Minggu, 01 Mei 2011

Menyambut Beatifikasi Paus Yohanes Paulus II (Karol Józef Wojtyla)

Print Friendly and PDF

Karol Józef Wojtyla, yang dikenal sebagai Yohanes Paulus II sejak terpilih menjadi Paus, dilahirkan di Wadowice, sebuah kota kecil 50 kilometer jauhnya dari Cracow, pada tanggal 18 Mei 1920. Ia adalah yang bungsu dari dua putera pasangan Karol Wojtyla dan Emilia Kaczorowka. Ibunya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang ketiga - bayinya lahir mati - pada tahun 1929. Kakaknya bernama Edmund, seorang dokter, meninggal pada tahun 1932 dan ayahnya seorang bintara angkatan bersenjata, meninggal pada tahun 1941.

Karol menerima Komuni Pertama pada usia 9 tahun dan Sakramen Penguatan pada usia 18 tahun. Setelah lulus dari SMA Marcin Wadowita di Wadowice, ia masuk Universits Jagiellonian, Cracow pada tahun 1938 dan juga belajar di sebuah sekolah drama.

Karol mengalami pergolakan perang di bawah pendudukan Nazi. Nazi menutup universitasnya pada tahun 1939 dan Karol yang masih belia harus bekerja sebagai buruh kasar di sebuah pertambangan (1940-1944), dan kemudian di pabrik kimia Solvay guna menyambung hidup dan menghindarkan diri dari deportasi, sebab sama seperti kebanyakan orang sebangsanya, Karol senantiasa berada dalam ancaman dideportasi ke Jerman.

Pada tahun 1942, di tengah kekacauan perang, ia merasakan panggilan untuk menjadi seorang imam. Karenanya ia belajar di Seminari Cracow yang dikelola secara sembunyi-sembunyi oleh Kardinal Adam Stefan Sapieha, Uskup Agung Cracow. Pada saat yang sama, ia dan teman-temannya merintis “Teater Rhapsodic”, juga secara sembunyi-sembunyi.

Sesudah Perang Dunia II berakhir, ia melanjutkan kuliahnya di Seminari Utama Cracow, setelah seminari dibuka kembali, dan di Fakultas Theologi, Universitas Jagiellonian, hingga ditahbiskan sebagai imam di Cracow pada tanggal 1 November 1946. Masa-masa ini Pastor Wojtyla banyak dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran St. Louis Marie de Montfort dan St. Yohanes dari Salib.

Segera setelah pentahbisannya, Kardinal Sapieha mengirimnya ke Roma di mana ia bekerja di bawah bimbingan Garrigou-Lagrange, seorang Dominikan Perancis. Ia menyelesaikan doktoratnya dalam bidang theologi pada tahun 1948 di Angelicum, Roma dengan thesis bertopik Iman dalam Karya-karya St. Yohanes dari Salib. Pada masa itu, selama liburannya, ia menjalankan tugas pastoralnya di antara para imigran Polandia di Perancis, Belgia dan Belanda.

Pada tahun 1948, ia kembali ke Polandia dan menjabat Vicaris dari beberapa paroki di Cracow, sekaligus menjadi imam mahasiswa hingga tahun 1951, saat ia memutuskan untuk memperdalam studinya dalam bidang filsafat dan theologi. Pada tahun 1953 ia mempertahankan thesisnya yang berjudul “Evaluasi mengenai kemungkinan membentuk etika Katolik dalam sistem etika Max Scheler” di Universitas Katolik Lublin. Kemudian ia menjadi professor Theologi Moral dan Etika Sosial di Seminari Utama Cracow dan di Fakultas Theologi Lublin.

Pada tanggal 4 Juli 1958, Pastor Wojtyla diangkat sebagai Pembantu Uskup di Cracow oleh Paus Pius XII dan ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 28 September 1958 di Katedral Wawel, Cracow oleh Uskup Agung Baziak.

Pada tahun 1960, ia menerbitkan bukunya yang sangat terkenal, “Cinta dan Tanggung Jawab”. Paus Paulus VI sangat kagum atas cara Uskup Wojtyla mempertahankan ajaran-ajaran tradisional Gereja Katolik mengenai perkawinan.

Pada tanggal 13 Januari 1964 ia diangkat sebagai Uskup Agung Cracow oleh Paus Paulus VI. Bapa Suci banyak mengandalkan nasehat Uskup Agung Wojtyla dalam menuliskan Humanae Vitae. Tanggal 26 Juni 1967, Paus mengangkatnya menjadi Kardinal (Kardinal: jabatan kehormatan di atas Uskup, tugasnya memberi nasehat dan bekerja sama dengan pemimpin Gereja). Pada tahun 1976, Kardinal Wojtyla diundang oleh Paus Paulus VI untuk menyampaikan khotbah Masa Prapaskah kepada segenap anggota keluarga Kepausan.

Selain ambil bagian dalam Konsili Vatikan II dengan sumbangannya yang amat berharga dalam penyusunan konsep Konstitusi “Gaudium et Spes”, Kardinal Wojtyla juga ikut ambil bagian di seluruh pertemuan Sinode Uskup.

16 Oktober 1978, pukul 5:15 sore, Kardinal Karol Wojtyla terpilih sebagai Paus yang ke-264; penerus Tahta Petrus yang ke-263. Ia menjadi paus non-Italia pertama sejak Paus Adrianus VI. Untuk menghormati pendahulunya, Paus Yohanes Paulus I, Bapa Suci memilih nama Paus Yohanes Paulus II.

Sejak masa kepausannya, Sri Paus telah melakukan 104 kunjungan pastoral di luar Italia (mengunjungi 129 negara, termasuk ke Indonesia pada tahun 1989), dan 146 kunjungan pastoral dalam wilayah Italia. Sebagai Uskup Roma, beliau telah mengunjungi 317 dari 333 paroki.

Dokumen-dokumen utamanya meliputi 14 ensiklik, 15 nasehat apostolik, 11 konstitusi apostolik dan 45 surat apostolik. Paus juga menerbitkan lima buah buku: “Di Ambang Pintu Pengharapan” (Varcare la Soglia della Speranza, Oktober 1994), “Karunia dan Misteri: Pada Peringatan 50 tahun Imamat” (Dono e Mistero, November 1996), “Tritiko Romano - Sebuah Meditasi”, kumpulan puisi (Maret 2003), “Bangkit dan Berjalanlah!” (Alzatevi, andiamo!, Mei 2004), dan “Kenangan dan Identitas” (Memoria e Identità, musim semi 2005).

Sri Paus telah memimpin 147 upacara beatifikasi (1338 orang kudus dinyatakan sebagai yang berbahagia (beata / beato) dan 51 upacara kanonisasi (482 orang kudus dinyatakan sebagai santa / santo). Bapa Suci mengadakan 9 konsistori di mana ia mengangkat 231 (+ 1 in pectore) kardinal. Ia juga menyelenggarakan enam sidang pleno Dewan Kardinal.

Selama masa pontifikatnya, Paus Yohanes Paulus II memimpin 15 Sinode para Uskup: enam Sinode biasa (1980, 1983, 1987, 1990, 1994, 2001), satu Sinode luar biasa (1985) dan delapan Sinode khusus (1980, 1991, 1994, 1995, 1997, 1998 [2] dan 1999).

Tak ada Paus yang bertemu dengan begitu banyak orang seperti Paus Yohanes Paulus II: lebih dari 17.600.000 peziarah ambil bagian dalam Audiensi Umum yang diadakan setiap hari Rabu (lebih dari 1160 audiensi). Jumlah tersebut di luar audiensi-audiensi khusus dan upacara-upacara religius yang diselenggarakan (lebih dari 8 juta peziarah hanya pada Tahun Jubileum Agung 2000 saja) dan jutaan umat beriman sepanjang kunjungan-kunjungan pastoralnya baik di Italia maupun di seluruh dunia. Patut dicatat juga begitu banyak pertemuan dengan para pejabat negara dalam 38 kunjungan-kunjungan resmi, dan 738 audiensi serta pertemuan dengan pemimpin negara, dan bahkan 246 audiensi dan pertemuan dengan para perdana menteri.

Hingga akhir hidupnya pada tanggal 2 April 2005, beliau telah mengemban tugas mulia sebagai gembala tertinggi 1,1 miliar umat Katolik Roma sedunia selama 26 tahun 5 bulan; jabatan paus terpanjang ketiga setelah St. Petrus, Rasul (34 atau 37 tahun) dan Paus Pius IX (31 tahun 7 bulan).

TOTUS TUUS: CINTANYA KEPADA SANTA PERAWAN

Sebagai Vicaris Kristus, Bapa Suci Yohanes Paulus II mempersembahkan setiap tempat yang ia kunjungi kepada Santa Perawan Maria. Pada tanggal 13 Mei 1983, Bapa Suci pergi ke Fatima guna mempersembahkan seluruh dunia kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda. Di kemudian hari, beliau sekali lagi mempersembahkan seluruh dunia kepada Bunda Maria, dalam persatuan dengan segenap Uskup Gereja Katolik, demi memenuhi permintaan Bunda Maria di Fatima.

Pada musim panas 1995, Paus Yohanes Paulus II memulai suatu katekese yang panjang mengenai Santa Perawan Maria dalam Angelus mingguannya, yang berpuncak pada tanggal 25 Oktober 1995, dengan penjelasannya akan peran-serta aktif Bunda Maria dalam Kurban Kalvari. Peran-serta aktif Bunda Maria di Kalvari ini disebut sebagai co-redemption. Sebelumnya, pada tahun 1982 dan 1985, Paus Yohanes Paulus II telah mempergunakan istilah "co-redemptrix" (penebus serta) dalam menyebut Santa Perawan di hadapan umat beriman. Hal ini sungguh luar biasa, mengingat beliau adalah paus pertama yang melakukannya sejak Paus Benediktus XV yang baginya Bunda Maria datang ke Fatima guna menyingkapkan Hatinya Yang Tak Bernoda. Sejak masa Paus Benediktus XV, istilah ini masih dalam pembahasan oleh Tahta Suci. Penggunaan istilah ini oleh Paus Yohanes Paulus II merupakan suatu penegasan atas pandangan tradisional Gereja terhadap peran Maria dalam sejarah keselamatan.

PAUS KERAHIMAN

“Ketika aku berdoa untuk tanah airku, Polandia, aku mendengar Yesus bersabda: 'Dari Polandia akan muncul `anak api' yang akan mempersiapkan dunia untuk kedatangan-Ku yang terakhir.'” ~ St Faustina Kowalska, Buku Catatan Harian VI, 93 Dan sungguh terjadi; dialah Karol Wojtyla, yang menjadi Paus Yohanes Paulus II

Pada tanggal 6 Maret 1959 Paus Yohanes XXIII memaklumkan dilarangnya penyebarluasan Devosi Kerahiman Ilahi dalam bentuk seperti yang diajarkan dalam tulisan-tulisan Sr Faustina. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Oktober 1965, Kardinal Karol Wojtyla selaku Uskup Agung Krakow, dalam upayanya mendukung Devosi Kerahiman Ilahi, membuka Proses Informatif, yaitu proses di mana dilakukan penelitian resmi atas hidup, keutamaan-keutamaan, tulisan maupun devosi yang diajarkan Sr Faustina Kowalska. Proses Informatif berhasil dengan gemilang hingga menghantar dibukanya Proses Beatifikasi Sr Faustina pada tanggal 31 Januari 1968.

Berkat perjuangan gigih Kardinal Karol Wojtyla, akhirnya pada tanggal 15 April 1978, Paus Paulus VI memaklumkan diterbitkannya “Notifikasi” yang menyatakan bahwa larangan yang dibuat pada tahun 1959 “tidak berlaku lagi”. Terima kasih Kardinal Karol Wojtyla! Enam bulan berselang, 16 Oktober 1978, kardinal dari Polandia ini diangkat sebagai Paus yang ke-264 dengan nama Yohanes Paulus II.

Sebagai Imam Agung di Roma, bukan saja Paus Yohanes Paulus II menggiatkan disebarluaskannya Devosi Kerahiman Ilahi, lebih lagi, dipengaruhi oleh Buku Catatan Harian St Faustina Kowalska, beliau menerbitkan ensiklik yang sangat indah, Dives In Misericordia (Kaya dalam Kerahiman), yang sepenuhnya bertutur mengenai Kerahiman Ilahi. Dalam ensiklik tertanggal 30 November 1980 ini, Sri Paus berbicara mengenai Kristus sebagai “inkarnasi kerahiman … sumber belas kasih yang tak habis-habisnya.” Lebih jauh ia menekankan bahwa “Program mesianik Kristus, program belas kasih” haruslah menjadi “program umat-Nya, program Gereja.” Sepanjang ensiklik, Bapa Suci menegaskan bahwa Gereja - teristimewa dalam masa modern sekarang ini - mengemban “tugas dan kewajiban” untuk “memaklumkan dan mewartakan belas kasih Allah,” untuk “memperkenalkan dan mewujud-nyatakannya” dalam hidup segenap umat manusia, serta untuk “datang kepada belas kasih Allah,” memohonkannya dengan sangat bagi seluruh dunia.

Pada tanggal 22 November 1981, setahun setelah diterbitkannya Dives in Misericordia, Paus mengunjungi tempat ziarah Cinta yang Berbelas Kasih di Collevalenza, Italia, dalam perjalanan ziarah pertama di luar Roma setelah percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Di sana Sri Paus menegaskan, “Sejak awal mula pelayanan saya di Tahta St Petrus di Roma, saya menganggap pesan ini [Kerahiman Ilahi] sebagai tugas istimewa saya. Penyelenggaraan ilahi telah mempercayakannya kepada saya dalam situasi manusia, Gereja dan dunia sekarang ini.”

Dalam audiensi umum pada tanggal 10 April 1991, Bapa Suci mengatakan “Pesan ensiklik mengenai Kerahiman Ilahi `Dives In Misericordia' secara istimewa dekat pada kita. Mengingatkan kita akan sosok Abdi Allah, Sr Faustina Kowalska. Biarawati yang bersahaja ini secara istimewa mendekatkan pesan Paskah dari Kristus yang Maharahim kepada Polandia dan kepada seluruh dunia.”

Pada tahun 1993, pada hari Minggu Kerahiman Ilahi yang jatuh pada tanggal 18 April, Paus Yohanes Paulus II memaklumkan Sr Faustina Kowalska, biarawati sederhana dari Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih, sebagai beata. Tujuh tahun kemudian, juga pada hari Minggu Kerahiman Ilahi, pada tanggal 30 April 2000, Bapa Suci mengangkat Beata Faustina, yang disebutnya sebagai “Rasul Besar Kerahiman Ilahi di jaman kita”, ke dalam himpunan para kudus Gereja. Semuanya itu, baik beatifikasi maupun kanonisasi St Faustina Kowalska, dilakukan sri paus di Roma, bukan di Polandia, guna menggarisbawahi bahwa Kerahiman Ilahi diperuntukkan bagi seluruh dunia.

Dalam kanonisasi St Faustina, Paus secara resmi pula memaklumkan bahwa hari Minggu pertama sesudah Paskah wajib dirayakan Gereja semesta sebagai Minggu Kerahiman Ilahi. Pentingnya hari Minggu Kerahiman Ilahi ini ditandai juga dengan dikeluarkannya dekrit pada tanggal 13 Juni 2002 mengenai indulgensi yang diberikan Gereja, baik indulgensi penuh maupun sebagian, kepada mereka yang mempraktekkan Devosi Kerahiman Ilahi dengan syarat-syarat seperti yang ditetapkan.

Lebih jauh, pada tanggal 17 August 2002, Sri Paus bahkan mempersembahkan seluruh dunia kepada Kerahiman Ilahi saat beliau memberkati tempat ziarah internasional Kerahiman Ilahi di Lagiewniki, Polandia:

“`Bapa yang kekal, kupersembahkan kepada-Mu Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an PutraMu yang terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, sebagai pemulihan dosa-dosa kami dan dosa seluruh dunia; demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu kepada kami dan seluruh dunia' (Buku Catatan Harian, 476). Kepada kami dan seluruh dunia…. Betapa dunia sekarang ini membutuhkan Kerahiman Ilahi! Di setiap benua, dari penderitaan manusia yang terdalam, terdengar seruan mohon belas kasih Allah. Di mana kebencian dan hasrat dendam berkuasa, di mana perang mengakibatkan sengsara dan kematian orang-orang tak berdosa, di sana rahmat belas kasih dibutuhkan demi menenangkan hati dan pikiran manusia serta mendatangkan damai. Di mana tidak ada lagi rasa hormat terhadap harkat dan martabat manusia, di sana cinta Allah yang berbelas kasih dibutuhkan; dalam terang-Nya kita melihat nilai tak terkatakan dari setiap pribadi manusia. Belas kasih dibutuhkan guna menjamin bahwa setiap ketidakadilan di dunia akan berakhir dalam terang kebenaran.

Oleh karenanya, pada hari ini, dari tempat ziarah ini, dengan khidmad saya mempersembahkan dunia kepada Kerahiman Ilahi. Saya melakukannya dengan keinginan yang berkobar agar pesan cinta Allah yang berbelas kasih, yang diwartakan di sini melalui Santa Faustina, dikenal oleh segenap umat manusia di dunia dan memenuhi hati mereka dengan pengharapan. Kiranya pesan ini memancar dari tempat ini ke tanah air kita yang tercinta dan ke segenap penjuru dunia. Kiranya janji Tuhan Yesus digenapi: dari sini haruslah memancar `anak api yang akan mempersiapkan dunia bagi kedatangan-Nya yang terakhir' (bdk Buku Catatan Harian, 1732).

Anak api ini perlu dinyalakan oleh rahmat Tuhan. Api belas kasih ini perlu disampaikan ke seluruh dunia. Dalam belas kasih Allah dunia akan menemukan damai dan umat manusia akan menemukan kebahagiaan! Saya mempercayakan tugas ini kepada kalian, Saudara dan Saudari terkasih, kepada Gereja di Krakow dan di Polandia, dan kepada segenap pencinta Kerahiman Ilahi yang datang ke tempat ini dari Polandia dan dari seluruh dunia. Kiranya kalian menjadi saksi-saksi belas kasih Allah!”

Sepanjang 26 tahun masa pontifikat beliau, tak kunjung henti Bapa Suci Yohanes Paulus II menerangkan Kerahiman Ilahi kepada umat beriman, pula menyerukan pentingnya serta mendesaknya pesan Kerahiman Ilahi bagi segenap umat manusia, sebab itulah ia kemudian dikenal sebagai “Paus Kerahiman”.

“`Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu…. Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada' (Yoh 20:21-23).

Sebelum menyampaikan kata-kata ini, Yesus memperlihatkan kedua tangan dan lambung-Nya. Ia menunjuk pada luka-luka Sengsara, teristimewa luka yang menembusi Hati-Nya, sumber darimana memancar aliran deras belas kasih yang dicurahkan atas umat manusia. Dari Hati itu, Sr Faustina Kowalska, beata yang sejak saat ini akan kita sebut sebagai santa, melihat dua berkas sinar yang memancar dari Hati-Nya dan menyinari dunia: `Kedua sinar itu,' jelas Yesus Sendiri kepadanya suatu hari, `melambangkan darah dan air' (Buku Catatan Harian, Libreria Editrice Vaticana, h. 132).

* Darah dan Air! Pikiran kita segera melayang pada kesaksian yang diberikan Yohanes Pengarang Injil, yang, ketika seorang prajurit di Kalvari menikam lambung Kristus dengan tombak, melihat darah dan air memancar darinya (bdk 19:34). Di samping itu, jika Darah mengingatkan kita akan Kurban Salib dan anugerah Ekaristi, maka Air, dalam simbolisme Yohanes, melambangkan bukan saja Pembaptisan, melainkan juga karunia Roh Kudus (bdk Yoh 3:5; 4:14; 7:37-39).
* Kerahiman Ilahi tercurah atas umat manusia melalui hati Kristus yang tersalib: “Puteri-Ku, katakanlah bahwa Aku adalah inkarnasi cinta dan belas kasih,” demikian pinta Yesus kepada Sr Faustina (Buku Catatan Harian, h. 374).” ~ Paus Yohanes Paulus II, 30 April 2000
* “Tak ada yang lebih dibutuhkan manusia selain daripada Kerahiman Ilahi - cinta yang berlimpah belas kasih, yang penuh kasih sayang, yang mengangkat manusia di atas segala kelemahannya ke ketinggian yang tak terhingga dari kekudusan Allah.” ~ Paus Yohanes Paulus II, 7 Juni 1997
* “Di mana, jika tidak dalam Kerahiman Ilahi, dunia dapat menemukan tempat pengungsian dan terang pengharapan? Umat beriman, pahamilah kata-kata itu dengan baik.” ~ Paus Yohanes Paulus II, 21 April 1993
* “Jadilah rasul-rasul Kerahiman Ilahi di bawah bimbingan keibuan penuh kasih sayang dari Santa Perawan Maria” ~ Paus Yohanes Paulus II, 22 Juni 1993

Melihat begitu kuat keterikatannya pada Kerahiman Ilahi, adakah kita heran bahwa menjelang akhir hayatnya, kala tubuhnya mulai rapuh dan gemetar dimakan usia serta didera penyakit, kala banyak pihak menuntut pengunduran diri beliau, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kembali penyerahan dirinya, “Totus Tuus,” katanya, “Apakah Yesus pada saat-saat akhir penderitaan-Nya turun dari salib?” (bdk Buku Catatan Harian, 1484). Apakah kebetulan belaka bahwa Bapa Suci wafat pada malam vigili Minggu Kerahiman Ilahi, yang pada tahun ini jatuh pada tanggal 3 April 2005? Apakah kita juga merasa aneh jika Paus Kerahiman yang Agung ini meninggalkan bagi kita pesannya untuk Minggu Kerahiman, yang kemudian dibacakan pada pesta hari itu oleh seorang pejabat Vatican kepada umat beriman yang berkumpul di St Petrus sesudah Perayaan Misa Kudus yang dipersembahkan bagi kedamaian kekal jiwanya?

“Pesan Kerahiman Ilahi senantiasa dekat dan lekat di hati saya. Seolah sejarah telah mengukirkannya dalam pengalaman tragis Perang Dunia II. Dalam tahun-tahun sulit itu, belas kasih Allah sungguh merupakan suatu penopang dan sumber pengharapan yang tak habis-habisnya, bukan hanya bagi rakyat Krakow, melainkan bagi seluruh bangsa. Itulah juga pengalaman pribadi saya yang saya bawa ke Tahta St Petrus dan yang dalam tingkat tertentu membentuk gambaran akan Pontifikat ini. Saya mengucap syukur kepada Penyelenggaraan Ilahi bahwa saya dapat ikut ambil bagian secara pribadi dalam digenapinya kehendak Kristus, melalui penetapan Minggu Kerahiman Ilahi. Di sini, dekat jasad St Faustina Kowalska, saya juga mengucap syukur dapat memaklumkan beatifikasinya. Tak henti-hentinya saya berdoa kepada Tuhan: `kasihanilah kami dan seluruh dunia'” (Paus Yohanes Paulus II, 7 Juni 1997, saat berziarah ke makam St Faustina Kowalska)

Dikutip dari : http://programkatekese.blogspot.com/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP