Sabtu, 23 November 2019

Memahami Madah Kemuliaan

Print Friendly and PDF

“Kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati dari zaman kristen kuno. Lewat madah ini Gereja yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus memuji Allah Bapa dan Anakdomba Allah, serta memohon belaskasihan-Nya. Teks madah ini tidak boleh di ganti dengan teks lain. Kemuliaan di buka oleh imam atau , lebih cocok, oleh solis atau oleh kor, kemudian dilanjutkan oleh seluruh umat bersama-sama, atau oleh umat dan paduan suara bersahut-sahutan, atau hanya oleh kor. Kalau tidak dilagukan, madah Kemuliaan dilafalkan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan.

Kemuliaan dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya dan pesta, pada perayaan-perayaan meriah, dan pada hari Minggu di luar Masa Adven dan Prapaskah.”

Kutipan di atas diambil dari Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) artikel 53. Dari kutipan di atas kita bisa tangkap beberapa hal:
  1. Madah Kemuliaan bukanlah sembarang madah yang baru digubah pada zaman modern ini, melainkan sudah mengakar kuat sejak zaman kristen kuno. Seberapa kuno? Menurut Catholic Encyclopedia paling tidak sejak abad ketiga, atau kurang lebih 1700-an tahun yang lalu. Ini berarti, madah Kemuliaan ini menemani perjalanan iman Gereja selama lebih dari 1700 tahun.
  2. Madah Kemuliaan mengandung unsur pujian kepada Allah Bapa dan Allah Putera. Dan pujian ini dipercaya merupakan dorongan Roh Kudus. Bila dihubungkan dengan nomor 1, selama labih dari 1700 tahun, Gereja, berkat dorongan Roh Kudus memuji Bapa dan Putra dengan madah ini. Selain unsur pujian, madah Kemuliaan juga mengandung unsur mohon belas kasihan Allah lewat seruan “kasihanilah kami dan kabulkanlah doa kami”. 
  3. Mengingat tradisi panjang madah ini, yang dipercaya merupakan dorongan Roh Kudus, Gereja menetapkan bahwa teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks lain. Atas dasar ini pula, Komisi Liturgi KWI maupun keuskupan dalam kesempatan-kesempatan seminar menyatakan bahwa Kemuliaan Misa Senja, Misa Dolo-Dolo, dan Misa Syukur (yang teksnya berbeda dengan teks asli) tidak boleh lagi dipakai sebagai madah Kemuliaan pada perayaan Ekaristi.
  4. Baris pertama madah ini: “Kemuliaan kepada Allah di surga” dinyanyikan oleh Imam, namun dikatakan lebih cocok bila dinyanyikan oleh solis atau koor. Suatu waktu mungkin Anda dengar baris pertama ini dinyanyikan bukan oleh Imam, justru itu yang lebih cocok. 
  5. Madah kemuliaan dapat dinyanyikan oleh seluruh umat bersama-sama, atau selang-seling antara koor dengan umat, atau oleh koor sendiri saja. Ada yang bilang, “Tidak boleh koor menyanyikan Kemuliaan sendiri saja karena membuat umat sepert penonton.” Menurut pedoman resmi Gereja, tidak benar. Koor diizinkan untuk menyanyikan sendiri madah Kemuliaan. Partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi bukan hanya partisipasi lahiriah (ikut menyanyi) tapi yang lebih penting adalah partisipasi batiniah (menghayati apa yang dinyanyikan/didoakan). 
  6. Jika tidak memungkinkan untuk dinyanyikan, madah Kemuliaan dapat dilafalkan/diucapkan oleh seluruh umat,atau dua kelompok umat secara bergantian. 
  7. Madah Kemuliaan dinyanyikan/diucapkan pada perayaan Pesta dan Hari Raya, perayaan-perayaan meriah, dan hari Minggu di luar masa Adven dan Prapaskah. Perayaan meriah, misalnya: Perkawinan, pemberkatan Gereja, aula paroki, dll. 
Pada perayaan tertentu, nyanyian madah Kemuliaan diiringi dengan bel dan lonceng gereja untuk menambah suasana kemeriahan. Misalnya pada Misa Kamis Putih malam, dinyanyikan madah Kemuliaan secara meriah dengan iringan bel dan lonceng gereja. Namun setelahnya, bel dan lonceng gereja tidak dibunyikan lagi sampai madah Kemuliaan dinyanyikan lagi pada Misa Malam Paskah. Ini menarik mengingat bagian ‘tersuram’ sepanjang tahun liturgi ditandai dengan 2 madah Kemuliaan.

Kekayaan liturgi yang demikian ini sayangnya terkadang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada imam atau awam yang masih merasa bisa mengubah teks madah ini seenaknya, padahal seorang imam apalagi awam tidak boleh mengurangi, mengubah atau menambah sesuatu dalam liturgi (lihat Konstitusi Liturgi, Konsili Vatikan II). Bahkan setelah disodori pedoman liturgi yang benar, masih tetap ngeyel dan secara sadar melanggar pedoman yang ada (memberi contoh ketidaktaatan). Misalnya pada Misa Natal yang mengganti Kemuliaan dengan lagu Para Malaikat Bernyanyi (PS 456), atau seperti yang termuat di foto dibawah ini, madah Kemuliaan Misa Kamis Putih yang diganti dengan lagu lain dari Madah Bakti. Patut disayangkan, pelanggaran seperti ini menjauhkan kita dari tradisi panjang Gereja selama lebih dari 1700 tahun.

https://saintraphaelpublishing.wordpress.com/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP