Butir-butir Penting Pembaruan Liturgi
Sambutan Kardinal Arinze
pada Pertemuan Nasional Federasi Komisi Liturgi Keuskupan
se-Amerika Serikat, Chicago, 7-11 Oktober 2003
1. 40 Tahun Penuh Rahmat Lewat Liturgi
Perayaan misteri penebusan kita, khususnya Misteri Paskah sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan dan Juruselamat kita Yesus Kristus dalam liturgi kudus, merupakan pusat kehidupan Gereja. Partisipasi dalam perayaan liturgi dilihat Vatikan II sebagai “sumber utama dan tak tergantikan darimana kaum beriman menimba semangat kristen sejati.”
Oleh karena itu, sangatlah tepat bahwa dokumen pertama dari 16 dokumen yang harus dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II adalah tentang liturgi kudus. Begitu Konstitusi Liturgi dimaklumkan pada tanggal 4 Desember 1963, “buah pertama Konsili” dipersembahkan kepada seluruh Gereja.
Lewat ajaran yang kaya dan arah-arahan yang bijaksana, yang dipersembahkan oleh Konstitusi ini, jalan menuju pembaruan liturgi dibuka bagi Gereja “selaras dengan asas-asas kesetiaan kepada tradisi dan keterbukaan kepada perkembangan yang sah.”
Peran penting Konstitusi Liturgi menjadi jelas kalau kita melihat kaitan erat dan organik antara pembaruan liturgi yang sehat dan pembaruan seluruh kehidupan Gereja. Karena “liturgi merupakan puncak yang dituju oleh seluruh kegiatan Gereja dan, sekaligus, sumber darimana mengalirlah seluruh kekuatannya.” “Dalam liturgi, Gereja tidak hanya bertindak tetapi juga menyatakan diri, dan dari liturgi ia menimba kekuatan untuk hidupnya.” Teristimewa, “Gereja menimba kehidupnya dari Ekaristi,” sumber dan puncak seluruh kehidupan kristen.”
Oleh karena itu, baik dan tepat kita memanfaatkan kesempatan ulangtahun ke-40 Konstitusi Liturgi ini untuk menoleh ke belakang, mengadakan refleksi, memandang ke depan, dan merenungkan sejumlah pertanyaan. Saya sangat berterima kasih kepada Komisi Liturgi Konferensi Uskup Amerika Serikat dan Federasi Komisi Liturgi Keuskupan se-Amerika Serikat karena Anda telah mengundang saya menghadiri pertemuan ini dan meminta saya membagikan kepada Saudara beberapa renungan tentang Konstitusi Liturgi kemarin, hari ini, dan esok. Marilah kita mulai dengan menyebut sejumlah hasil positif yang dicapai Gereja sejak Konstitusi Liturgi. Kemudian kita akan menyimak tantangan-tantangan yang terkait dengan hasil-hasil itu: Alkitab dan liturgi, terjemahan, penyesuaian dan inkulturasi, partisipasi aktif, peran kaum awam, revitalisasi kehidupan Gereja lewat liturgi, dan menatap ke masa depan.
2. Hasil-hasil Positif Sejak Sacrosanctum Concilium
Dalam kehidupan liturgis Gereja, sejumlah perkembangan yang amat baik telah terjadi sejak Sacrosanctum Concilium dimaklumkan. Mari kita mulai dengan mendaftar beberapa di antaranya. Dengan cara ini, kita bersyukur kepada Allah yang membimbing Gereja-Nya melintasi segala abad. Kita juga berterima kasih kepada semua yang memberikan andil dalam pemajuan liturgi, mulai dari mereka yang menggarap teks-teks liturgi, sampai ke para uskup, imam, dan anggota komisi liturgi seperti Saudara sekalian.
Untuk mengenang 25 tahun Sacrosanctum Concilium, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Surat Apostolik Vicesimus quintus annus, 4 Desember 1988. Dalam surat ini, Paus mencatat lima hasil positif Konstitusi Liturgi.
Pertama, tempat Alkitab dalam liturgi. Sacrosanctum Concilium mendesak agar dalam liturgi Sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat Allah. Kalau kita menengok ke belakang, 40 tahun yang lalu, kita melihat bagaimana ritus liturgi baru telah sangat diperkaya dengan teks-teks Alkitab. Dalam misa, leksionarium ditata sedemikian rupa sehingga menghidangkan hampir seluruh Alkitab dalam siklus bacaan tiga tahun untuk hari Minggu, dan dua tahun untuk hari biasa. Mazmur Tanggapan membantu menerangi bacaan- bacaan. Perayaan sakramen dan sakramentali dibuat lebih serasi dengan menyajikan banyak teks Alkitab. Demikian pula Ibadat Waktu ( = Ibadat Harian). Dengan cara ini sebagian besar isi Kitab Suci dibuka, sebagaimana mestinya, tidak hanya kepada masing-masing orang beriman, tetapi juga kepada setiap kelompok jemaat. Dengan demikian, kaum beriman menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci, dan setiap kelompok jemaat memiliki kesempatan, dalam kerangka khusus perayaan liturgis, untuk makin menyelami misteri agung kasih Allah yang mengubah hidup manusia sebagaimana dimaklumkan oleh Kitab Suci; dan ini terjadi pada semua tahap kehidupan manusia. Di setiap negara, telah dilaksanakan usaha yang luar biasa untuk menyediakan terjemahan-terjemahan Alkitab bagi umat Kristen.
Kedua, perkembangan yang membahagiakan adalah usaha terus-menerus untuk menerjemahkan aneka teks liturgis ke dalam bahasa umat dan juga untuk menyesuaikan perayaan liturgis dengan kebudayaan setiap bangsa, meskipun penuh tantangan.
Alasaan syukur yang ketiga adalah “meningkatnya partisipasi umat dalam doa, nyanyian, tata-gerak dan keheningan dalam Perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen lain.” Hal ini mudah kita lihat kalau kita membandingkan cara umat paroki ambil bagian dalam Misa hari Minggu saat ini dan lima puluh tahun yang lalu.
Kita juga bangga karena “pelayanan-pelayanan yang dilaksanakan oleh kaum awam dan tanggung-jawab yang mereka tunjukkan atas dasar imamat umum yang mereka terima lewat pembaptisan dan krisma.” Amat banyak perkembangan yang membahagiakan telah terjadi dalam bidang ini.
Akhirnya, sebagai rangkuman atas keempat bidang di atas, kita harus bersyukur kepada Allah “atas gairah luar biasa di kalangan begitu banyak komunitas kristen, suatu gairah yang ditimba dari mata air liturgi.”
3. Alkitab dan Liturgi
“Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus,” kata St. Hieronimus kepada kita. Tidak mengenal Alkitab merupakan kendala besar untuk memahami liturgi dan untuk memperoleh buah-buah yang diharapkan dari partisipasi dalam perayaan liturgi. Bagian terbesar liturgi diambil dari Kitab Suci, bukan hanya bacaan, tetapi juga ilham untuk doa-doa, simbol, dan gambaran-gambaran yang sering muncul dalam ibadat umum Gereja. Tanpa pemahaman biblis mengenai keluaran, perjanjian, bangsa terpilih, Ishak, domba paskah, paskah, manna, tanah terjanji, bagaimana liturgi dapat dipahami? Mazmur khususnya merupakan sumber yang tak tergantikan untuk bahasa, tanda-tanda, dan doa-doa liturgis.
“Gereja hidup dari Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kalau Gereja memaklumkan Sabda di dalam liturgi, ia menyambutnya sebagai sarana kehadiran Kristus.” “Kristus sendirilah yang berbicara kalau Kitab Suci dibacakan dalam gereja.”
Setiap orang dalam Gereja (klerus, biarawan-biarawati, dan kaum awam lainnya) harus semakin akrab dengan Alkitab. Dambaan yang makin besar dari banyak kaum awam untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan lebih mendalam di bidang Alkitab hendaknya ditanggapi dengan program-program yang memadai. Langkah pertama dan mutlak adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa umat. Umat juga memerlukan bimbingan pribadi dan kelompok bagaimana membaca dan memahami Alkitab, serta bagaimana memanfaatkan Alkitab untuk berdoa. Ini merupakan langkah esensial dari pendekatan Katolik terhadap Alkitab. Lewat cara ini akan dipahami dengan jelas bahwa Gerejalah yang menghidangkan Alkitab kepada kaum beriman, sambil menjelaskannya dalam terang Tradisi dan pemahaman para rasul Tuhan. Para pakar liturgi dan para gembala umat hendaknya membantu umat memahami bagaimana ayat-ayat Alkitab yang telah dipilih itu sungguh serasi untuk
perayaan-perayaan liturgis yang bersangkutan. Homili pun hendaknya sungguh didasarkan pada Alkitab.
4. Terjemahan, Penyesuaian, dan Inkulturasi
Konsili Vatikan II memasukkan bahasa setempat ke dalam liturgi dan mengizinkan penyesuaian serta inkulturasi yang dipertimbangkan secara matang ke dalam ritus-ritus liturgis. Ini memberikan tantangan yang berat dan menuntut pertimbangan yang cermat.
Sementara tetap mempertahankan bahasa Latin sebagai bahasa resmi ritus Latin, Konsili menghargai manfaat penggunaan bahasa ibu di kalangan berbagai suku di dunia ini.
Sejak Konsili Vatikan II, penggunaan bahasa ibu semakin meluas dan umum, sehingga banyak imam sekarang mengalami kesulitan merayakan misa dalam bahasa Latin. Tetapi, Vatikan II tidak menghapus bahasa Latin. Kiranya baik kalau suatu paroki kadang- kadang melagukan dalam bahasa Latin bagian-bagian Misa yang cukup mengumat. Hal ini dapat dilihat sebagai sarana untuk melestarikan dan menjunjung tinggi warisan kita, menunjukkan Gereja sebagai komunitas yang memiliki suatu kenangan, dan memudahkan perayaan-perayaan Ekaristi antar-bangsa.
Terjemahan-terjemahan teks liturgi ke dalam bahasa ibu menghadapi tantangan berat untuk menghasilkan terjemahan yang setia pada naskah asli Latin, yang merupakan hasil sastra yang unggul, yang dengan mudah dapat dilagukan, yang tahan zaman, dan mampu memupuk kesalehan serta kebutuhan rohani umat. Hendaknya dihindari bahaya dan penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari terjemahan sementara, karya tergesa-gesa, dan terjemahan tidak sah yang tidak mendapat aprobasi dari Konferensi Uskup dan pengesahan dari Takhta Suci.
Memasuki bidang penyesuaian dan inkulturasi ritus-ritus liturgi, kita dihadapkan pada tantangan-tantangan yang lebih besar lagi.
Sacrosanctum Concilium menyajikan asas dan arahan-arahan yang sangat jelas. “Dalam liturgi pun,” katanya, “Gereja tidak ingin memaksakan keseragaman kaku dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan seluruh umat. Sebaliknya, ia menghormati dan memajukan kekayaan rohani serta kekhasan berbagai suku dan bangsa. Apa saja dari cara hidup mereka yang tidak terikat mati pada takhyul dan ajaran sesat dikaji dengan penuh simpati dan, kalau mungkin, dilestarikan secara utuh. Kadang-kadang Gereja memasukkannya ke dalam liturgi sendiri, asal serasi dengan semangat liturgi yang benar dan otentik.”
Dalam mengamalkan pedoman-pedoman ini, Gereja akan membutuhkan beberapa generasi, khususnya di negara-negara yang belum lama mengalami penginjilan. Untuk membantu pelaksanaan tugas ini, Takhta Suci mengeluarkan pedoman-pedoman rinci yang menjabarkan maksud Konsili dan menggariskan langkah-Iangkah rinci untuk diikuti. Asal saja kesatuan hakiki ritus Roma dihormati, buku- buku liturgi mengizinkan penyesuaian sah dengan aneka daerah dan bangsa. Konferensi Uskup Nasional atau lembaga yang setaralah yang harus menelaah masalah ini, mengambil keputusan, dan menyampaikannya ke Roma untuk mendapatkan recognitio yang diperlukan.
Kalau inkulturasi yang lebih mendalam dianggap perlu, maka tuntutan-tuntutan pun menjadi lebih banyak: telaah lintas ilmu yang melibatkan teolog, pakar liturgi, sastra, antropologi, dan musik, diskusi serta voting oleh para uskup, dan pengesahan oleh Takhta Roma.
Baik dalam penyesuaian maupun dalam inkulturasi, harus diperhatikan dengan sungguh saksama misteri-misteri Kristus yang dirayakan dalam liturgi. Dalam tulisannya mengenai Ekaristi Kudus, Paus Yohanes Paulus II menulis, “Khazanah ini begitu penting dan berharga, sehingga kita harus waspada terhadap bahaya pemiskinan atau kompromi lewat bentuk-bentuk eksperimen dan praktik-praktik tanpa pengawasan saksama dari pimpinan gerejawi yang berwenang, [...] sebab Liturgi Kudus mengungkapkan dan merayakan iman seluruh umat, dan, karena merupakan warisan dari seluruh Gereja, liturgi tidak dapat ditentukan oleh Gereja-gereja lokal lepas dari Gereja universal.”
Oleh karena itu, masuk akal dan memang sangat penting bahwa harus ada peraturan dan kaidah-kaidah liturgis. Dalam kaitan dengan Ekaristi Kudus, misalnya, Paus Yohanes Paulus II berkata bahwa “kaidah-kaidah ini merupakan ungkapan konkret dari hakikat-eklesial Ekaristi; inilah makna terdalam dari kaidah-kaidah itu. Liturgi tak pernah merupakan urusan pribadi dari siapapun, entah pemimpin entah jemaat.” Karena itu, Sacrosanctum Concilium sudah menyatakan bahwa wewenang untuk mengatur liturgi kudus hanya ada pada pimpinan Gereja yang berwenang, yakni Takhta Apostolik dan, sebagaimana ditentukan oleh hukum, para uskup serta Konferensi Uskup. “Oleh karena.jtu, tidak seorang pun, bahkan juga imam, boleh menambah, menghapus, atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri.”
Adalah berbahaya kalau sejumlah orang berpikir bahwa inkulturasi liturgi mendorong kreativitas yang serba bebas dan tak terkendali. Mereka membayangkan bahwa menurut Vatikan II tindakan progresif, modern, dan cemerlang yang harus dilakukan dalam perayaan liturgi adalah menjadi kreatif, original, serba baru, berani bertindak sendiri. Paus Yohanes Paulus II menulis, “Harus diratapi bahwa, khususnya pada tahun-tahun yang menyusul pembaruan liturgi pasca konsili, sebagai akibat dari cita kreativitas dan penyesuaian yang salah arah, telah terjadi sejumlah penyimpangan yang menyebabkan derita bagi banyak orang.”
Inkulturasi sejati tidak ada hubungannya dengan hasil imaginasi kelewat-subur dari imam yang terlalu bersemangat, yang mereka-reka sesuatu pada Sabtu malam lalu mengusik jemaat tak berdosa yang berhimpun pada Minggu pagi, yang dia jadikan kelinci percobaan. Inkulturasi sejati dan lestari menuntut studi yang panjang, diskusi di kalangan pakar lintas ilmu, telaah dan keputusan para uskup, recognitio dari Takhta Apostolik dan penyajian yang bijaksana kepada umat Allah. Lebih dari itu, hendaknya dicatat bahwa dalam hal-hal religius, kepekaan dan kesalehan umat mudah sekali terluka oleh perubahan yang kurang dipertimbangkan dan tergesa-gesa. Dalam praktik keagamaan, kebanyakan umat adalah konservatif dalam arti yang baik - dan hal ini dapat dipahami - dan tidak rela menerima perubahan-perubahan yang sering terjadi.
Bahkan kalau pun kita berprasangka baik kepada para pembaru yang tergesa-gesa, bahwa ia memiliki motivasi tulus untuk membuat umat betah dalam liturgi, tetaplah benar bahwa hasilnya pada umumnya mendatangkan bencana. Perubahan yang tidak disahkan akan mengacau dan mengganggu umat. Perubahan-perubahan itu seringkali menarik perhatian umat bukan kepada Allah, tetapi kepada diri si imam. Perubahan seperti itu umumnya tidak tahan lama, seringkali terkesan dibuat-buat, dan menimbulkan batu sandungan karena bertentangan dengan kaidah dan peraturan-peraturan Gereja. Banyak umat, kalau ditanya apa yang mereka kehendaki, mereka akan minta agar para imam merayakan Misa, atau ritus lain, menurut buku-buku yang telah disahkan. Banyak kaum beriman awam mengeluh bahwa jarang mereka menemukan dua imam merayakan kurban Ekaristi secara sama. Liturgi Romawi bukanlah ajang eksperimen bebas bagi siapa saja, dimana setiap pemimpin merasa punya hak untuk menambahkan hal-hal yang ia gemari. Tindakan yang tetap dan diulang-ulang merupakan bagian dari setiap ritus. Umat tidak akan bosan olehnya, asal saja pemimpin melakukannya dengan penuh iman dan kesalehan, dan memiliki ars celebrandi (seni merayakan) yang jitu.
Paus Yohanes Paulus II meratap bahwa “sejumlah orang, bertolak dari kaidah-kaidah yang dikeluarkan oleh wewenang Takhta Apostolik atau oleh para uskup, telah mengembangkan perubahan yang aneh-aneh, dan dengan demikian memporak-porandakan kesatuan Gereja serta kesalehan kaum beriman, bahkan kadang-kadang menimbulkan pertikaian dalam masalah-masalah iman.” “Tidak boleh dibiarkan,” lanjutnya, “bahwa imam-imam tertentu merasa diri punya hak untuk menggubah Doa Syukur Agung atau mengganti teks-teks dari Kitab Suci dengan bacaan-bacaan profan. Prakarsa seperti ini sungguh menyimpang dari pembaruan liturgi sendiri atau dari buku-buku yang telah diterbitkan sebagai hasil pembaruan, bertentangan 180 derajat dengan pembaruan liturgi, mengaburkan liturgi, dan melucuti umat Kristen dari khazanah asli liturgi Gereja.”
Oleh karena itu, jelas bahwa inkulturasi tidak mendorong perusakan atau penghancuran liturgi kudus. Spontanitas liar dapat menyusup dalam banyak cara.
Pada awal misa ada imam yang merusak suasana liturgi dengan mengalihkan perhatian umat pada cuaca dengan berkata, “Selamat pagi, Saudara-saudara” sebagai ganti “Tuhan sertamu” atau “Rahmat Tuhan...”, yang merupakan salam pembuka liturgis yang tepat. Dapat juga ia ... dengan menuturkan otobiografi yang berkepanjangan dan melontarkan lelucon-lelucon dalam upaya salah arah untuk mengantar umat kepada ibadat! Ia tidak sadar bahwa dengan itu ia menarik perhatian umat kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah dan perayaan liturgi hari yang bersangkutan.
Distraksi lain, bahkan desakralisasi, dapat menyusup lewat tarian yang bertentangan dengan cita rasa liturgi dan tidak membantu umat mengangkat hati kepada Allah; juga lewat komentar-komentar yang berkepanjangan dan tidak perlu, nyanyian berlebihan yang dimonopoli oleh koor, yang tidak memberi kesempatan untuk doa pribadi, serta busana dan perlengkapan yang tidak cocok untuk liturgi.
Kami mengulas inkulturasi agak panjang lebar karena dari pengalaman banyak orang inkulturasi sering disalah-artikan dan ditolak. Tetapi inkulturasi sejati benar-benar dikehendaki oleh Bunda Gereja. Kita ditantang untuk mengembangkannya, dan tidak membiarkan ilalang tumbuh di tengah gandum.
5. Partisipasi Aktif
Para Bapa Konsili Vatikan II menekankan pentingnya partisipasi aktif seluruh kaum beriman dalam perayaan-perayaan liturgi. Dengan tulus, Bunda Gereja mendambakan agar semua umat beriman dibimbing ke arah partisipasi sadar, aktif, dan penuh dalam perayaan-perayaan liturgi; hal ini dituntut oleh hakikat liturgi sendiri. Partisipasi umat Kristen seperti itu, sebagai “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri,” ( 1 Ptr 2:9; bdk. 2:4) merupakan hak dan kewajiban mereka atas dasar pembaptisan.”
Hal ini hanya mungkin terjadi kalau para imam sendiri memperoleh pendidikan yang tepat dalam liturgi. Demikian pula hendaknya para pelayan liturgi, katekis, dan petugas pastoral lain. Tidak seorang pun dapat memberikan apa yang tidak ia miliki.
Penting disadari bahwa partisipasi batiniah adalah mutlak sebagai landasan, prasyarat, dan tujuan untuk partisipasi lahiriah. Oleh karena itu, doa pribadi, renungan Kitab Suci, dan saat-saat hening sangatlah penting. “Liturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebelum datang ke liturgi, umat harus dipanggil kepada iman dan pertobatan.” Sangat dianjurkan memajukan saat-saat hening untuk renungan dan doa pribadi dalam Perayaan Ekaristi, misalnya sesudah bacaan, sesudah homili, dan sesudah komuni. Koor hendaknya tidak menuruti godaan untuk mengisi setiap saat teduh dengan nyanyian.
Sikap hormat dan devosi sangat kondusif untuk membatinkan partisipasi aktif. Yang paling besar pengaruhnya terhadap umat dalam hal ini adalah imam yang memimpin perayaan. Tetapi putra altar, lektor, koor, dan pelayan komuni tak lazim kalau sungguh diperlukan, juga membawa pengaruh kepada umat lewat setiap gerak-gerik mereka. Sikap hormat adalah ungkapan lahiriah dari iman. Sikap hormat harus menunjukkan sujud kepada Allah yang mahatinggi dan mahakudus. Dan iman akan kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Ekaristi hendaknya terungkap dalam cara para pelayan melayani Sakramen Mahakudus, dalam cara mereka berlutut, dan dalam cara mereka mendaras doa-doa yang ditentukan.
Musik liturgi bisa mengembangkan ibadat. Musik Gregorian memiliki tempat terhormat dalam sejarah ritus Latin. Perlu dicatat bahwa bahkan kaum muda dewasa ini pun menghargai musik ini. Sebagian besar nyanyian liturgi akan dibawakan dalam bahasa ibu, dan ini bisa dipahami. Komisi Musik Keuskupan atau Komisi Liturgi Nasional hendaknya memeriksa apakah teks-teks semacam itu cocok dari segi teologi dan musik sebelum disahkan untuk digunakan dalam Gereja.
Misale Romawi dengan bijaksana menegaskan pentingnya tata gerak yang seragam untuk jemaat yang beribadat. Misalnya, kadang-kadang jemaat harus berdiri, berlutut atau duduk. Konferensi Uskup dapat dan memang sudah mengadakan penjabaran- penjabaran. Hendaknya diperhatikan jangan sampai mengatur jemaat seolah-olah mereka adalah suatu pasukan. Hendaknya tetap dimungkinkan adanya keleluasaan, lebih-lebih karena hal ini mudah melukai sikap hormat umat terhadap Ekaristi, misalnya dalam kaitan dengan berlutut atau berdiri.
Tata bangun gereja juga mempengaruhi partisipasi aktif umat. Kalau suatu gereja baru dibangun, dan tempat duduk ditata seperti dalam gedung kesenian atau ruang perjamuan, suasana yang ditonjolkan barangkali hanya perhatian horisontal umat yang satu terhadap yang lain, bukan perhatian vertikal umat kepada Allah. Dalam hal ini Perayaan Ekaristi menghadap umat menuntut dari imam dan pelayan altar tingkat disiplin yang tinggi, sehingga mulai dari persiapan persembahan dapat dilihat dengan jelas bahwa baik imam maupun umat sama-sama mengarahkan perhatian kepada Allah, bukan kepada satu sama lain. Kita datang ke Misa pertama-tama untuk menyembah Allah, bukan untuk meneguhkan satu sama lain, meski segi ini pun tidak diabaikan.
Sebagian orang berpikir bahwa pembaruan liturgi berarti membuang tempat berlutut dari bangku-bangku gereja, membongkar hiasan altar atau menempatkan altar di tengah-tengah ruang duduk umat. Tidak pernah Gereja mengatakan hal seperti itu. Juga tidak pernah mengatakan bahwa pemugaran liturgi berarti ikonoklasme atau membuang semua patung dan gambar kudus. Semua ini hendaknya tetap dipajang, tentu saja dengan pertimbangan yang matang. Altar Sakramen Mahakudus hendaknya sungguh indah dan terhormat; kalau tidak, di beberapa gereja yang katanya dipugar, dengan tepat umat mengeluh, “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana la diletakkan” (Yoh 20: 13).
Liturgi hendaknya dirayakan sedemikian rupa sehingga setiap orang dapat berpartisipasi secara tepat. Kalau demikian, maka umat diberi kesempatan nomor satu untuk menimba dari sumber Kristen utama kekuatan untuk pertumbuhan rohani mereka.
6. Peran Liturgis Kaum Awam
Untuk perayaan liturgi kudus yang tepat dan partisipasi penuh buah oleh seluruh umat beriman, penting dipahami peran-peran khas imam atau pelayan tertahbis dan peran-peran khas kaum beriman awam.
Kristus adalah Imam Agung. Ia telah memberikan kepada semua orang yang sudah dibaptis bagian dalam peran-Nya mengantar persembahan kepada Allah. Imamat umum semua orang yang sudah dibaptis memberikan kemampuan kepada umat untuk melaksanakan ibadat Kristen, untuk mempersembahkan Kristus kepada Bapa yang kekal lewat tangan imam tertahbis dalam Perayaan Ekaristi, untuk menerima sakramen-sakramen, untuk menjalani hidup kudus, dan untuk membuat seluruh hidup mereka menjadi kurban bagi Tuhan lewat penyangkalan diri dan amal kasih.
Di lain pihak, imam adalah orang yang dipilih dari tengah orang-orang yang dibaptis dan ditahbiskan oleh uskup. Hanya dia dapat mengkonsekrasi roti menjadi Tubuh Kristus dan anggur menjadi Darah Kristus serta mempersembahkannya kepada Bapa yang kekal atas nama Kristus dan seluruh umat kristen. Jelas, meski berbeda satu sama lain dalam hakikat dan bukan hanya dalam tingkat, imamat umum semua orang yang dibaptis dan imamat jabatan atau imamat hirarkis berhubungan sangat erat.
Tantangan besar yang kita hadapi adalah bagaimana membantu kaum beriman awam menghargai martabat mereka sebagai orang yang sudah dibaptis. Inilah yang menjadi dasar peran mereka dalam kurban Ekaristi dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya. Mereka adalah umat Allah. Mereka adalah anggota Gereja. Pelayanan mereka sebagai lektor, sebagai pemimpin nyanyian, sebagai umat yang mempersembahkan kurban bersama dan lewat imam didasarkan pada baptisan. Puncaknya adalah saat mereka menyambut komuni dari meja Ekaristi. Ini memahkotai partisipasi mereka dalam kurban Ekaristi.
Hendaknya dihindari kecenderungan klerikalisasi kaum awam. Ini bisa terjadi, misalnya kalau umat awam dipilih menjadi pelayan komuni tak lazim tanpa memperhatikan bahwa tugas ini merupakan panggilan untuk membantu karena jumlah pelayan komuni yang lazim
(uskup, imam, dan diakon) tidak mencukupi untuk melayani penyambut yang jumlahnya terlalu besar; kalau pelayan komuni tak lazim melihat perannya sebagai pembagian kuasa untuk menunjukkan bahwa awam pun bisa melakukan apa yang dilakukan oleh imam; kalau ini terjadi, kita sudah menghadapi masalah. Dan lagi, bagaimana kita dapat menjelaskan kesalahan menyedihkan bahwa kaum beriman awam berebut di sekitar altar untuk membuka tabernakel atau merenggut bejana kudus? - Semua ini bertentangan dengan kaidah liturgi yang sehat dan citarasa kesalehan yang tulus.
Kita juga mengalami kesalahan yang sebaliknya, yakni laikalisasi klerus. Kalau imam tidak lagi mau memberkati umat dengan rumus “Semoga Saudara diberkati oleh Allah” tetapi lebih senang memilih rumus yang tampaknya demokratis “Semoga kita diberkati oleh Allah,” kita sudah mengacaukan peran-peran. Hal yang sama terjadi kalau sejumlah imam berpikir bahwa mereka tidak harus berkonselebrasi tetapi berpartisipasi saja sebagai umat awam dengan dalih menunjukkan solidaritas yang lebih besar dengan kaum beriman awam. “Dalam perayaan-perayaan liturgi,” tulis Sacrosanctum Concilium, “entah sebagai pelayan entah sebagai salah seorang dari umat beriman, setiap orang hendaknya melaksanakan seluruh peran yang dituntut dari dia oleh hakikat dan kaidah-kaidah liturgi, tidak lebih dan tidak kurang.”
Suatu tugas yang selalu harus diusahakan adalah pendidikan teologis, liturgis, dan spiritual kepada pelayan komuni tak lazim, katekis, pelayan pastoral lain, dan kaum awam pada umumnya. Sering kali kesalahan terjadi bukan karena maksud buruk, tetapi karena kurang pengetahuan. Dari sinilah pola-pola politis pembagian kekuasaan dan perebutan kekuatan menyusup ke ruang pemimpin. Kita harus berterima kasih dan memberikan dorongan kepada para anggota Komisi Liturgi Keuskupan dan Komisi Liturgi Nasional atas semua yang telah mereka kerjakan untuk membuat segala sesuatu lebih jelas dan karenanya lebih harmonis.
7. Revitalisasi Kehidupan Gereja Melalui Liturgi
Dalam Vicesimus quintus annus, Paus Yohanes Paulus II bersyukur kepada Allah “atas gairah luar biasa di kalangan begitu banyak komunitas Kristen, suatu gairah yang ditimba dari mata air liturgy.” Tidak diragukan bahwa Sacrosanctum Concilium terus memberikan dukungan kepada Gereja di sepanjang lorong kekudusan untuk memajukan kehidupan liturgi yang tulen. Ini menegaskan kembali mengapa selalu penting untuk melihat bahwa pedoman-pedoman tulus dari Konsili harus dipatuhi.
Adalah kenyataan bahwa Paus berkata, “sejumlah orang telah menyambut buku-buku baru dengan sikap acuh tak acuh, tanpa usaha memahami alasan-alasan perubahan yang ada; sejumlah yang lain, sungguh sayang, telah berpaling secara sepihak dan eksklusif ke bentuk-bentuk liturgi terdahulu yang oleh sebagian dari mereka dipandang sebagai satu-satunya jaminan kepastian dalam iman.” Tidak boleh diandaikan bahwa, selama tiga puluh tahun ini, kebanyakan imam, biarawan-biarawati, atau kaum beriman awam mendapat pembinaan yang baik mengenai buku-buku liturgi baru. Bina lanjut tetap diperlukan.
Lebih dari itu, harus kita catat bahwa liturgi Gereja melampaui pembaruan liturgi. Banyak imam muda, biarawan-biarawati dan kaum beriman awam lainnya tidak mengenal buku-buku liturgi dari lima puluh tahun yang lalu, entah karena mereka lahir sesudah Vatikan II, atau karena mereka masih bayi tatkala liturgi seperti itu dirayakan.
Yang paling penting di atas semuanya adalah “pemahaman yang semakin mendalam terhadap liturgi Gereja, yang dirayakan seturut buku-buku liturgi baru dan lebih-lebih yang dihayati sebagai realita dalam tata hidup rohani.” Di bawah bimbingan para uskup, Komisi Liturgi Keuskupan dan Komisi Liturgi Nasional harus didorong untuk melanjutkan karya mereka selaras dengan arah di atas. Di samping itu, universitas-universitas Katolik dan lembaga pendidikan tinggi, seminari, rumah pembinaan biarawan-biarawati, dan pusat-pusat pastoral-kateketik juga memiliki peran penting. Hendaknya ada tujuan yang jelas dalam memajukan pendidikan kaum beriman awam dalam teologi dan spiritualitas liturgi.
Devosi dan penghormatan Sakramen Ekaristi di luar Misa juga mempunyai perannya. Para pendorong perkembangan liturgi tidak boleh memberi kesan bahwa perhatian terhadap Ekaristi Kudus cukup dengan Misa. Selama berabad-abad, umat Katolik ritus Latin mempunyai kebiasaan bagus mengunjungi Sakramen Mahakudus, menerima berkat dengan Sakramen Mahakudus, mengadakan perarakan dan Konggres Ekaristi, Sembah-sujud Sakramen Mahakudus yang dilaksanakan selama satu jam, satu hari penuh, atau selama 40 jam.
Ulah kesalehan umat Kristen pun sangat dianjurkan, asal selaras dengan hukum dan kaidah-kaidah Gereja. Direktorium yang diterbitkan Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen pada 2002 akan sangat membantu untuk memahami dan mengarahkan devosi-devosi umat sehingga sungguh serasi dengan iman Katolik, mengantar kepada dan mengalir dari ibadat liturgis, dan tak henti membantu umat Allah mengupayakan hidup yang kudus.
8. Menatap Masa Depan
Sebelum menutup permenungan-permenungann ini, kiranya baik mengarahkan perhatian ke masa depan. Diusulkan beberapa butir permenungan.
Peran uskup diosesan tak tergantikan. “Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Dalam arti tertentu, dari dialah kaum beriman yang ada di bawah reksa pastoralnya menimba dan merawat hidupnya dalam Kristus. Oleh karena itu, seluruh umat hendaknya menjunjung tinggi kehidupan liturgi keuskupan yang berpusat di sekeliling uskup, khususnya di gereja katedralnya.” Kebenaran ini membebankan tanggungjawab berat di pundak uskup dan juga mengundang semua umat untuk menyadari peran uskup, dan untuk menghormati serta mengikuti kepemimpinan liturgisnya.
Adalah lazim bagi para uskup untuk membentuk Komisi Liturgi Keuskupan atau Komisi Liturgi Nasional untuk melaksanakan kerasulan liturgis. Anggota lembaga-lembaga ini harus berusaha menyerap iman dan semangat Katolik yang sejati, dan menghindari pemaksaan kehendak sendiri lewat komisi. Sangat penting dikembangkan hubungan yang tepat antara Komisi Liturgi dengan keuskupan, Konferensi Uskup, atau Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen. Komisi Liturgi hendaknya berusaha tidak membuat terlalu banyak peraturan untuk umat, dan hendaknya tidak mengabaikan arahan-arahan dari wewenang yang lebih tinggi. Kalau di suatu negara, penyesuaian dan perubahan inkulturatif menjadi terlalu banyak sehingga mengaburkan Ritus Romawi, kesalahan tidak hanya ada pada para uskup, tetapi juga pada Komisi Liturgi mereka dan pakar liturgi lain yang menjadi penasihat para uskup.
Peran pastor paroki tetap amat penting. Ia adalah wakil resmi Gereja yang paling dekat dengan kebanyakan kaum beriman. Pendidikan liturginya, gagasan-gagasan dan cara dia merayakan Misa, sakramen, dan kegiatan liturgi lainnya, sangat berpengaruh kepada umatnya. Apa saja yang dapat membantu imam meningkatkan panggilannya harus didorong.
Tata bangun gereja, yang sudah disebut di awal makalah ini, sedemikian penting, sehingga saya ingin menyinggungnya kembali. Bentuk bangunan gereja sangatlah penting. Seperti dikatakan sejumlah orang, gedung olahraga yang mirip gereja tetaplah gedung olahraga.
Sejumlah pertanyaan dapat membantu. Adakah bangunan gereja mampu membantu umat mengangkat hati kepada Allah, kepada Yang Transenden? Di mana ditempatkan menara, lonceng, dan salib? Ruang-dalam gereja sendiri, apakah ruang pemimpin terpisah dari ruang gereja lainnya? Mengapa hiasan altar yang indah yang sudah satu atau dua abad terpajang di sana disingkirkan tanpa menghiraukan keinginan begitu banyak umat paroki?
Mengapa begitu sulit menemukan tempat yang cocok untuk tabernakel? Di mana harus dipasang patung atau lukisan Bunda kita? Apakah ikonoklasme terulang kembali?
Saya sadar bahwa pemugaran gedung-gedung gereja dapat menjadi masalah yang menegangkan. Para uskup dan anggota Komisi Liturgi memiliki tugas yang rumit untuk menimbang semua segi yang menyangkut masalah ini. Tetapi sebelum palu atau mesin gusur menerpa benda-benda yang berkaitan dengan kepekaan devosional umat selama berpuluh-puluh tahun atau bahkan berabad-abad, mereka yang harus mengambil keputusan wajib mawas diri apakah ada alasan-alasan yang cukup berat untuk mengganggu begitu banyak umat dan minta paroki atau keuskupan membayar pelaksanaannya.
Saudara dan Saudariku yang terlibat dalam pengembangan liturgi kudus lewat keuskupan-keuskupan di negeri yang besar dan luas ini, atas nama Bapa Suci serta Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen, saya berterima kasih atas kerasulan penting Saudara. Saya ikut bergembira bersama Saudara atas segala rahmat yang telah melimpah atas komunitas Katolik lewat karya-karya Saudara. Semoga Santa Perawan Maria, Bunda Juruselamat kita, memohon bagi Saudara rahmat untuk melanjutkan pelayanan gerejawi Saudara dengan sukacita, damai, dan kasih karunia, dan dengan keyakinan besar bahwa Saudara mengamalkan peran vital dalam misi Gereja.
Kardinal Francis Arinze
8 Oktober, 2003
Alih bahasa: Ernest Mariyanto - Sanggar Bina Liturgi
Sumber : “Sumber dan Puncak Kehidupan, Buku Makalah”; Komisi Liturgi KWI
dikutip dari http://yesaya.indocell.net