Paham tentang Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Sakramen pengurapan orang sakit memberikan rahmat khusus yang mempersatukan si sakit lebih erat dengan Pribadi Kristus untuk kebaikannya dan kebaikan seluruh Gereja. Sakramen ini memberikan penghiburan, kedamaian, keberanian, dan bahkan pengampunan dosa jika si sakit tidak mampu mengakukan dosanya. Kadang-kadang jika dikehendaki Allah, Sakramen ini bahkan dapat mengembalikan kesehatan fisik. Secara umum, Pengurapan ini mempersiapkan si sakit untuk perjalanan menuju Rumah Bapa.
Sejarah Perkembangannya
Pengurapan orang sakit dalam dunia Perjanjian Lama biasa sekali, dan dimaksudkan sebagai obat (lih. Yes 1:6; Yer 8:22; Luk 10:34). Maka tidak mengherankan bahwa para rasul juga “mengoles banyak orang dengan minyak dan menyembuhkan mereka” (Mrk 6:13). Belum tentu bahwa di situ terjadi mukjizat; bisa jadi bahwa itu penyembuhan biasa dengan “obat tradisional”. Tetapi perbatasan antara “yang biasa” dan “yang dikerjakan oleh Allah” tidak selalu jelas. Dan tidak jarang pengobatan seperti itu disertai doa-doa, seperti yang dikatakan dalam surat Yakobus:
Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila didoakan dengan yakin, sangat besar kuasanya (Yak 5:14-16).
Langsung kelihatan bahwa doa malah menjadi yang paling penting, bukan hanya dalam ayat-ayat ini saja, melainkan juga dalam ayat-ayat yang mendahului (ay. 13) dan yang menyusul, yang menampilkan Elia sebagai “tokoh doa” (ay.17-18). St. Yakobus berbicara mengenai daya kekuatan doa. Dalam kerangka itu ia juga berbicara mengenai doa jemaat untuk orang yang sakit. Apakah doa dengan pengurapan itu sudah merupakan suatu sakramen? Sulit ditentukan. Yang jelas bahwa ini doa resmi, sebab yang membawakannya “para penatua jemaat”, yang dipanggil secara khusus. Dan keistimewaannya, dilakukan sambil “mengoles dengan minyak dalam nama Tuhan”. Pengolesan dengan minyak bukan pengobatan biasa, sebab dilakukan “dalam nama Tuhan” dan disertai doa resmi. Semua itu sudah amat jelas menunjuk ke arah “sakramen” walaupun upacaranya belum sangat jelas. Rupa-rupanya umat perdana mengenal pengurapan orang sakit, yang bersifat keagamaan.
Tetapi apakah upacara ini berasal dari Yesus atau dikehendaki oleh Yesus? Jawaban atas pertanyaan ini ialah, bahwa dalam hal ini – sama seperti dengan Ekaristi – Yesus rupa-rupanya mengikuti adat-istiadat orang Yahudi. Dari mazmur-mazmur kentara bahwa orang Yahudi mempunyai kebiasaan berdoa kepada Tuhan, mohon penyembuhan dari sakit (lih. Sir 38:9). Mungkin dalam kerangka pemikiran yang sama. Yesus memberi perintah kepada para murid-Nya agar secara khusus memperhatikan orang sakit (Mrk 6:13). Para rasul menaati perintah Yesus itu, dalam kerangka adat-kebiasaan bangsa Yahudi. Yesus mendukung tradisi Yahudi. Sebagaimana untuk perayaan Ekaristi Ia tidak memberikan banyak petunjuk khusus, begitu juga untuk upacara pengurapan orang sakit secara Kristiani tidak ada banyak instruksi. Upacara itu berkembang lambat-laun dalam tradisi Kristen sendiri.
Praksis umat perdana dijalankan terus di dalam Gereja. Tetapi kesadaran bahwa upacara ini sebuah sakramen, baru dirumuskan dengan jelas dalam abad ke-12. Upacara liturgis juga berkembang langkah demi langkah dalam tradisi Gereja. Dalam abad kelima Paus Inosensius I mengatakan mengenai Yak 5:14-16:
Jelas sekali bahwa teks ini harus diterima dan dimengerti dalam hubungan dengan orang sakit, yang dapat diurapi dengan minyak krisma suci, yang telah dipersiapkan oleh uskup. Minyak itu boleh dipakai untuk mengurapi tidak hanya oleh para imam tetapi oleh semua orang Kristen, bila mereka sendiri atau orang sekeluarga membutuhkannya.
Tampaknya pada waktu itu yang pokok malah minyak, yang diberkati oleh uskup. Setiap orang boleh mengoleskannya, barangkali juga pada dirinya sendiri. Dalam abad ke-9 peraturan diubah lagi. Yang boleh menerimakan sakramen ini hanyalah para imam saja, dengan menggunakan minyak yang telah diberkati oleh uskup dan dengan memakai upacara dan doa-doa yang telah ditetapkan. Penerimaan sakramen juga dibatasi. Lama-kelamaan sakramen ini hanya diterimakan kepada orang yang sakit keras, hampir mati. Sejak itu orang berbicara mengenai “pengurapan terakhir”. Pada tahun 1972 upacara diubah lagi dan disebut “pengurapan orang sakit”, sebab menurut peraturan baru itu, sakramen ini diberikan kepada orang beriman “bila ia sakit berat, entah karena usia lanjut entah karena penyakit”. Kecuali itu ditambahkan penjelasan ini: “Untuk mengetahui, apakah seseorang sakit berat atau tidak, cukuplah penilaian umum dan bijaksana; dalam hal ini pertimbangan seorang dokter sering dapat menolong”. Jadi, sakit berarti “sakit berat”, tetapi tidak berarti “bahaya maut”. Dari pihak lain harus dikatakan bahwa “sakit berat” selalu mengandung bahaya maut atau setidak-tidaknya sudah dibayangi oleh kegelapan maut. Maka sebetulnya sakramen ini lebih baik disebut sakramen pengharapan, entah mengharapkan penyembuhan entah mengharapkan kekuatan untuk menghadapi maut.
Sumber: https://pendalamanimankatolik.com/tag/ekaristi/
Sejarah Perkembangannya
Pengurapan orang sakit dalam dunia Perjanjian Lama biasa sekali, dan dimaksudkan sebagai obat (lih. Yes 1:6; Yer 8:22; Luk 10:34). Maka tidak mengherankan bahwa para rasul juga “mengoles banyak orang dengan minyak dan menyembuhkan mereka” (Mrk 6:13). Belum tentu bahwa di situ terjadi mukjizat; bisa jadi bahwa itu penyembuhan biasa dengan “obat tradisional”. Tetapi perbatasan antara “yang biasa” dan “yang dikerjakan oleh Allah” tidak selalu jelas. Dan tidak jarang pengobatan seperti itu disertai doa-doa, seperti yang dikatakan dalam surat Yakobus:
Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila didoakan dengan yakin, sangat besar kuasanya (Yak 5:14-16).
Langsung kelihatan bahwa doa malah menjadi yang paling penting, bukan hanya dalam ayat-ayat ini saja, melainkan juga dalam ayat-ayat yang mendahului (ay. 13) dan yang menyusul, yang menampilkan Elia sebagai “tokoh doa” (ay.17-18). St. Yakobus berbicara mengenai daya kekuatan doa. Dalam kerangka itu ia juga berbicara mengenai doa jemaat untuk orang yang sakit. Apakah doa dengan pengurapan itu sudah merupakan suatu sakramen? Sulit ditentukan. Yang jelas bahwa ini doa resmi, sebab yang membawakannya “para penatua jemaat”, yang dipanggil secara khusus. Dan keistimewaannya, dilakukan sambil “mengoles dengan minyak dalam nama Tuhan”. Pengolesan dengan minyak bukan pengobatan biasa, sebab dilakukan “dalam nama Tuhan” dan disertai doa resmi. Semua itu sudah amat jelas menunjuk ke arah “sakramen” walaupun upacaranya belum sangat jelas. Rupa-rupanya umat perdana mengenal pengurapan orang sakit, yang bersifat keagamaan.
Tetapi apakah upacara ini berasal dari Yesus atau dikehendaki oleh Yesus? Jawaban atas pertanyaan ini ialah, bahwa dalam hal ini – sama seperti dengan Ekaristi – Yesus rupa-rupanya mengikuti adat-istiadat orang Yahudi. Dari mazmur-mazmur kentara bahwa orang Yahudi mempunyai kebiasaan berdoa kepada Tuhan, mohon penyembuhan dari sakit (lih. Sir 38:9). Mungkin dalam kerangka pemikiran yang sama. Yesus memberi perintah kepada para murid-Nya agar secara khusus memperhatikan orang sakit (Mrk 6:13). Para rasul menaati perintah Yesus itu, dalam kerangka adat-kebiasaan bangsa Yahudi. Yesus mendukung tradisi Yahudi. Sebagaimana untuk perayaan Ekaristi Ia tidak memberikan banyak petunjuk khusus, begitu juga untuk upacara pengurapan orang sakit secara Kristiani tidak ada banyak instruksi. Upacara itu berkembang lambat-laun dalam tradisi Kristen sendiri.
Praksis umat perdana dijalankan terus di dalam Gereja. Tetapi kesadaran bahwa upacara ini sebuah sakramen, baru dirumuskan dengan jelas dalam abad ke-12. Upacara liturgis juga berkembang langkah demi langkah dalam tradisi Gereja. Dalam abad kelima Paus Inosensius I mengatakan mengenai Yak 5:14-16:
Jelas sekali bahwa teks ini harus diterima dan dimengerti dalam hubungan dengan orang sakit, yang dapat diurapi dengan minyak krisma suci, yang telah dipersiapkan oleh uskup. Minyak itu boleh dipakai untuk mengurapi tidak hanya oleh para imam tetapi oleh semua orang Kristen, bila mereka sendiri atau orang sekeluarga membutuhkannya.
Tampaknya pada waktu itu yang pokok malah minyak, yang diberkati oleh uskup. Setiap orang boleh mengoleskannya, barangkali juga pada dirinya sendiri. Dalam abad ke-9 peraturan diubah lagi. Yang boleh menerimakan sakramen ini hanyalah para imam saja, dengan menggunakan minyak yang telah diberkati oleh uskup dan dengan memakai upacara dan doa-doa yang telah ditetapkan. Penerimaan sakramen juga dibatasi. Lama-kelamaan sakramen ini hanya diterimakan kepada orang yang sakit keras, hampir mati. Sejak itu orang berbicara mengenai “pengurapan terakhir”. Pada tahun 1972 upacara diubah lagi dan disebut “pengurapan orang sakit”, sebab menurut peraturan baru itu, sakramen ini diberikan kepada orang beriman “bila ia sakit berat, entah karena usia lanjut entah karena penyakit”. Kecuali itu ditambahkan penjelasan ini: “Untuk mengetahui, apakah seseorang sakit berat atau tidak, cukuplah penilaian umum dan bijaksana; dalam hal ini pertimbangan seorang dokter sering dapat menolong”. Jadi, sakit berarti “sakit berat”, tetapi tidak berarti “bahaya maut”. Dari pihak lain harus dikatakan bahwa “sakit berat” selalu mengandung bahaya maut atau setidak-tidaknya sudah dibayangi oleh kegelapan maut. Maka sebetulnya sakramen ini lebih baik disebut sakramen pengharapan, entah mengharapkan penyembuhan entah mengharapkan kekuatan untuk menghadapi maut.
Sumber: https://pendalamanimankatolik.com/tag/ekaristi/