikan lagu yang sudah akrab dan sering kita nyanyikan, bukankah Yesus hanya mengajarkan kata “Bapa kami…” satu kali di awal doa, bukan diulang dua kali di tengah-tengah, apalagi “Bapa, bapa kami….”
5. Nyanyian yang dipilih hendaknya sesuai dengan peran nyanyian itu.
Semua nyanyian liturgi memiliki peran yang berbeda-bada. Apakah nyanyian liturgi tersebut dinyanyikan untuk pembukaan, untuk persembahan ataukah untuk lagu komuni. Masing-masing nyanyian liturgi mempunyai karakternya sendiri.
6. Nyanyian hendaknya sesuai dengan masa dan tema liturgi (Adven, Natal, Paskah, Prapaskah, Pantekosta atau tema Pertobatan, dlsb).
Kalau kita cermati dari buku "Puji Syukur" atau "Madah Bakti", disana sudah dikelompokkan sesuai dengan masa dan tema liturginya. Oleh karena itu dalam memilih nyanyian liturgi harus memperhatikan hal ini.
7. Nyanyian hendaknya mengungkapkan iman akan misteri Kristus.
Apakah lagu itu membawa umat pada pengalaman iman akan Kristus dan kepada perjumpaan dengan Kristus. Bahwa Kristus hadir dalam liturgi harus terungkap dalam nyanyian liturgi itu. Itulah sebabnya isi syair dan melodi nyanyian liturgi harus benar-benar sesuai dengan citarasa umat dan dapat diterima oleh umat sebagai nyanyian liturgi.
8. Nyanyian liturgi melayani seluruh umat beriman.
Nyanyian liturgi merupakan bagian penting dari liturgi. Berhubung liturgi sendiri merupa-kan perayaan bersama, maka nyanyian itu harus melayani kebutuhan semua umat beriman yang sedang berliturgi. Yang harus dihindari adalah memilih lagu yang hanya berdasarkan selera pribadi atau kelompok. Kriteria lagu terletak pada apa yang dapat menjawab harapan dan kebutuhan umat agar perayaan liturgi sungguh menjadi perayaan bersama.
9. Pilihan nyanyian liturgi perlu memperhatikan pertimbangan pastoral dan praktis.
Setiap nyanyian mempunyai peranan masing-masing, namun tidak berarti bahwa semuanya harus dinyanyikan, meskipun itu Perayaan Ekaristi meriah. Apabila semua lagu dinyanyikan, Perayaan Ekaristi menjadi terlalu lama. Ini disebut pertimbangan praktis.
Semoga dengan beberapa pertimbangan di atas, liturgi kita semakin agung dan semarak, membantu semua orang berjumpa dengan Allah.
Sumber :
http://santopauluspku.wordpress.com/
Mengamati apa yang sering terjadi di berbagai gereja setidaknya akan kita jumpai beberapa hal yang menggugurkan anggapan nyanyian = doa. Hal itu bukan hanya pada nyanyiannya saja namun juga pada pihak-pihak yang entah sadar atau tidak telah memilih nyanyian yang sebenarnya tidak tepat dengan hakekat nyanyian dalam liturgi Gereja Katolik. Berikut beberapa hal yang patut kita renungkan:
1. Fungsi nyanyian dalam liturgi Gereja adalah ungkapan doa umat beriman (bukan hanya koor/solis) untuk memuliakan Allah.
Hal itu bisa berupa ungkapan syukur, pujian, permohonan, dll. Maka hendaknya nyanyian yang dipakai dalam perayaan liturgi hendaknya sungguh membawa umat untuk semakin menghayati imannya. Liturgi merupakan perayaan bersama seluruh umat beriman bukan sebagian umat atau hanya pemimpin saja. Karena itu akan tidak tepat bila dalam perayaan liturgi umat hanya disuruh jadi penonton koor atau solis bernyanyi karena tidak tahu lagu apa yang dinyanyikan. Memang ada kemungkinan beberapa nyanyian bisa dinyanyikan eksklusif oleh koor. Namun jangan sampai bagian-bagian yang mengungkapkan kebersamaan (pembukaan, persembahan, madah syukur, ordinarium) dimonopoli koor. Jika nyanyiannya belum dikenal umat apa salahnya jika disediakan teks atau sebelum misa berlangsung umat diajak berlatih bersama.
2. Koor atau pemimpin paduan suara haruslah jeli membedakan mana lagu liturgi, mana lagu rohani atau lagu pop rohani.
Bukan asal nyanyian mengandung kata “Tuhan” lalu dianggap cocok untuk dinyanyikan. Nyanyian liturgi mengandung unsur kebersamaan bukan individual, maka umumnya tidak memakai kata “aku” atau ungkapan doa pribadi. Dalam memilih nyanyian liturgi soal selera perlu dikesampingkan. Sering terjadi suatu lagu yang sudah populer, dirasa bagus dan enak didengar tanpa pertimbangan dipaksakan untuk dinyanyikan (umumnya saat persembahan atau komuni). Teliti dahulu syairnya apakah cocok dengan iman Katolik atau tidak. Keprihatinan ini akan sangat terasa pada saat misa perkawinan. Jika kita sungguh menyimak nyanyian yang sering dipakai, kita mungkin bertanya: Apakah seka-rang kita ini di Gereja Katolik, Gereja lain atau lagi nonton konser? Kadangkala campur aduk lagu pop yang musiknya bagus dipaksa dengan syair yang “berwarna” Kristen.
3. Jika nyanyian bukan dari buku resmi nyanyian Gereja Katolik atau terjemahan (misalnya selain Puji Syukur, Madah Bakti) perhatikan syair dan latar belakang lagu itu.
Jangan sampai syairnya bertentangan dengan teologi Katolik atau tidak cocok peruntukkannya. Mis. Lagu “Di Doa Ibuku, Ada Namaku Disebut” syair lagu itu berkisah kenangan seorang anak akan ibunya yang sudah meninggal yang dulu rajin berdoa. Lha kalau dipakai untuk sungkeman apa nggak seperti mendoakan agar orangtuanya cepat meninggal? Berkaitan dengan latar belakang nyanyian, sering kita tidak memperhatikan lagu-lagu gubahan yang sebenarnya liriknya dicomot dari lagu pop. Ada lagu-lagu “gaya” Mandarin yang sudah akrab di telinga kita yang sebenarnya adalah lagu pop 80-an. Ada juga lagu cinta muda-mudi 70-an dipaksa jadi lagu komuni, mis. Tubuh dan Darah-Mu aslinya adalah Doa dan Restumu, atau lagu Eldeweiss jadi lagu pujian untuk Maria!
4. Ada lagu-lagu yang sudah dari sononya (aturan Pedoman Umum Misa Romawi) tidak boleh diganti syairnya.
Lagu-lagu itu adalah yang disebut Ordinarium (Kyrie, Gloria, dst.) dan Bapa Kami. Ordinarium umumnya diciptakan satu paket, dari Tuhan Kasihanilah sampai Anak Domba Allah. Syairnya dari dahulu (awal Gereja) memang sudah begitu. Selain untuk mempertahankan tradisi Gereja juga melarang syair lagu itu diubah karena merupakan doa umat beriman sepanjang masa. Jika mau diubah, diganti syair atau lagu lain haruslah seijin uskup setempat. Lagu Bapa Kami adalah doa Bapa Kami yang dinyanyikan. Kita tahu bahwa doa ini diajarkan sendiri oleh Yesus kepada para murid. So, siapa sih kita kok sampai berani mengubah “doa sakral” dari Yesus sendiri? Coba perhatikan lagu yang sudah akrab dan sering kita nyanyikan, bukankah Yesus hanya mengajarkan kata “Bapa kami…” satu kali di awal doa, bukan diulang dua kali di tengah-tengah, apalagi “Bapa, bapa kami….”
5. Nyanyian yang dipilih hendaknya sesuai dengan peran nyanyian itu.
Semua nyanyian liturgi memiliki peran yang berbeda-bada. Apakah nyanyian liturgi tersebut dinyanyikan untuk pembukaan, untuk persembahan ataukah untuk lagu komuni. Masing-masing nyanyian liturgi mempunyai karakternya sendiri.
6. Nyanyian hendaknya sesuai dengan masa dan tema liturgi (Adven, Natal, Paskah, Prapaskah, Pantekosta atau tema Pertobatan, dlsb).
Kalau kita cermati dari buku "Puji Syukur" atau "Madah Bakti", disana sudah dikelompokkan sesuai dengan masa dan tema liturginya. Oleh karena itu dalam memilih nyanyian liturgi harus memperhatikan hal ini.
7. Nyanyian hendaknya mengungkapkan iman akan misteri Kristus.
Apakah lagu itu membawa umat pada pengalaman iman akan Kristus dan kepada perjumpaan dengan Kristus. Bahwa Kristus hadir dalam liturgi harus terungkap dalam nyanyian liturgi itu. Itulah sebabnya isi syair dan melodi nyanyian liturgi harus benar-benar sesuai dengan citarasa umat dan dapat diterima oleh umat sebagai nyanyian liturgi.
8. Nyanyian liturgi melayani seluruh umat beriman.
Nyanyian liturgi merupakan bagian penting dari liturgi. Berhubung liturgi sendiri merupa-kan perayaan bersama, maka nyanyian itu harus melayani kebutuhan semua umat beriman yang sedang berliturgi. Yang harus dihindari adalah memilih lagu yang hanya berdasarkan selera pribadi atau kelompok. Kriteria lagu terletak pada apa yang dapat menjawab harapan dan kebutuhan umat agar perayaan liturgi sungguh menjadi perayaan bersama.
9. Pilihan nyanyian liturgi perlu memperhatikan pertimbangan pastoral dan praktis.
Setiap nyanyian mempunyai peranan masing-masing, namun tidak berarti bahwa semuanya harus dinyanyikan, meskipun itu Perayaan Ekaristi meriah. Apabila semua lagu dinyanyikan, Perayaan Ekaristi menjadi terlalu lama. Ini disebut pertimbangan praktis.
Semoga dengan beberapa pertimbangan di atas, liturgi kita semakin agung dan semarak, membantu semua orang berjumpa dengan Allah.
Sumber :
http://santopauluspku.wordpress.com/