Menyelaraskan Devosi dengan Liturgi
Malam itu, tas Pastor Bernard Boli Ujan SVD hilang. Isinya beberapa barang berharga, termasuk kamera. Lena Abdi, pemandu acara, meminta peserta yang mengetahui agar mengembalikan barang itu.
Esok paginya, ternyata tas itu sudah kembali utuh ke tangan pemiliknya. Itu karena devosi kepada Santo Antonius dari Padua. Orang bisa saja mengatakan peristiwa itu hanya kebetulan. Tetapi, hal yang kebetulan ini menjadi bukan hal biasa bagi orang-orang yang setiap hari berkutat mengenai devosi dan liturgi.
Lebih dari 100 orang perwakilan Komisi Liturgi dari 37 keuskupan se-Indonesia, para dosen liturgi se-Indonesia, pengurus Komisi Liturgi KWI, memperbincangkan devosi yang dirasakan semakin kebablasan. Mereka berkumpul untuk mencari cara bagaimana umat Katolik bisa kembali menghormati liturgi yang merupakan puncak iman Katolik.
Graha Wacana, sebuah tempat pertemuan milik SVD di Ledug, Prigen, menjadi tempat mereka berkumpul pada medio Juli lalu. Tempat berhawa sejuk di wilayah Keuskupan Malang itu menjadi saksi bisu pertemuan nasional lima tahunan Komisi Liturgi seluruh Indonesia tersebut.
Melalui bimbingan para pakar di bidang liturgi, spiritualitas, dan Kitab Suci, peserta mengembalikan porsi devosi dan liturgi seperti semula. Para pakar tersebut adalah Pastor Bernardus Boli Ujan SVD, Pastor Gerardus Majella Bosco da Cunha OCarm, Pastor Agustinus Lie CDD, Pastor Thomas Aquino Deshi Ramadhani SJ, dan Pastor Jacobus Tarigan Pr.
Peserta pertama-tama diajak untuk menelaah hasil penelitian yang dilakukan Komisi Liturgi KWI untuk menjajaki sejauh mana devosi berkembang di antara umat di seluruh Tanah Air. Pastor Christophorus Harimanto Suryanugraha OSC, Ketua Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia yang menjadi Ketua Panitia Pengarah, membeberkan hasil penelitian. Berpijak pada empat pertanyaan yang diajukan kepada Komisi-Komisi Liturgi dari 37 keuskupan, jawaban yang kembali memperlihatkan betapa devosi yang berkembang pada masyarakat Katolik sudah begitu marak.
Beraneka ragam
Pertanyaan-pertanyaan itu meliputi jenis devosi dan kesalehan umat di masing-masing keuskupan; motivasi yang mendasari praktik devosi dan kesalehan tersebut; hal-hal positif dari kegiatan dan penghayatan devosi; dan permasalahan yang muncul akibat dari devosi dan kesalehan umat tersebut.
Dari 33 keuskupan yang memberikan jawaban, ternyata ditemukan sedikitnya 55 jenis/bentuk dan kelompok umat yang berdevosi kepada pribadi-pribadi kudus seperti Allah Bapa, Yesus, Maria, orang kudus, dan jenis devosi lain. Tampak ada jenis devosi yang unik, seperti Ikatan Tenaga Dalam Murni, Misa Ayam Berkokok, dan Lucernarium.
Motivasi yang mendorong umat berdevosi juga bermacam-macam. Mulai dari keperluan pribadi sampai kepentingan masyarakat. Dari melanjutkan kebiasaan dalam keluarga sampai melanjutkan pengembangan devosi dari daerah asal misionaris. Tapi, ada juga yang hanya ikut-ikutan dan sekadar ingin tahu.
Apa pun alasan umat berdevosi, ternyata muncul dampak positif yang membawa angin segar dari segi iman umat. Dampak positif ini meliputi hidup eklesial, hidup spiritual, hidup sosial, dan hidup individual. Mulai dari perubahan hidup menjadi tahan menderita sampai muncul semangat bela rasa.
Namun, ibarat dua sisi mata uang, tetap muncul permasalahan berkaitan dengan sikap berdevosi umat. Masalah yang muncul meliputi adanya perpecahan, karena sebagian umat belum menerima kehadiran kelompok devosi, hirarki/paroki kurang mendampingi dan/atau tidak peduli terhadap praktik devosi yang dianggap meresahkan, devosi dalam liturgi menggeser peran utama Yesus, pemahaman yang keliru sehingga jatuh pada takhyul dan mencari kesaktian jimat, penekanan berlebihan pada aspek emosional (doa penyembuhan), praktik liturgi digunakan sembarangan dalam devosi, dan ada pribadi tertentu yang giat berpromosi untuk suatu devosi yang belum jelas statusnya.
Sekolah iman
Proses diskusi dimulai oleh pembicara pertama, Pastor Bosco da Cunha OCarm. Ia memberikan materi “Liturgi dan Devosi”. Menurut lulusan Lisensiat Liturgi San Anselmo Roma ini, devosi mengandung komitmen untuk setia bakti dalam semangat cinta kepada “Yang di Atas” sampai mati. Sedangkan liturgi merupakan suatu kegiatan memuliakan keagungan Allah Tritunggal yang Mahakuasa.
Peserta mengungkapkan beberapa tren yang muncul. Misalnya, di Keuskupan Denpasar banyak orang menikah di hotel atau pantai, tetapi jarang yang menikah di gereja. Atau di Keuskupan Timika, umat biasa mengadakan Perayaan Ekaristi di rumah adat yang menjadi rumah tinggal keluarga. Diakui, orang lebih menghargai devosi daripada liturgi.
Pembicara kedua, Pastor Deshi Ramadhani SJ mengajak peserta memfokuskan diri pada devosi Katolik Roma. Dengan makalahnya, “Membangun Teologi Biblis tentang Devosi Katolik Roma”, doktor Teologi Suci dari Sekolah Tinggi Yesuit Berkeley, California AS ini menekankan bahwa devosi berarti sesuatu yang mengalir dari sebuah janji. Dalam devosi ada paradoks. Penghayatan relasi dengan Allah sebagai Pribadi yang sangat tinggi (hubungannya tidak setara), tetapi sekaligus sangat dekat dengan manusia.
Berdasarkan hasil survei, menurut pakar Kitab Suci ini, tampak dalam devosi ada unsur permohonan, unsur pembentukan kesalehan, tegangan antara pengalaman dan format, dan tegangan antara publik(asi) dan pribadi.
Ia banyak melemparkan pertanyaan kritis untuk “menggedor” pemikiran peserta agar tidak terjebak pada hal-hal yang baku, tetapi juga membuka mata untuk hal-hal personal seperti unsur “kegilaan” (madness) seperti yang dilakukan Hana dalam Perjanjian Lama.
Sedangkan Pastor Agustinus Lie CDD membahas devosi dan liturgi dengan lebih menekankan pada waktu, subjek kultus, dan tempat devosional. Dosen Liturgi di STFT Widya Sasana Malang ini banyak mendapat pertanyaan mengenai liturgi yang sudah berinkulturasi dengan budaya Tionghoa. Pertanyaan mengenai tempat hio yang diletakkan berdampingan dengan patung Maria dan salib Yesus, atau keluarga yang menolak mengadakan Misa karena di rumah tersebut terdapat tempat sembahyang dewa-dewi, menjadi bahan pembicaraan.
Omong Kosong!
Setelah peserta mendapatkan pemahaman mengenai perbedaan antara devosi dan liturgi, Pastor Bernardus Boli Ujan SVD mengajak untuk melihat kemungkinan penyerasian antara keduanya. Dengan makalah “Kesalehan Umat dan Liturgi, Kemungkinan Penyerasian”, doktor Liturgi lulusan San Anselmo Roma ini mengungkapkan beberapa contoh upaya penyelarasan antara devosi dan liturgi.
Narasumber terakhir, Pastor Jacobus Tarigan Pr, menghentak peserta dengan mengatakan bahwa semua pembicaraan yang berlangsung itu sebenarnya tidak perlu! Lulusan Lisensiat Teologi Spiritualitas Universitas Gregoriana Roma ini mengeluarkan makalah “Spiritualitas Devosi Menuju Hakikat Liturgi”.
Ia mengajak peserta untuk meneladan sikap Bunda Teresa dari Kolkata. Beata ini menjadikan Ekaristi sebagai sumber kekuatan, berdevosi kepada Sakramen Mahakudus, berdoa rosario secara penuh, membaca Litani Santa Perawan Maria dan Litani Orang Kudus. Tetapi, yang lebih penting, ia melakukan karya nyata, memberikan sentuhan kasih kepada orang-orang yang menghadapi ajal. Bunda Teresa dan para susternya mengantarkan Tuhan ke dalam hidup orang-orang tersebut dan mengantarkan mereka kepada Tuhan.
Dosen Luar Biasa Liturgika di STF Driyarkara Jakarta ini mengingatkan, praktik ziarah dan novena yang bergandengan tangan dengan turisme perlu diwaspadai. “Misalnya, para pemilik toko devosionalia di Lourdes membuat patung dan rosario dengan sekian banyak variasi, bukan karena cinta mereka akan Maria, tetapi karena mereka mengharapkan bertambahnya rezeki lewat peziarahpeziarah,” ujarnya mengutip Jan van Paassen MSC dalam ‘Devosi dan Deviasi’ (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007).
Apa yang dibicarakan dalam pertemuan nasional ini tidak ada artinya kalau tidak ada tindak lajutnya. Kita nantikan angin perubahan yang terjadi pada umat dalam berdevosi.
Sylvia Marsidi - See more at: http://www.hidupkatolik.com/2011/09/20/menyelaraskan-devosi-dengan-liturgi#sthash.yKxVlyaq.dpuf
Esok paginya, ternyata tas itu sudah kembali utuh ke tangan pemiliknya. Itu karena devosi kepada Santo Antonius dari Padua. Orang bisa saja mengatakan peristiwa itu hanya kebetulan. Tetapi, hal yang kebetulan ini menjadi bukan hal biasa bagi orang-orang yang setiap hari berkutat mengenai devosi dan liturgi.
Lebih dari 100 orang perwakilan Komisi Liturgi dari 37 keuskupan se-Indonesia, para dosen liturgi se-Indonesia, pengurus Komisi Liturgi KWI, memperbincangkan devosi yang dirasakan semakin kebablasan. Mereka berkumpul untuk mencari cara bagaimana umat Katolik bisa kembali menghormati liturgi yang merupakan puncak iman Katolik.
Graha Wacana, sebuah tempat pertemuan milik SVD di Ledug, Prigen, menjadi tempat mereka berkumpul pada medio Juli lalu. Tempat berhawa sejuk di wilayah Keuskupan Malang itu menjadi saksi bisu pertemuan nasional lima tahunan Komisi Liturgi seluruh Indonesia tersebut.
Melalui bimbingan para pakar di bidang liturgi, spiritualitas, dan Kitab Suci, peserta mengembalikan porsi devosi dan liturgi seperti semula. Para pakar tersebut adalah Pastor Bernardus Boli Ujan SVD, Pastor Gerardus Majella Bosco da Cunha OCarm, Pastor Agustinus Lie CDD, Pastor Thomas Aquino Deshi Ramadhani SJ, dan Pastor Jacobus Tarigan Pr.
Peserta pertama-tama diajak untuk menelaah hasil penelitian yang dilakukan Komisi Liturgi KWI untuk menjajaki sejauh mana devosi berkembang di antara umat di seluruh Tanah Air. Pastor Christophorus Harimanto Suryanugraha OSC, Ketua Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia yang menjadi Ketua Panitia Pengarah, membeberkan hasil penelitian. Berpijak pada empat pertanyaan yang diajukan kepada Komisi-Komisi Liturgi dari 37 keuskupan, jawaban yang kembali memperlihatkan betapa devosi yang berkembang pada masyarakat Katolik sudah begitu marak.
Beraneka ragam
Pertanyaan-pertanyaan itu meliputi jenis devosi dan kesalehan umat di masing-masing keuskupan; motivasi yang mendasari praktik devosi dan kesalehan tersebut; hal-hal positif dari kegiatan dan penghayatan devosi; dan permasalahan yang muncul akibat dari devosi dan kesalehan umat tersebut.
Dari 33 keuskupan yang memberikan jawaban, ternyata ditemukan sedikitnya 55 jenis/bentuk dan kelompok umat yang berdevosi kepada pribadi-pribadi kudus seperti Allah Bapa, Yesus, Maria, orang kudus, dan jenis devosi lain. Tampak ada jenis devosi yang unik, seperti Ikatan Tenaga Dalam Murni, Misa Ayam Berkokok, dan Lucernarium.
Motivasi yang mendorong umat berdevosi juga bermacam-macam. Mulai dari keperluan pribadi sampai kepentingan masyarakat. Dari melanjutkan kebiasaan dalam keluarga sampai melanjutkan pengembangan devosi dari daerah asal misionaris. Tapi, ada juga yang hanya ikut-ikutan dan sekadar ingin tahu.
Apa pun alasan umat berdevosi, ternyata muncul dampak positif yang membawa angin segar dari segi iman umat. Dampak positif ini meliputi hidup eklesial, hidup spiritual, hidup sosial, dan hidup individual. Mulai dari perubahan hidup menjadi tahan menderita sampai muncul semangat bela rasa.
Namun, ibarat dua sisi mata uang, tetap muncul permasalahan berkaitan dengan sikap berdevosi umat. Masalah yang muncul meliputi adanya perpecahan, karena sebagian umat belum menerima kehadiran kelompok devosi, hirarki/paroki kurang mendampingi dan/atau tidak peduli terhadap praktik devosi yang dianggap meresahkan, devosi dalam liturgi menggeser peran utama Yesus, pemahaman yang keliru sehingga jatuh pada takhyul dan mencari kesaktian jimat, penekanan berlebihan pada aspek emosional (doa penyembuhan), praktik liturgi digunakan sembarangan dalam devosi, dan ada pribadi tertentu yang giat berpromosi untuk suatu devosi yang belum jelas statusnya.
Sekolah iman
Proses diskusi dimulai oleh pembicara pertama, Pastor Bosco da Cunha OCarm. Ia memberikan materi “Liturgi dan Devosi”. Menurut lulusan Lisensiat Liturgi San Anselmo Roma ini, devosi mengandung komitmen untuk setia bakti dalam semangat cinta kepada “Yang di Atas” sampai mati. Sedangkan liturgi merupakan suatu kegiatan memuliakan keagungan Allah Tritunggal yang Mahakuasa.
Peserta mengungkapkan beberapa tren yang muncul. Misalnya, di Keuskupan Denpasar banyak orang menikah di hotel atau pantai, tetapi jarang yang menikah di gereja. Atau di Keuskupan Timika, umat biasa mengadakan Perayaan Ekaristi di rumah adat yang menjadi rumah tinggal keluarga. Diakui, orang lebih menghargai devosi daripada liturgi.
Pembicara kedua, Pastor Deshi Ramadhani SJ mengajak peserta memfokuskan diri pada devosi Katolik Roma. Dengan makalahnya, “Membangun Teologi Biblis tentang Devosi Katolik Roma”, doktor Teologi Suci dari Sekolah Tinggi Yesuit Berkeley, California AS ini menekankan bahwa devosi berarti sesuatu yang mengalir dari sebuah janji. Dalam devosi ada paradoks. Penghayatan relasi dengan Allah sebagai Pribadi yang sangat tinggi (hubungannya tidak setara), tetapi sekaligus sangat dekat dengan manusia.
Berdasarkan hasil survei, menurut pakar Kitab Suci ini, tampak dalam devosi ada unsur permohonan, unsur pembentukan kesalehan, tegangan antara pengalaman dan format, dan tegangan antara publik(asi) dan pribadi.
Ia banyak melemparkan pertanyaan kritis untuk “menggedor” pemikiran peserta agar tidak terjebak pada hal-hal yang baku, tetapi juga membuka mata untuk hal-hal personal seperti unsur “kegilaan” (madness) seperti yang dilakukan Hana dalam Perjanjian Lama.
Sedangkan Pastor Agustinus Lie CDD membahas devosi dan liturgi dengan lebih menekankan pada waktu, subjek kultus, dan tempat devosional. Dosen Liturgi di STFT Widya Sasana Malang ini banyak mendapat pertanyaan mengenai liturgi yang sudah berinkulturasi dengan budaya Tionghoa. Pertanyaan mengenai tempat hio yang diletakkan berdampingan dengan patung Maria dan salib Yesus, atau keluarga yang menolak mengadakan Misa karena di rumah tersebut terdapat tempat sembahyang dewa-dewi, menjadi bahan pembicaraan.
Omong Kosong!
Setelah peserta mendapatkan pemahaman mengenai perbedaan antara devosi dan liturgi, Pastor Bernardus Boli Ujan SVD mengajak untuk melihat kemungkinan penyerasian antara keduanya. Dengan makalah “Kesalehan Umat dan Liturgi, Kemungkinan Penyerasian”, doktor Liturgi lulusan San Anselmo Roma ini mengungkapkan beberapa contoh upaya penyelarasan antara devosi dan liturgi.
Narasumber terakhir, Pastor Jacobus Tarigan Pr, menghentak peserta dengan mengatakan bahwa semua pembicaraan yang berlangsung itu sebenarnya tidak perlu! Lulusan Lisensiat Teologi Spiritualitas Universitas Gregoriana Roma ini mengeluarkan makalah “Spiritualitas Devosi Menuju Hakikat Liturgi”.
Ia mengajak peserta untuk meneladan sikap Bunda Teresa dari Kolkata. Beata ini menjadikan Ekaristi sebagai sumber kekuatan, berdevosi kepada Sakramen Mahakudus, berdoa rosario secara penuh, membaca Litani Santa Perawan Maria dan Litani Orang Kudus. Tetapi, yang lebih penting, ia melakukan karya nyata, memberikan sentuhan kasih kepada orang-orang yang menghadapi ajal. Bunda Teresa dan para susternya mengantarkan Tuhan ke dalam hidup orang-orang tersebut dan mengantarkan mereka kepada Tuhan.
Dosen Luar Biasa Liturgika di STF Driyarkara Jakarta ini mengingatkan, praktik ziarah dan novena yang bergandengan tangan dengan turisme perlu diwaspadai. “Misalnya, para pemilik toko devosionalia di Lourdes membuat patung dan rosario dengan sekian banyak variasi, bukan karena cinta mereka akan Maria, tetapi karena mereka mengharapkan bertambahnya rezeki lewat peziarahpeziarah,” ujarnya mengutip Jan van Paassen MSC dalam ‘Devosi dan Deviasi’ (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007).
Apa yang dibicarakan dalam pertemuan nasional ini tidak ada artinya kalau tidak ada tindak lajutnya. Kita nantikan angin perubahan yang terjadi pada umat dalam berdevosi.
Sylvia Marsidi - See more at: http://www.hidupkatolik.com/2011/09/20/menyelaraskan-devosi-dengan-liturgi#sthash.yKxVlyaq.dpuf