Memahami Sakramen Perkawinan secara “baru”
Saudara-Saudari terkasih,
Usaha memahami Sakramen Perkawinan secara “baru” ini saya gulirkan dalam beberapa tulisan. Mengapa “secara baru”, karena gagasan ini saya tuangkan dalam rangka memperdalam gagasan retret para imam Keuskupan Purwokerto (10-14 Nov 2008) di Purwokerto bersama Fr Fio Mascarenhas dari India, yang menekan pentingnya relasi umat beriman dengan Tritunggal Mahakudus. Saya menempatkan status diri dalam tulisan ini sebagai seorang imam dan sebagai seorang anak dalam keluargaku. Karena itu tulisan saya ini barangkali banyak bernuansa teologis daripada praksis. Justru karena kurang praksis, terbukalah kesempatan untuk Anda semua, untuk mengkritik tulisan ini atau memberi komentar apapun, juga yang “nakal” sekalipun dipersilakan.
Tulisan ini dibagi menjadi 2 bagian: (A) Suami isteri sebagai mitra kerja Allah dan (B) Peran suami isteri sebagai imam, nabi dan raja.
A. Suami isteri sebagai “mitra rekan kerja Allah”
Dalam Perayaan Sakramen Pernikahan, kita sering mendengarkan Sabda Tuhan yang diwartakan seperti ini, “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:6-9)
Sabda Tuhan yang menegaskan kebersatuan suami isteri itu dan sifat monogaminya, juga ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 1056:
“Ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan=monogami) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.”
Sifat monogami dan sifat tak dapat diputuskan itu tentulah dimengerti oleh para calon suami isteri sebelum mereka mengucapkan kesepakatan janji nikah. Janji nikah yang diucapkan pria dan wanita yanga dibaptis, dan diucapkan di hadapan Allah dan Gereja, mereka berdua telah “saling menerimakan sakramen perkawinan”. Kesepakatan nikah pria dan wanita yang dibuat dengan tahu, sadar dan bebas dari segala paksaan apapun, adalah keputusan untuk “menjadi mitra Allah” dalam karya keselamatan-Nya.
Suami isteri menjadi “mitra Allah” dengan “hidup dalam persekutuan sebagai “Gereja keluarga”. “Apakah artinya “persekutuan” bagi suami isteri? Artinya, saat mengucapkan janji nikah di hadapan Allah dan Gereja, suami isteri saling “menukar” hidup dan pribadinya. Suami menyatakan “engkau isteriku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku. Demikian juga isteri bersedia “engkau suamiku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku”. Maka dengan pertukaran itu, suami dapat memandang dan memperlakukan isterinya, sebagai “dirinya sendiri” , sebaliknya begitu. Dengan kata lain, suami isteri saling mengarahkan jerih payahnya untuk hidup pasangannya, bukan hidup dirinya sendiri. Itulah “mengasihi sesama seperti dirinya sendiri” dalam keluarga. Kasih antar sesama itu dapat menjadi “tanda kasih yang hidup dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia.
Allah Bapa tidak menyesal menciptakan manusia, meskipun Adam dan Hawa, akhirnya jatuh dalam dosa asal. Keturunan merekapun satu per satu, bergantian, turun temurun, dari generasi satu ke generasi yang lain, mewarisi dosa asal. Maka setelah melalui sejarah yang berliku-liku, Allah mengutus Putera-Nya yang tunggal, Yesus untuk hidup dan tinggal bersama manusia.
Kristus itulah yang melaksanakan tugas untuk menebus dosa manusia, dengan hidup dan wafat-Nya di kayu salib. Tugas itu dilaksanakan dengan sempurna oleh Kristus sehingga Allah tidak segan untuk meninggikan “Dia di atas segala nama”, dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Kebangkitan itu menganugerahkan kebebasan sebagai anak-anak Allah. Akan tetapi kebebasan itu tidak serta merta ditanggapi manusia untuk hidup di dalam Roh, mengasihi Allah dan sesama, malahan kerap kali kebebasan itu disalahgunakan untuk “bekerjasama dengan kuasa kegelapan dosa”, yakni hidup menurut daging. Karena itulah, Yesus mengutus Roh-Nya sendiri setelah 50 hari kebangkitan-Nya agar manusia mampu memenangkan pertempuran antara kehendak untuk hidup dalam Roh dan kecenderungan hidup dalam kegelapan dosa
Dengan lain kata, keputusan pria dan wanita untuk hidup menikah, adalah buah Roh Kudus, yakni menggunakan kebebasannya sebagai anak Allah untuk mewujudkan panggilan dasarnya sebagai citra dan anak-Nya untuk mencintai seperti Allah mencintai manusia. Panggilan dasar itu diwujudkan dalam hidup pernikahan. Maka sakramen pernikahan memperbaharui buah buah sakramen pembaptisan. Buah sakramen pembaptisan, tidak hanya mendapat anugerah kebebasan sebagai anak Allah, melainkan juga memberi daya kekuatan untuk menggulirkan kebebasan itu dalam tiga perannya: sebagai imam, nabi dan raja.
B. Tiga peran Suami Isteri dalam kemitraan dengan Allah
Suami isteri kristiani sebagai orang yang dibaptis telah dipercaya menjadi anak-Nya sekaligus ahli waris. Karena itu mereka dipanggil untuk menjadi imam, nabi dan raja
Sebagai imam, suami isteri dipanggil untuk membangun relasi yang intim dengan Allah. Relasi itu dibangun dengan “merayakan iman” dan “mewujudkan iman dalam tindakan kasih.” Tugas merayakan iman adalah kesediaan untuk berdoa: berbicara dengan Tuhan dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk juga, yang harus dibuat, belajar minta Roh Kudus kepada Allah Bapa karena Roh Kudus tidak otomatis dianugerahkan kepada kita, melainkan Ia akan hadir dan terlibat dalam hidup kita.
“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Luk 11, 13)”
Roh Kudus sudah hadir di tengah tengah kita, namun bagaimana kita mampu mengalami karya Roh itu kalau tidak membuka diri. Ibarat bagaikan orang yang mencari sinar matahari di pagi hari sampai siang, padahal dia terus menerus tinggal di gua dan tidak pernah mau keluar dari gua itu. Maka, penting dan mendesak, jangan ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus kepada Bapa agar terlibat membantu memberikan pencerahan di saat banyak kesulitan.
Sikap hidup “yang melibatkan Roh” itu pasti akhirnya menantang suami isteri untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap fasilitas yang nampaknya dapat diandalkan. Dengan lain kata, melibatkan Roh dalam hidup bersama, berarti jerih payah apapun suami isteri dapat menjadi korban persembahan bagi Tuhan kalau dilaksanakan “demi kepentingan terwujudnya buah-buah Roh, ” kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.’ (Gal 5:22-23)
Sebaliknya jerih payah suami isteri, bahkan yang kelihatan luhur sekalipun tidak akan menjadi “kurban persembahan bagi Allah” kalau dilaksanakan demi “kepentingan sendiri” atau demi kepentingan “daging”. Karena hidup dalam daging, “percabulan, kecemaran, hawa nafsu,” penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5: 21)
Dengan kata lain peran sebagai imam menuntut peran sebagai “raja”, yang memiliki sikap “proaktif untuk melayani sesamanya”. Mereka tidak akan berbangga kalau menjadi pribadi yang suka disapa, atau jadi pribadi yang ditakuti pasangan hidup atau anaknya sendiri. Allah sendiri menganugerahkan Roh sebagai anak Allah bukan roh perbudakan yang membuat kita takut.”Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!” (Rm 8:14-15) Dengan keyakinan Santo Paulus ini, suami isteri dipanggil untuk menampilkan hidup sebagai anak Allah. Hidup sebagai anak Allah selalu terarah pada kepentingan Bapa, dan bukan kepentingan harga diri sendiri. Maka, suami isteri mesti belajar untuk dinilai dan dikritik oleh pasangannya. Kalau keliru, belajar cepat meminta maaf, tidak malahan membela diri dan berargumentasi bahwa dirinya benar. Kalaupun benar pendapatnya, lebih baik mengatakan, “Terima kasih atas kritikanmu! Iya, bisa jadi saya keliru, meski sekarang saya yakin pendapatku ini benar!” Keterbukaan seperti itulah, yang meningkatkan kualitas pribadi yang siap untuk diubah oleh Roh Kudus.
Dengan semangat itu, suami isteri dapat mewujudkan sakramen perkawinan: sebagai tanda kehadiran cinta Tuhan yang nyata, yakni,
(i) menjadi tanda cinta Allah Bapa Sang Pencipta dan pemelihara hidup melalui prokreasi, merawat dan mendidik anak sampai mandiri,
(ii) menjadi tanda kasih Yesus yang menebus dosa manusia dengan mengampuni satu sama lain, tidak menghakimi, namun belajar untuk mengubah kelemahan pasangan menjadi kesempatan untuk berefleksi dan
(iii) belajar untuk menjadi tanda kehadiran Roh Kudus yang menyertai kita sepanjang hidup, dengan belajar mendengarkan dan berkanjang bersama: tidak saling melempar kesalahan, tidak saling melempar tanggung jawab, melainkan belajar setia, yakni sehati seperasaan dalam suka dan duka.
Ketiga tindakan itu berwarna Trinitaris, maka ketiga tindakan itu tidak terpisahkan. Tidak cukup pasutri hanya prokreasi dan mendidik anak tanpa pengampunan dan solider antara suami isteri dan antar orang tua dan anak. Dengan cara hidup macam seperti suami isteri menjadi “tanda cinta yang hidup dari kesetiaan Allah kepada manusia”.
Akan tetapi bagaimana penghayatan itu sampai pada kenyataan kalau suami isteri kurang membuka diri kepada sabda Allah. Karena itu peran sebagai imam dan raja, mesti didukung dengan peran sebagai nabi, yang bersedia mendengarkan sabda Allah dan melaksanakan dalam hidup setiap hari. Sabda Tuhan itu adalah roh dan kehidupan. Maka suami isteri ditantang untuk hidup dari Sabda agar mereka memiliki “roh dan kehidupan” karena “Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.”(Yoh 6:63). itulah sebabnya Petrus pun setia mengikuti kemana Yesus pergi karena “Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6:68). Kata-kata Yesus itu sendiri meneguhkan kita semua, agar tidak lagi ragu-ragu untuk setia mendengarkan Sabda Tuhan agar kita mengenal siapa Kristus, dan terlebih agar kita memiliki roh dan hidup!! Maka suami isteri ditantang untuk sungguh berperan sebagai “nabi”: menjadi tanda kehadiran Allah yang bersabda bagi pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudarinya.
Dengan penghayatan begitulah, pasutri membawa hidupnya dalam persembaan di altar dalam ekaristi. Hidupnya dengan segala kerapuhan dan kelemahan dipersembahkan bersama kurban Kristus, agar saat komuni terjadilah “pertukaran ilahi”: Kristus hadir dalam diri suami isteri untuk menerima hati mereka dengan segala keletihan dan rasa lesu serta beban berat, dan menggantikannya dengan Tubuh dan Darah-Nya, agar setelah ekaristi, hidup mereka dalam keluarga sungguh menampilkan hidup Kristus yang setia pada Gereja-Nya. Karena itu Kristus yang setia pada Gereja-Nya membutuhkan suami isteri untuk bekerjasama, agar kesetiaan Kristus tampak bagi dunia. Di situlah tugas suami isteri, “menampakkan” kesetiaan kasih Kristus bagi dunia.
Dengan “menampakkan kesetiaan” itu dalam hidup bersama yang diwarnai kasih, suami isteri menjadi tanda “pertukaran ilahi” antara Kristus dengan manusia. Itulah “pertukaran” yang menjadi ciri khas “persekutuan suami isteri monogami dan tidak terceraikan”. Semoga makin banyak pasutri kristiani yang menjadi tanda kasih Allah yang hidup bagi dunia.
salam hangat untuk pasutri dan keluarga kristiani di manapun berada.
Blasius Slamet Lasmunadi Pr
Sumber :
http://mbahjustinus.wordpress.com/2009/09/22/memahami-sakramen-perkawinan-secara-baru/
Usaha memahami Sakramen Perkawinan secara “baru” ini saya gulirkan dalam beberapa tulisan. Mengapa “secara baru”, karena gagasan ini saya tuangkan dalam rangka memperdalam gagasan retret para imam Keuskupan Purwokerto (10-14 Nov 2008) di Purwokerto bersama Fr Fio Mascarenhas dari India, yang menekan pentingnya relasi umat beriman dengan Tritunggal Mahakudus. Saya menempatkan status diri dalam tulisan ini sebagai seorang imam dan sebagai seorang anak dalam keluargaku. Karena itu tulisan saya ini barangkali banyak bernuansa teologis daripada praksis. Justru karena kurang praksis, terbukalah kesempatan untuk Anda semua, untuk mengkritik tulisan ini atau memberi komentar apapun, juga yang “nakal” sekalipun dipersilakan.
Tulisan ini dibagi menjadi 2 bagian: (A) Suami isteri sebagai mitra kerja Allah dan (B) Peran suami isteri sebagai imam, nabi dan raja.
A. Suami isteri sebagai “mitra rekan kerja Allah”
Dalam Perayaan Sakramen Pernikahan, kita sering mendengarkan Sabda Tuhan yang diwartakan seperti ini, “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:6-9)
Sabda Tuhan yang menegaskan kebersatuan suami isteri itu dan sifat monogaminya, juga ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 1056:
“Ciri-ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan=monogami) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.”
Sifat monogami dan sifat tak dapat diputuskan itu tentulah dimengerti oleh para calon suami isteri sebelum mereka mengucapkan kesepakatan janji nikah. Janji nikah yang diucapkan pria dan wanita yanga dibaptis, dan diucapkan di hadapan Allah dan Gereja, mereka berdua telah “saling menerimakan sakramen perkawinan”. Kesepakatan nikah pria dan wanita yang dibuat dengan tahu, sadar dan bebas dari segala paksaan apapun, adalah keputusan untuk “menjadi mitra Allah” dalam karya keselamatan-Nya.
Suami isteri menjadi “mitra Allah” dengan “hidup dalam persekutuan sebagai “Gereja keluarga”. “Apakah artinya “persekutuan” bagi suami isteri? Artinya, saat mengucapkan janji nikah di hadapan Allah dan Gereja, suami isteri saling “menukar” hidup dan pribadinya. Suami menyatakan “engkau isteriku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku. Demikian juga isteri bersedia “engkau suamiku, seluruh dirimu kugantikan dengan diriku”. Maka dengan pertukaran itu, suami dapat memandang dan memperlakukan isterinya, sebagai “dirinya sendiri” , sebaliknya begitu. Dengan kata lain, suami isteri saling mengarahkan jerih payahnya untuk hidup pasangannya, bukan hidup dirinya sendiri. Itulah “mengasihi sesama seperti dirinya sendiri” dalam keluarga. Kasih antar sesama itu dapat menjadi “tanda kasih yang hidup dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia.
Allah Bapa tidak menyesal menciptakan manusia, meskipun Adam dan Hawa, akhirnya jatuh dalam dosa asal. Keturunan merekapun satu per satu, bergantian, turun temurun, dari generasi satu ke generasi yang lain, mewarisi dosa asal. Maka setelah melalui sejarah yang berliku-liku, Allah mengutus Putera-Nya yang tunggal, Yesus untuk hidup dan tinggal bersama manusia.
Kristus itulah yang melaksanakan tugas untuk menebus dosa manusia, dengan hidup dan wafat-Nya di kayu salib. Tugas itu dilaksanakan dengan sempurna oleh Kristus sehingga Allah tidak segan untuk meninggikan “Dia di atas segala nama”, dengan membangkitkan-Nya pada hari ketiga. Kebangkitan itu menganugerahkan kebebasan sebagai anak-anak Allah. Akan tetapi kebebasan itu tidak serta merta ditanggapi manusia untuk hidup di dalam Roh, mengasihi Allah dan sesama, malahan kerap kali kebebasan itu disalahgunakan untuk “bekerjasama dengan kuasa kegelapan dosa”, yakni hidup menurut daging. Karena itulah, Yesus mengutus Roh-Nya sendiri setelah 50 hari kebangkitan-Nya agar manusia mampu memenangkan pertempuran antara kehendak untuk hidup dalam Roh dan kecenderungan hidup dalam kegelapan dosa
Dengan lain kata, keputusan pria dan wanita untuk hidup menikah, adalah buah Roh Kudus, yakni menggunakan kebebasannya sebagai anak Allah untuk mewujudkan panggilan dasarnya sebagai citra dan anak-Nya untuk mencintai seperti Allah mencintai manusia. Panggilan dasar itu diwujudkan dalam hidup pernikahan. Maka sakramen pernikahan memperbaharui buah buah sakramen pembaptisan. Buah sakramen pembaptisan, tidak hanya mendapat anugerah kebebasan sebagai anak Allah, melainkan juga memberi daya kekuatan untuk menggulirkan kebebasan itu dalam tiga perannya: sebagai imam, nabi dan raja.
B. Tiga peran Suami Isteri dalam kemitraan dengan Allah
Suami isteri kristiani sebagai orang yang dibaptis telah dipercaya menjadi anak-Nya sekaligus ahli waris. Karena itu mereka dipanggil untuk menjadi imam, nabi dan raja
Sebagai imam, suami isteri dipanggil untuk membangun relasi yang intim dengan Allah. Relasi itu dibangun dengan “merayakan iman” dan “mewujudkan iman dalam tindakan kasih.” Tugas merayakan iman adalah kesediaan untuk berdoa: berbicara dengan Tuhan dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk juga, yang harus dibuat, belajar minta Roh Kudus kepada Allah Bapa karena Roh Kudus tidak otomatis dianugerahkan kepada kita, melainkan Ia akan hadir dan terlibat dalam hidup kita.
“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Luk 11, 13)”
Roh Kudus sudah hadir di tengah tengah kita, namun bagaimana kita mampu mengalami karya Roh itu kalau tidak membuka diri. Ibarat bagaikan orang yang mencari sinar matahari di pagi hari sampai siang, padahal dia terus menerus tinggal di gua dan tidak pernah mau keluar dari gua itu. Maka, penting dan mendesak, jangan ragu-ragu untuk meminta Roh Kudus kepada Bapa agar terlibat membantu memberikan pencerahan di saat banyak kesulitan.
Sikap hidup “yang melibatkan Roh” itu pasti akhirnya menantang suami isteri untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap fasilitas yang nampaknya dapat diandalkan. Dengan lain kata, melibatkan Roh dalam hidup bersama, berarti jerih payah apapun suami isteri dapat menjadi korban persembahan bagi Tuhan kalau dilaksanakan “demi kepentingan terwujudnya buah-buah Roh, ” kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.’ (Gal 5:22-23)
Sebaliknya jerih payah suami isteri, bahkan yang kelihatan luhur sekalipun tidak akan menjadi “kurban persembahan bagi Allah” kalau dilaksanakan demi “kepentingan sendiri” atau demi kepentingan “daging”. Karena hidup dalam daging, “percabulan, kecemaran, hawa nafsu,” penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5: 21)
Dengan kata lain peran sebagai imam menuntut peran sebagai “raja”, yang memiliki sikap “proaktif untuk melayani sesamanya”. Mereka tidak akan berbangga kalau menjadi pribadi yang suka disapa, atau jadi pribadi yang ditakuti pasangan hidup atau anaknya sendiri. Allah sendiri menganugerahkan Roh sebagai anak Allah bukan roh perbudakan yang membuat kita takut.”Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!” (Rm 8:14-15) Dengan keyakinan Santo Paulus ini, suami isteri dipanggil untuk menampilkan hidup sebagai anak Allah. Hidup sebagai anak Allah selalu terarah pada kepentingan Bapa, dan bukan kepentingan harga diri sendiri. Maka, suami isteri mesti belajar untuk dinilai dan dikritik oleh pasangannya. Kalau keliru, belajar cepat meminta maaf, tidak malahan membela diri dan berargumentasi bahwa dirinya benar. Kalaupun benar pendapatnya, lebih baik mengatakan, “Terima kasih atas kritikanmu! Iya, bisa jadi saya keliru, meski sekarang saya yakin pendapatku ini benar!” Keterbukaan seperti itulah, yang meningkatkan kualitas pribadi yang siap untuk diubah oleh Roh Kudus.
Dengan semangat itu, suami isteri dapat mewujudkan sakramen perkawinan: sebagai tanda kehadiran cinta Tuhan yang nyata, yakni,
(i) menjadi tanda cinta Allah Bapa Sang Pencipta dan pemelihara hidup melalui prokreasi, merawat dan mendidik anak sampai mandiri,
(ii) menjadi tanda kasih Yesus yang menebus dosa manusia dengan mengampuni satu sama lain, tidak menghakimi, namun belajar untuk mengubah kelemahan pasangan menjadi kesempatan untuk berefleksi dan
(iii) belajar untuk menjadi tanda kehadiran Roh Kudus yang menyertai kita sepanjang hidup, dengan belajar mendengarkan dan berkanjang bersama: tidak saling melempar kesalahan, tidak saling melempar tanggung jawab, melainkan belajar setia, yakni sehati seperasaan dalam suka dan duka.
Ketiga tindakan itu berwarna Trinitaris, maka ketiga tindakan itu tidak terpisahkan. Tidak cukup pasutri hanya prokreasi dan mendidik anak tanpa pengampunan dan solider antara suami isteri dan antar orang tua dan anak. Dengan cara hidup macam seperti suami isteri menjadi “tanda cinta yang hidup dari kesetiaan Allah kepada manusia”.
Akan tetapi bagaimana penghayatan itu sampai pada kenyataan kalau suami isteri kurang membuka diri kepada sabda Allah. Karena itu peran sebagai imam dan raja, mesti didukung dengan peran sebagai nabi, yang bersedia mendengarkan sabda Allah dan melaksanakan dalam hidup setiap hari. Sabda Tuhan itu adalah roh dan kehidupan. Maka suami isteri ditantang untuk hidup dari Sabda agar mereka memiliki “roh dan kehidupan” karena “Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.”(Yoh 6:63). itulah sebabnya Petrus pun setia mengikuti kemana Yesus pergi karena “Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6:68). Kata-kata Yesus itu sendiri meneguhkan kita semua, agar tidak lagi ragu-ragu untuk setia mendengarkan Sabda Tuhan agar kita mengenal siapa Kristus, dan terlebih agar kita memiliki roh dan hidup!! Maka suami isteri ditantang untuk sungguh berperan sebagai “nabi”: menjadi tanda kehadiran Allah yang bersabda bagi pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudarinya.
Dengan penghayatan begitulah, pasutri membawa hidupnya dalam persembaan di altar dalam ekaristi. Hidupnya dengan segala kerapuhan dan kelemahan dipersembahkan bersama kurban Kristus, agar saat komuni terjadilah “pertukaran ilahi”: Kristus hadir dalam diri suami isteri untuk menerima hati mereka dengan segala keletihan dan rasa lesu serta beban berat, dan menggantikannya dengan Tubuh dan Darah-Nya, agar setelah ekaristi, hidup mereka dalam keluarga sungguh menampilkan hidup Kristus yang setia pada Gereja-Nya. Karena itu Kristus yang setia pada Gereja-Nya membutuhkan suami isteri untuk bekerjasama, agar kesetiaan Kristus tampak bagi dunia. Di situlah tugas suami isteri, “menampakkan” kesetiaan kasih Kristus bagi dunia.
Dengan “menampakkan kesetiaan” itu dalam hidup bersama yang diwarnai kasih, suami isteri menjadi tanda “pertukaran ilahi” antara Kristus dengan manusia. Itulah “pertukaran” yang menjadi ciri khas “persekutuan suami isteri monogami dan tidak terceraikan”. Semoga makin banyak pasutri kristiani yang menjadi tanda kasih Allah yang hidup bagi dunia.
salam hangat untuk pasutri dan keluarga kristiani di manapun berada.
Blasius Slamet Lasmunadi Pr
Sumber :
http://mbahjustinus.wordpress.com/2009/09/22/memahami-sakramen-perkawinan-secara-baru/