Rindu Lamentasi Kamis Putih
Setiap kali Kamis Putih datang, saya selalu merindukan Ibadat Lamentasi. Ibadat ini sangat biasa kami lakukan di Flores selama trihari suci. Biasanya ibadat itu dilakukan pagi hari. Pada masa Sekolah Dasar, hal itu sering kami lakukan di Paroki. Kebetulan tempat bapa saya mengajar adalah pusat Paroki. Pastor Parokinya adalah Pastor SVD dari Hungaria yang pandai menyanyi dan betul memberi perhatian pada kesemarakan liturgi lewat cara perayaan dan pembawaannya. Waktu di masa Sekolah Dasar itu, saya ingat dengan baik bahwa teks ibadat Lamentasi itu diambil dari Kitab Ratapan, dari mana nama ibadat itu berasal, Lamentatio (Latin), artinya ratapan.
Saya ingat baik bahwa seluruh teks itu dibawakan dengan dinyanyikan. Saat itu, teksnya tersedia dalam tiga bahasa: Latin, Indonesia, Manggarai. Pernah beberapa kali saya dengar para guru SD menyanyikan versi Latin itu ketika aku masih kecil. Aku terkesima dan terpesona mendengar syair lagu yang bunyinya indah walau asing, karena tidak dalam bahasa ibuku. Tetapi terasa indah. Entah mengapa? Para guru itu membawakannya dengan kelompok paduan suara yang dibentuk untuk itu. Mereka menyanyikan hal itu dengan penuh semangat dan penghayatan. Sebagai anak kecil saya merasakan hal itu ada pada mereka, terpancar dari wajah dan bahkan suara mereka.
Pernah juga ketika masih kecil saya mendengar lagu lamentasi itu dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang paling aku ingat ialah teks lagu itu dalam bahasa Manggarai. Beginilah pengantarnya: Wangkan tilir di Yeremias propheta. Artinya: Inilah permulaan ratapan nabi Yeremia. Kemudian dalam perkembangannya kata propheta itu diterjemahkan menjadi nabi nggeluk, yang artinya, nabi kudus, sehingga seluruh teks pembuka itu ada dalam bahasa Manggarai. Sungguh luar biasa dan mengagumkan. Refrein tetapnya (ayat ulangan) setelah pembuka itu ialah berupa seruan kepada Yerusalem agar bertobat. Beginilah kira-kira bunyinya: Yerusalem, Yerusalem, kole one agu Mori Kraeng de hau. (Yerusalem, Yerusalem, kembalilah pada Tuhan Allahmu). Pengantar dan refrain ayat ulangan itu masih saya ingat dengan sangat baik sampai sekarang. Sayang saya lupa syair-syair solois-nya yang sangat indah dalam teks terjemahan Manggarainya. Saya berniat mencari lagi naskah yang sangat berharga ini.
Ketika sudah masuk di Seminari Pius XII Kisol, teks lagu lamentasi sudah agak lain. Fokus refleksi adalah dosa kita yang aktual saat ini: Dosaku, dosaku, betapa kejinya, jiwa, pulanglah, pulanglah, pulang kepada Tuhanmu. Atau versi lain: Jahatlah dosamu manusia, jahatlah dosamu manusia, pulanglah, pulanglah kau pada Tuhanmu. Jadi, fokusnya ialah dosa kita yang nyata saat ini dan di sini. Kita diajak untuk menyadari keji dan jahatnya dosa kita. Beberapa syair solo, diambil dari adengan Injil: Tercekik antara pedihnya luka-luka, pada tubuh dan jiwa. Dahagaku menjadi-jadi, Aku diberi minum empedu dan cuka. NyawaKu tiada disayangi, dengan pedih aku dibuang, dan dihitung, di antara penjahat. Itulah beberapa potong syair yang masih saya ingat.
Ya, aku rindu akan itu semua sekarang ini. Semoga suatu saat saya bersama teman-teman bisa memperkenalkan ibadat yang indah ini ke beberapa tempat di Bandung ini. Itu menjadi keinginan dan harapan saya.
Sumber : http://canticumsolis.blogspot.com/2010/04/rindu-lamentasi-kamis-putih.html