Senin, 03 Agustus 2015

Inkulturasi bagi Ekaristi Kaum Muda

Print Friendly and PDF

Lagu itu tak asing di telinga. Ada harapan dalam lagu itu; sebuah harapan kuat yang mengajak orang muda malam itu menggumamkan bibir, menggoyangkan kepala dan mengetuk dengan ujung sepatu high-heels mereka. “Heal the world, make it a better place…” Lagi-lagi refren lagu yang syahdu itu lamat-lamat diulangi peserta Ekaristi Kaum Muda (EKM) Malam Paskah 2012 di Paroki Kotabaru ini. Tak ada satu kata-pun yang menyebut Tuhan, Allah, Yesus atau perangkat religius lain dalam lagu yang dipakai dalam perayaan puncak iman Kristiani ini. Aneh? Mungkin saja. Lagu ini mengalun bersama tayangan yang diunggah dari Youtube tentang hancurnya pesisir Jepang akibat tsunami tahun lalu, mulut ternganga korban amuk Merapi dan anak-anak penuh perban dengan mata yang menatap kosong.

Sekali lagi, tampilan visual ini pun tak menyorot satupun simbol religius dan tak ada footage ayat-ayat Kitab Suci apapun! Kengerian yang ditampilkan di banyak penjuru gedung gereja itu sejurus terasa agak aneh. Bukankah sejatinya malam ini mestinya menjadi malam sukacita, malam kegembiraan karena peristiwa Paskah, peristiwa Tuhan yang bangkit mulia? Mungkin lagu dan tayangan ‘tanpa Tuhan’ ini hendak menunjukkan pada Gereja arti literal Paskah sebagai sebuah peristiwa ‘Tuhan yang lewat’. Justru di tengah meriah Paskah yang segera tiba, lagu dan tayangan di pembuka EKM malam itu hendak mengingatkan bahwa di garis-garis air mata kemanusiaan dan di dalam lorong-lorong dunia yang kelam dan malang, ada harapan bahwa Tuhan masih mau lewat… dan menyembuhkan.

Harapan itu seolah hendak dirayakan dengan meriah dalam misa tengah malam ini. Penari dengan gaun ketat dan jas mengkilap menghantar air baptis dan cahaya lilin sampai ke depan altar; bahkan dengan lenggangnya berputar, meliuk dan menginjak-injak wilayah panti imam dengan hentakan kaki mengikuti musik instrumental yang berderap. Di sana, garis batas konvensional antara umat dan imam sebagaimana diajarkan oleh guru agamaku ketika SD menjadi relatif – juga garis batas antara yang suci dan profan. Rm. F.X. Murti Hadi Wijayanto, SJ – si produser film Soegija itu – bahkan lepas-bebas bercanda-ria dalam homilinya dan menghubungkan pesan Injil dengan kata-kata gaul, macam: sob’, alay dan gombalan, yang pasti datang dari iklan dan program televisi yang digandrungi orang muda (kata-kata ini tidak akan kau temukan dalam rubrik di buku TPE, sobat!). “EKM tu misanya lebih hidup ‘frat! Soalnya menarik! Isinya dekat dengan dunia kita! Gak ngebosenin!” tandas Wibi, seorang umat muda dan pelajar di SMU de Britto.

Di balik semua itu, adalah Team EKM Paroki St. Antonius Kota Baru-lah yang menjadi perencana lagu, video, dan tarian dalam misa agung ini. Tommy, juga anggota team, dan sekian banyak temannya yang rajin mengikuti misa harian dulu merasakan betapa Ekaristi menjadi sangat membosankan. Mereka prihatin karena Gereja jauh dari ‘bahasa’ orang muda saat merayakan liturginya. Gilang, seorang anggota team mengatakan: “Lagu profan dan kemasan tema didiskusikan dulu dari jauh hari agar kita dapat menemukan hubungannya dengan pesan Injil yang direfleksikan pada EKM itu, frat!”

Perjumpaan antara nilai-nilai Injil dengan simbol-simbol budaya popular, yang dapat lahir dari lagu, iklan, acara televisi, potongan video di youtube atau sekadar guyonan di radio, ini sangat nyata terasa dalam EKM. Di sana, dalam EKM, Gereja muda ini terdorong untuk menjadikan Ekaristi sebagai momen perjumpaan. Saat mereka menghadirkan diri di depan Allah, mereka hadir sebagai orang muda dalam dunia mereka yang ramai itu. Aku heran bagaimana pernak-pernik yang tampaknya bersih dari maksud dan refleksi teologis itu justru dengan gamblang dapat ditangkap sebagai sebuah penyingkapan kehendak Tuhan saat dibawa dalam sebuah EKM. “…Tuhan juga ingin komunitas orang muda ikut membaharui dunia dalam hidup sehari-hari, frater!” ujar Bertha, sang ketua Team, padaku selepas misa malam itu. Dalam EKM Malam Paskah itu, kehendak Tuhan ‘terlihat’ jelas dalam batinku: sebuah paguyuban Gereja Muda yang berjalan dalam kebersamaan menimba semangat dari altar yang tak terasingkan, dan lalu menuju pelataran, berbagi kebaikan Allah di tengah dunia yang sakit ini.

EKM sebentuk Inkulturasi (?)

Mengapa EKM dapat dikatakan sebagai sebentuk proses inkulturasi? Untuk dapat menjawab pertanyaan penting ini, marilah kita melihat lebih dahulu definisi, tahap dan tujuan dari inkulturasi terlebih dahulu. Inkulturasi dapat dirumuskan sebagai suatu proses yang terus menerus dimana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis dan religius-kultural dan sekaligus injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat.[1] A.Chupungco melihat inkulturasi dalam konteks liturgi sebagai suatu proses dalam mana unsur-unsur tertentu dari budaya lokal diintegrasikan ke dalam teks, ritus, simbol dan institusi yang digunakan atau dijalani dari Gereja setempat bagi ibadatnya.[2] Penggunaan budaya popular dan simbol-simbolnya – walau tidak semata-mata merupakan budaya lokal – dalam EKM juga menjadi sebuah proses inkulturasi dalam pengertian bahwa di dalamnya terjadi juga relasi (timbal-balik) antar Injil Yesus Kristus yang merupakan warta kristiani dan budaya, serta dimensi transformatif yang meliputi aspek lahiriah dan batiniah. EKM menggunakan media-media tertentu yang memberi ruang yang cukup bagi kaum muda untuk mengekspresikan penghayatan imannya dalam liturgi. Simbol-simbol budaya popular – misalnya: penggunaan musik ber-genre non-musica sacra, tata gerak dan tari modern, lagu-lagu cinta dari artis atau grup band tertentu, video-klip yang diramu dengan bahasa orang muda – yang dirasa sangat dekat dengan hidup orang muda dapat diintegrasikan dalam bagian-bagian Ekaristi sejauh membantu kaum muda yang hadir dalam ekaristi itu untuk masuk dan terlibat dalam misteri Allah yang terungkap dalam liturgi yang sedang dirayakan.

Proses inkulturasi dengan budaya popular dalam EKM ini disadari mesti bergerak sesuai dengan tujuan umum inkulturasi, yaitu: agar hal-hal yang kudus dalam Injil dapat diungkapkan dengan lebih jelas dan umat dapat menangkapnya dengan jelas, dapat berpartisipasi dengan penuh sabar dan aktif menurut cara yang khas dan cermat.[3] Ungkapan simbol liturgis tersebut tidak memerlukan banyak penjelasan dan umat dengan cepat dapat mengerti dengan baik dan ikut serta dengan aktif. Sedangkan ”menurut cara yang khas dalam jemaat” diartikan bahwa berbagai ungkapan simbolik yang khas pada umat yang merayakan liturgi itu. Ungkapan ”partisipasi secara penuh dan aktif” oleh umat beriman dalam liturgi yang dirayakan mencakup perwujudan iman dalam kehidupan konkrit yaitu mengalami transformasi hidup umat beriman oleh warta Injil yang dirayakan. Penggunaan unsur-unsur budaya popular dalam EKM tidak dimaksudkan untuk membuat ekaristi menjadi sebuah ajang tontonan akan kreativitas yang ditampilkan atau ajang untuk merasakan suasana hiruk pikuk orang muda atau ajang untuk mencari popularitas pihak tertentu melainkan sebagai media atau sarana untuk membantu dan mengantar orang-orang muda untuk mengalami perjumpaan dengan Allah melalui simbol-simbol yang familiar dengan dunia mereka.

Ekaristi Kaum Muda sebagai proses inkulturasi menjadi sebuah momen perjumpaan antara Allah dan orang-orang muda dimana di dalam Allah hadir dan berbicara melalui dunia mereka yang dihidupi dan dihayati setiap hari. Tidak hanya berhenti pada pengalaman perjumpaan itu dalam ekaristi melainkan kemudian ada kelanjutan dalam aspek perwujudan iman secara konkret dalam kehidupan sehari-hari dari kaum muda.

[1] Bdk. Giancarlo Collet, “Inkulturation”, dalam P. Eicher (ed.), Neues Handbuch Theologischer Grundbegriffe, Kosel, Muenchen 1991, 395 seperti dikutip dalam E. Martasudjita Pr. Pengantar Liturgi. Makna, sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta: Kanisius 1999, 79.
[2] Diktat Matakuliah Teologi Inkulturasi : Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal, E.Martasudjita Pr., seperti dikutip dari Chupungco, Liturgy and Inculturation, 339.
[3] Bdk. Liturgia Romana et Inculturatione (Liturgi Romawi dan Inkulturasi) 35.

Dikutip dari:
http://simplydehonian.com/2012/06/16/inkulturasi-bagi-ekaristi-kaum-muda/comment-page-1/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP