Kamis, 14 November 2019

DSA : Doa Terutama dan Teragung Kita

Print Friendly and PDF

oleh: P. Thomas Richstatter, O.F.M.,S.T.D.*
Ketika kalian ikut ambil bagian dalam Misa, apakah yang kalian lakukan sepanjang Doa Syukur Agung? Bagaimanakah kalian mendoakannya? (Kita berbicara mengenai bagian Misa antara Persiapan Persembahan dan Ritus Komuni. Doa Syukur Agung dimulai dengan dialog: “Tuhan besertamu… Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan….” Dan diakhiri dengan “Amin.” Sebagai tanggapan atas doksologi “Dengan pengantaraan Kristus, bersama Dia dan dalam Dia….”)

Doa Syukur Agung adalah jantung Misa. Dan, sebagaimana Ekaristi adalah “sumber dan puncak kehidupan dan misi Katolik” (Yohanes Paulus II), apa yang kita lakukan sepanjang doa ini teramat penting bagi pemahaman kita akan apa artinya menjadi seorang Katolik.

Tantangan-tantangan Baru dan Lama

Bagaimanakah kalian mendoakan Doa Syukur Agung? Sebagai tanggapan atas pertanyaan ini, “umat Katolik yang lebih baru” (mereka yang dibentuk dalam iman sesudah 1969), seringkali mengatakan kepada saya bahwa mereka berusaha mengikuti perkataan yang diucapkan imam, tetapi karena doanya panjang, seringkali mereka mengalami distraksi dan mulai memikirkan hal-hal lain. Jika kalian mengalaminya juga, saya harap penjelasan struktur dan fungsi Doa Syukur Agung yang disajikan berikut ini akan membantu kalian memahaminya secara lebih baik sehingga kalian dapat ikut ambil bagian di dalamnya dengan terlebih khusuk dan mendalam.

“Umat Katolik yang lebih lama” (mereka yang, seperti saya, dibentuk dalam iman Katolik dengan Misa Latin) memiliki masalah yang lebih besar. Kebanyakan dari kami harus secara radikal mengubah apa yang biasa kami lakukan sepanjang Doa Syukur Agung. Guna memahami mengapa kita harus mengubah cara kita mendoakan Doa Syukur Agung, kita akan melihat jawaban atas ketiga pertanyaan mendasar mengenai doa: 1) Doa siapakah Doa Syukur Agung? 2) Mengenai apakah Doa Syukur Agung itu? 3) Apakah yang kita doakan?

Doa Siapakah Doa Syukur Agung?

Doa Syukur Agung adalah doa kita; adalah doa segenap jemaat. Tetapi ini bukanlah apa yang saya pelajari semasa kanak-kanak. Saya dibesarkan dengan pikiran bahwa Doa Syukur Agung adalah doa imam. Doa Syukur Agung adalah saat ketika imam berdoa kepada Allah - dalam bahasa Latin, bahasa yang, jika bukan imam, Allah mengerti dengan sangat baik - dan mempersembahkan Yesus kepada Bapa sebagaimana Yesus telah mempersembahkan Diri-Nya di salib.

Dan sementara imam “mempersembahkan Misa”, saya mempersembahkan doa-doa saya sendiri - dalam bahasa saya - berdoa kepada Allah mengenai hidup dan persoalan-persoalan saya. Terkadang saya membaca doa-doa dari buku doa. Terkadang saya mendaraskan rosario. Terkadang seluruh jemaat mendaraskan rosario bersama dengan lantang. Dalam Misa Agung (dengan nyanyian) paduan suara memadahkan Sanctus (Kudus, Kudus, Kudus) sementara imam mempersembahkan Doa Syukur Agung dalam keheningan di altar.

Berdoa Atas Nama Kita

Sekarang kita mendengarkan doa-doa Misa dalam bahasa kita sendiri; kita menjadi sadar bahwa Doa Syukur Agung bukan hanya doa imam, melainkan doa kita.

Imam senantiasa berdoa dalam kata ganti orang pertama jamak: “Kami memuji Engkau, ya Bapa yang kudus… Kami mohon, ya Tuhan, sudilah menerima persembahan kami… Kami mohon, ya Bapa, sudilah menguduskan persembahan ini…” Doa dipanjatkan oleh imam, tetapi imam memanjatkannya atas nama kita. Itulah sebabnya imam di altar menghadap kita dan mengajak kita dengan suara dan gerak tubuhnya untuk mendorong kita menjadikan doa sebagai doa kita.

Jika Doa Syukur Agung hanya milik imam, maka hanya imam yang perlu tahu struktur dan fungsi doanya. Tetapi jika Doa Syukur Agung adalah doa kita, adalah penting kita memahaminya.

Mengenai Apakah Doa Syukur Agung itu?

Bagi umat Katolik yang lebih lama, jawab atas pertanyaan itu sederhana. Doa Syukur Agung adalah doa konsekrasi, doa yang mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.

Dalam tahun-tahun sebelum Konsili Vatican II, apapun yang sedang kita doakan secara pribadi, entah mendaraskan rosario bersama ataupun memadahkan Sanctus, kita menghentikan apapun yang tengah kita lakukan ketika misdinar membunyikan lonceng kecil guna memaklumkan saat konsekrasi. Imam akan membungkuk dalam di hadapan roti dan piala dan mengucapkan kata-kata Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir: “Inilah tubuh-Ku… Inilah piala darah-Ku….” Itulah saat penting dalam Misa. Sekarang kita melihat bahwa keseluruhan Doa Syukur Agung adalah penting.

Suatu Struktur yang Lestari

Guna memahami Doa Syukur Agung sebagai suatu keseluruhan, bayangkan sejenak seorang remaja berbicara kepada ayahnya pada suatu Sabtu sore: “Papa adalah ayah terbaik yang pernah dapat dimiliki seorang anak. Papa bekerja keras bagi kami sepanjang minggu agar tersedia makanan di atas meja dan memastikan segala kebutuhan kami terpenuhi. Aku yakin Papa lelah dan ingin beristirahat di rumah malam ini dan menonton televisi. Bolehkah aku pinjam kunci mobilnya, Pap?”

Terkadang saya mempergunakan contoh yang agak sekuler ini untuk menggambarkan struktur Doa Syukur Agung. Jika kita mengamati dengan cermat teks-teks Doa Syukur Agung yang dipergunakan Gereja sepanjang berabad-abad di berbagai belahan dunia, kita dapati bahwa semuanya memiliki bentuk tiga-bagian yang serupa, yakni berakah (Ibrani: doa berkat). Pertama-tama, kita menyapa dan memberkati Allah; kedua, penuh syukur kita mengenangkan hal-hal mengagungkan yang telah dilakukan Allah demi menyelamatkan kita; dan ketiga, kita mengajukan permohonan.

Kenangan Penuh Syukur

Doa Syukur Agung diawali dengan dialog “Tuhan bersamamu…. Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan….” Disini kita memulai berakah kita. Pertama kita menyapa dan memberkati Allah: “Sungguh kuduslah Engkau, ya Bapa, sumber segala kekudusan….” Kemudian dengan penuh syukur kita mengenangkan karya keselamatan Allah: “Engkau telah menciptakan semesta alam…” (Prefasi Minggu V). Sementara perbuatan-perbuatan ajaib Allah dikisahkan, kita tak dapat menahan sukacita dan kita bermadah dengan lantang, “Wow, wow, wow!” Betapa Allah sungguh mengagumkan! Dalam bahasa ritual Misa, seruan ini mengambil bentuk, “Kudus, Kudus, Kudus”.

Dan kita terus mengenangkan perbuatan-perbuatan besar Allah. Kita mengenangkan Perjamuan Malam Terakhir dan peristiwa-peristiwa Kamis Putih. Kita mengingat bagaimana “Pada hari sebelum menderita sengsara, dalam perjamuan malam terakhir, Ia mengambil roti dan memuji Bapa, memecah-mecahkan roti itu, dan memberikannya kepada murid-murid-Nya….” Kita mengenangkan peristiwa-peristiwa Jumat Agung dan Minggu Paskah: sengsara, wafat dan kebangkitan mulia Kristus.

Tetapi dalam mengenangkan Misteri Paskah ini kita tak sekedar mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Kenangan liturgis ini - disebut anamnesis (dari bahasa Yunani: mengingat, mengenang) - menjadikan kita hadir dalam suatu cara yang misterius dalam peristiwa-peristiwa mendasar iman kita. Dan “Dalam anamnese… Gereja… menyampaikan kepada Bapa kurban PutraNya, yang mendamaikan kita dengan Dia” (Katekismus Gereja Katolik, #1354).

Apakah yang Kita Doakan?

Sekarang setelah kita mengenangkan dan menjadi hadir dalam misteri-misteri agung keselamatan, kita mengajukan permohonan kita - epiklesis (dari bahwa Yunani: permohonan) “Dalam epiklese Gereja memohon kepada Bapa untuk mengirimkan Roh KudusNya… atas roti dan anggur, supaya mereka dengan kekuatan-Nya menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus, sehingga mereka yang mengambil bagian dalam Ekaristi menjadi satu tubuh dan satu roh” (Katekismus Gereja Katolik, #1353).

Inilah yang kita doakan: Kita memohon kepada Allah untuk mengutus Roh untuk mengubah roti dan anggur dan untuk mengubah kita agar kita menjadi Tubuh Kristus! “Kuatkanlah kami dengan tubuh dan darah-Nya, penuhilah kami dengan Roh Kudus-Nya, agar kami sehati dan sejiwa dalam Kristus” (Doa Syukur Agung III).

Dua Bagian, Satu Permohonan

Dalam banyak tradisi liturgis (misalnya Ritus Byzantine, Syrian dan Koptic) kedua permohonan Epiklesis dipanjatkan bersama, sesudah Anamnesis. Dalam doa Romawi kita, epiklesis dipisahkan. Kita mendoakan bagian pertama epiklesis, memohon Roh untuk mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, sebelum anamnesis Perjamuan Malam Terakhir. Kita mendoakan bagian kedua epiklesis, memohon Roh untuk mengubah kita menjadi tubuh Kristus, sesudah anamnesis.

Tetapi bahkan meski epiklesis dipecah menjadi dua, sebagaimana dalam doa-doa Romawi kita sekarang ini, kedua bagian permohonan ini adalah satu. Doa Syukur Agung tak hanya memohon Roh Kudus mengubah roti dan anggur; tetapi juga memohon Roh Kudus mengubah Gereja!

Lebih Banyak Permohonan - dan Bersulang

Sementara kita ada dalam kerangka pikiran permohonan, kita memohon Allah untuk memberkati paus, uskup setempat dan segenap Gereja. Kita memohon Allah untuk mengingat mereka yang telah meninggal dunia dan membawa mereka ke hadirat-Nya. Akhirnya kita berdoa demi kepentingan diri kita sendiri. Kita berdoa agar kita dapat suatu hari kelak menggabungkan diri dengan Maria dan segenap para kudus di meja perjamuan surgawi. Dan di sana, kita akan memuliakan dan memuji Allah melalui Yesus Kristus.

Sementara kita merindukan hari yang mulia itu, kita mengangkat suara saat imam mengangkat roti dan anggur dan mengucapkan kata-kata sulang suatu doa kemuliaan (doksologi): “Dengan pengantaraan Kristus, bersama Dia dan dalam Dia, bagi-Mu, Allah Bapa yang Mahakuasa, dalam persekuatuan dengan Roh Kudus, segala hormat dan kemuliaan (Yunani: doxa) sepanjang segala masa.” Amin kita pada doa ini menyatakan persetujuan dan partisipasi kita dalam keseluruhan Doa Syukur Agung.

Mengalami Doa

Marilah kembali ke pertanyaan dengan mana kita memulai artikel ini: Bagaimanakah kita mendoakan Doa Syukur Agung? Saya menyarankan yang berikut. Ketika kalian mendengarkan undangan untuk mengingat perbuatan-perbuatan mengagumkan Allah, gunakan kenangan-kenangan ini untuk membangkitkan kenanganmu sendiri. Bagaimanakah Allah telah berperan aktif dalam hidupmu? Bagaimanakah Allah telah memberkatimu? Kenangan-kenangan ini secara alami akan menghantar pada perasaan penuh terima kasih dan syukur.

Sementara kalian mengenangkan (= anamnesis) peristiwa-peristiwa agung Kamis Putih, Jumat Agung dan Paskah, sadarilah bahwa kalian hadir dalam peristiwa-peristiwa itu. Bayangkan dirimu sendiri bersama para rasul ada di meja bersama Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir. Dengarkan percakapan mereka. Apakah yang hendak kau katakan kepada Yesus? Bagaimanakah perasaanmu berdiri di kaki salib? Apakah yang hendak kau katakan saat engkau berjumpa dengan Kristus yang bangkit?

Ketika imam mengundang kalian untuk “menyatakan misteri iman”, tanggapilah dengan semangat kagum dan takjub di hadirat Allah - satu dari ketujuh karunia Roh Kudus yang kalian terima dalam Sakramen Krisma.

Sementara doa bergerak ke permohonan (epiklesis) mohonlah Roh Kudus untuk turun atas kalian dan atas tiap-tiap orang yang hadir, agar Roh mengubah kita menjadi tubuh Kristus. Apakah yang menghambat perubahan ini? Apakah yang harus engkau tinggalkan agar dapat sungguh mengikuti Yesus? Apakah yang menghalangimu untuk sungguh mengasihi mereka yang ada di sekelilingmu?

Ketika kita mempersembahkan semua ini kepada Allah, kita secara pribadi masuk ke dalam kurban Kristus. Mohonlah rahmat Komuni (Cum-union = persatuan dengan) - rahmat persatuan dengan segenap saudara dan saudari kita, dengan Kristus, dan sungguh dengan Allah Tritunggal, sebab inilah tujuan kurban ekaristik: persatuan sukacita dengan Allah.

Sekarang kita mengarahkan perhatian kita pada kepentingan-kepentingan tubuh Kristus - kepentingan paus, Gereja universal, uskup dan Gereja lokal - damai, kemurahan hati, keadilan, belas kasihan. Kita berdoa bagi mereka yang telah meninggal dunia. Akhirnya, sepenuh hati kita menggabungkan suara dalam Amin agung yang mengakhiri Doa Syukur Agung sementara imam mengunjukkan Roti dan Piala dan bersulang kepada Allah: “Segala hormat dan kemuliaan sepanjang segala masa.”

Saya mendapati bahwa cara mendoakan Doa Syukur Agung seperti ini telah amat memperkaya pemahaman saya akan Ekaristi dan menarik saya terlebih aktif dalam Perayaan Misa. Saya harap demikian pula halnya dengan kalian.

Ketika kita telah usai mendoakan Doa Syukur Agung, doa terutama dan teragung kita, kita sampai pada Ritus Komuni - subyek dari seri selanjutnya.

* Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.

sumber : “Our Greatest and Best Prayer,” Eucharist: Jesus With Us by Thomas Richstatter, O.F.M.; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org; diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP