Rabu, 01 Juli 2015

Sakramen Tobat sebagai Sakramen Penyembuhan

Print Friendly and PDF

Flu, pilek, batuk, sakit kepala, sakit lever, typhus, dan sebagainya adalah beberapa contoh penyakit fisik yang sering, kadang, atau pernah kita alami. Dan ketika muncul gejala-gejala yang sudah tidak enak di badan, kita segera pergi ke dokter dan atau ke apotik untuk memperoleh obat yang cocok, karena ingin segera sembuh. Dalam hal penyakit fisik, kita lebih mudah mengenalinya. Kemudian kita segera mengobatinya. Karena apabila dibiarkan, penyakit tersebut bisa berakibat semakin parah atau membawa kepada maut. Sebaliknya dalam hal penyakit non-fisik, spiritual, meskipun lebih sulit mestinya kita harus lebih jeli mengenalinya. Supaya kalau ada penyakit dalam diri kita, kita bisa segera mengupayakan obat untuk menyembuhkannya. Sebab kalau penyakit tersebut dibiarkan terus akan membawa kita kepada keadaan yang lebih buruk, bahkan mengakibatkan maut (bdk. 1 Kor 15:55b-56a).

Aneh tapi nyata! Terhadap penyakit yang bisa membawa maut ini, sering kita tidak merasa takut. Kita tenang-tenang saja. Kita membiarkannya tetap bercokol dan menggerogoti jiwa kita selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun. Kita menganggap bahwa itu bukan penyakit atau hanya penyakit biasa, “Cuman kecil koq, toh tidak akan sampai membahayakan.” Sangatlah bijaksana!

Apabila menderita penyakit spiritual (dosa) dan ingin segera disembuhkan supaya tetap sehat rohaninya, kita datang kepada ‘DOKTER’ atau menghubungi ‘asisten DOKTER’ untuk menerima—bukan sekedar resep obat tetapi— Sakramen TOBAT. Sebab dengan menerima Sakramen Tobat, kita akan mengalami daya penyembuhan Tuhan atas penyakit dosa-dosa kita.

Kita menerima Sakramen Tobat sebagai sakramen penyembuhan atas luka-luka dan penyakit batin-hati-jiwa kita. Sakramen penyembuh-Nya akan membawa kita kepada hidup dan keselamatan kekal. Untuk itu kita perlu mengenali dan merefleksikan bersama: kedosaan kita sebagai suatu penyakit dan belaskasihan serta kerahiman Allah Bapa sebagai suatu obat yang menyembuhkan jiwa kita.

1. BEBERAPA NAMA

Ada beberapa nama yang sering digunakan untuk Sakramen Tobat. Pertama, Sakramen Tobat itu sendiri. Disebut demikian, karena hal yang terpenting yang mau ditekankan di sini ialah tobat dan orang beriman yang bertobat. Konsili Vatikan II memakai kembali istilah “Sakramen Tobat” (lih. Sacrosanctum Concilium, No. 72; Lumen Gentium, No. 11).

Kedua, dinamakan “Sakramen Pengakuan Dosa” karena orang yang bertobat itu menyatakan sikap tobatnya kepada Allah dan mengakukan segala dosanya di hadapan imam selaku pelayan Gereja. Pengakuan atas dosa-dosanya ini menunjukkan bahwa dengan rendah hati dan jujur ia mengaku dirinya sebagai orang yang berdosa yang membutuhkan kerahiman Allah.

Ketiga, disebut juga dengan “Sakramen Pengampunan Dosa” karena dosa-dosa yang telah diakukan dengan jujur dan rendah hati itu—melalui absolusi imam—secara sakramental telah diampuni oleh Allah sendiri. Seperti dalam rumus absolusi disebutkan, “…Semoga lewat pelayanan Gereja, Ia (Allah) melimpahkan pengampunan dan damai kepada Saudara.”

Keempat, dinamakan juga “Sakramen Pendamaian” (rekonsiliasi) karena melalui pengampunan yang telah diterima oleh pentobat, Allah sendiri memperdamaikan pentobat dengan Diri-Nya dan Gereja. Seperti dikatakan oleh Konsili Vatikan II bahwa “mereka yang menerima Sakrarnen Tobat memperoleh pengampunan dan Allah dan sekaligus didamaikan dengan Gereja” (Lumen Gentium, No. 11). Pengampunan Allah adalah ungkapan cinta-Nya yang mendamaikan. Karena rasul Paulus memberi nasihat, “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:20).

Kelima, Sakramen Tobat juga merupakan “Sakramen Penyembuhan” karena ia memberikan rahmat penyelamatan dan penyembuhan atas jiwa dan raga manusia (lih. Katekismus Gereja Katolik, No. 1420-1421).

2. SAKRAMEN TOBAT: BERANGKAT DARI PENYADARAN DAN PENELITIAN BATIN

Seorang katekumen yang berasal dari latar belakang Protestan pernah bertanya pada waktu pelajaran agama mengenai sakramen-sakramen demikian, “Romo, pembaptisan itu kan sudah menyucikan kita dari segala dosa. Kita sudah menjadi manusia baru. Kenapa sih masih ada lagi Sakrarnen Tobat segala. Maknanya khan sama, pengampunan dosa. Kemudian yang ingin saya tanyakan, apakah Sakramen Tobat itu sungguh perlu?” Di satu sisi dia benar. Bahwa Sakramen Baptis itu menyucikan kita dan segala dosa. Kita menjadi manusia baru, seperti kata rasul Paulus, “Kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11).

Betapa besar anugerah Allah yang diberikan kepada kita lewat Sakramen Baptis ini. Namun pada sisi lain, kehidupan baru sebagai manusia yang disucikan lewat Sakramen Baptis itu tidak membuat kita menjadi manusia yang sempurna yang kebal dosa. Dalam hal ini diperlukan 2 sikap:

a. Penyadaran akan kelemahan dan dosa

Hidup yang disucikan, kehidupan baru yang diterima dalam Sakramen Baptis tidak menghilangkan kerapuhan dan kelemahan kodrat manusiawi kita. Kecenderungan kepada dosa (concupiscentia) pun tidak dihilangkan dari kodrat manusiawi kita. Kecenderungan ini tetap ada dan tinggal dalam diri kita. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja mengingatkan bahwa Gereja itu kudus karena Kristus, Putera Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus membuatnya kudus (lih. Lumen Gentium, No. 39). Namun demikian, Gereja itu “merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan” (Lumen Gentium, No. 8).

Jelaslah bahwa Gereja itu kudus. Ia sudah ‘dikuduskan bagi Tuhan’. Tetapi Gereja tidak terbedakan dan semua orang lain justru karena kedosaan mereka dan karena “persekutuan Gereja (itu) mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (Gaudiurn et Spes, No. 1). Untuk itulah Gereja yang kudus sekaligus masih tetap mempunyai kecenderungan kepada dosa ini dipanggil untuk terus-menerus membersihkan dan membarui diri, menjalankan pertobatan yang tiada hentinya. Sebab pertobatan kristiani itu berlangsung sepanjang hidup.

Hal yang harus disadari di sini ialah bahwa kita ini hidup ‘dalam bejana tanah liat’ (2 Kor 4:7). Kita ini manusia lemah, rapuh, mudah jatuh dan ‘pecah’ dalam kecenderungan kita akan dosa. Dan lagi, kita ini masih hidup ‘dalam kemah kediaman kita di bumi ini’ (2 Kor 5:1). Maka dengan menyadari akan semua ini, kita mau terus merindukan dan memperoleh rahmat kerahiman Allah lewat perayaan Sakramen Tobat.

b. Penelitian batin

Hal yang hendaknya juga tidak dilupakan dalam proses penyadaran diri akan kelemahan dan dosa yang selalu bisa saja terjadi setelah pembaptisan, yaitu penelitian batin. Kita mau masuk ke dalam lubuk hati yang terdalam, melihat dan memeriksa kembali bahwa temyata kita memang orang berdosa yang membutuhkan pertobatan dan pembaruan. Penelitian batin yang sungguh-sungguh seperti ini akan menyadarkan kita sebagai orang berdosa, baik dalam arti personal (dosa-dosa pribadi) maupun dalam arti komunal (dosa-dosa sosial).

Penelitian batin adalah sikap dasar yang penting. Karenanya, dalam Surat Apostolik Kedatangan Milenium Ketiga No. 36 (KMK, No. 36) Bapa Suci menegaskan bahwa “pada ambang milenium yang baru, orang kristen harus menempatkan din mereka sendiri berkenaan dengan tanggung jawab yang mereka punyai juga atas kejahatan-kejahatan sekarang ini”.

Bapa Suci, seperti dinyatakan oleh banyak Kardinal dan Uskup, mengajak kita—Gereja dewasa ini—agar mengadakan penelitian batin yang sungguh-sungguh (lih. Ibid.). Sebab dengan memiliki sikap batin demikian, kita akan “menghargai secara baru dan merayakan secara lebih intens Sakramen Pengakuan Dosa (Pendamaian) menurut maknanya yang paling dalam” (KMK, No. 50).

3. SAKRAMEN TOBAT, SAKRAMEN YANG MENYEMBUHKAN

Mengapa kita hendaknya merayakan Sakramen Tobat secara lebih intens, terus-menerus? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul sebagai suatu refleksi atas penghayatan Sakramen Tobat dewasa ini. Romo Michael Scanlan, dalam bukunya yang berjudul “The Power in Penance“ (Notre Dame: Ave Maria Press, 1972) menulis demikian, “Dewasa ini kita melihat bahwa Sakramen Tobat telah jatuh ke dalam kesia-siaan yang semakin besar, dan pentingnya sakramen ini secara umum tidak dilihat lagi baik oleh imam mau pun oleh umat” (lih. Alex I. Suwandi,“Penyembuhan dalam Sakramen Tobat”, BPK Keuskupan Padang, 1998:16).

Keadaan ‘dewasa ini’, yang dimaksud 27 tahun silam, saya kira tidak terlalu jauh berbeda dengan keadaan dewasa ini. Romo Alex I. Suwandi dalam buku tersebut di atas menyebutkan tiga alasan mengapa dewasa ini umat kurang menghargai Sakramen Tobat dengan tidak mengaku dosa.

Pertama, orang tidak mengaku dosa karena tidak mengerti konsep dosa secara jelas. Sehingga hal yang sebenarnya termasuk dosa, itu dilihat sebagai hal yang biasa dan tidak perlu diakukan kepada Tuhan dalam Sakramen Tobat.

Kedua, orang tidak mengaku dosa karena hilangnya pengakuan diri sebagai orang berdosa, yang masih tetap memiliki kecenderungan terhadap dosa (Ah, saya khan sudah suci karena dulu sudah dibaptis!). Dengan menganggap dirinya demikian saja, orang sudah jatuh dalam dosa kesombongan.

Ketiga, orang tidak mengaku dosa lagi karena tiadanya penyembuhan sesudah pengakuan dosa. Setelah menerima Sakramen Tobat toh masih tetap melakukan dosa yang sama. “Malu akh, selalu mengaku dosa yang sama melulu, itu-ituuuu…terus!”, komentar salah seorang umat yang pemah saya dengar.

Alasan ketiga ini perlu kita lihat lebih dalam, mengapa ada semacam ‘keluhan atau keputusasaan’ dalam diri umat, yang sebenarnya dengan menerima Sakramen Tobat ingin menjadi manusia baru dan utuh. Sebabnya antara lain karena tidak adanya keterbukaan yang penuh dalam diri peniten atau pentobat sendiri. Ia hanya mengatakan beberapa dosa yang ringan-ringan saja, walaupun pengakuan yang terakhir sudah cukup lama atau malah belum pernah menerima Sakramen Tobat sejak dibaptis dewasa.

Di satu pihak, dosa-dosa yang telah diakukan kepada Tuhan dalam Sakramen Tobat itu sudah diampuni. Kita percaya itu. Tetapi dengan mengakukan dosa-dosa yang ringan-ringan saja, atau dengan menutupi (tidak mengatakan) dosa yang sebenarnya, yang jauh lebih pokok dan mengganggu hidupnya, membuat pengakuan itu tidak sampai pada akar-akar dosa. Misalnya kenapa masih saja ada rasa iri hati, perasaan bersalah yang tidak sehat, merasa diri tidak dicintai, sulit mengampuni, dan sebagainya.

Hal-hal tersebut harus dicari apa sebenarnya yang menjadi akar semua dosa. Dalam hal ini, imam perlu menangkap akar dari semua dosa yang diakukan itu atau yang tidak disebutkan dengan jelas oleh si peniten. Sehingga apabila akar dosa tersebut sudah ditemukan dan si peniten membutuhkan doa penyembuhan, doa penyembuhan itu bisa dilakukan segera sesudah absolusi. Dengan demikian Sakramen Tobat selalu memberi daya penyembuhan spiritual, yakni pengampunan dosa, juga memberikan penyembuhan luka-luka batin (misalnya dan sikap mudah marah, dendam, iri hati, merasa dibenci, dan sebagainya), atau penyembuhan relasi yang disharmonis dengan sesamanya ataupun pembebasan dan kuasa kegelapan (misalnya terlibat dalam ilmu hitam, perdukunan, dan sebagainya). Dalam hal ini Sakramen Tobat dapat memberikan daya penyembuhan secara integral, utuh. Orang sungguh-sungguh dapat merasakan hidup secara baru dan bebas dan beban-beban yang selama ini terasa berat dan menyesakkan.

Dalam pengalaman pastoral, terutama dalam menerimakan Sakramen Tobat, tidak sedikit saya menjumpai urnat yang setelah mengakukan dosa-dosanya dan menerima absolusi kemudian minta didoakan. Saya menangkap bahwa pada kesempatan itu sebenarnya umat merindukan suatu penyembuhan secara utuh lewat Sakramen Tobat yang diterimanya. Berdoa bagi segi-segi kehidupan yang terluka sebagai tambahan dan pemberian absolusi dan pernyataan pengampunan Tuhan atas semua dosa adalah kesempatan yang baik dan indah dalam pelayanan Sakramen Tobat.

4.BUAH-BUAH ROHANI SAKRAMEN TOBAT

Perayaan Sakramen Tobat menghasilkan buah-buah rohani seperti:
Orang mengalami pendamaian dengan Allah karena relasi kasih dengan Allah yang telah putus karena dosa (terjadi PHK: Putus Hubungan Kasih) telah dipulihkan kembali. Kasih Allah yang hidup sungguh-sungguh menjadi hidup kembali dan dialami secara pribadi.
Orang mengalami pendamaian dengan komunitas Gereja. Relasi dengan sesama saudara yang selama ini retak dan rusak, entah karena dendam, iri hati, tak mau mengampuni, difitnah, dan sebagainya, telah disembuhkan dan pulih kembali. Sebab Sakramen Tobat “menyembuhkan orang yang diterima kembali dalam persekutuan dengan Gereja yang menderita karena dosa dan salah seorang anggotanya” (Katekismus Gereja Katolik, No.1469).
Orang mengalami penyembuhan secara utuh: dan dosa, luka-luka batin, relasi yang disharmonis, dan ikatan ilmu hitam, perdukunan, dan sebagainya.
Orang mengalami pembebasan dari siksa abadi, yang akan diterimanya jikalau ia tetap berada dalam dosa berat (Katekismus Gereja Katolik, No. 1496).
Orang mengalami pembebasan—paling sedikit—dan sebagian siksa sementara yang diakibatkan oleh dosa.
Orang mengalami ketenangan hati nurani dan hiburan rohani. Orang mengalami pertumbuhan kekuatan rohani untuk perjuangan dalam menghayati iman kristianinya.

5. BEBERAPA HAL PRAKTIS

Ada beberapa hal praktis yang perlu diperhatikan berkaitan dengan Sakramen Tobat ini:
Pemberi Sakramen Tobat adalah Uskup dan para imam yang telah menerima wewenang berkat Sakramen Tahbisan. Tidak semua umat tahu hal ini. Pernah ada umat yang ingin mengaku dosa kepada frater atau suster, kemudian ia disarankan supaya datang kepada imam yang punya wewenang untuk itu.
Perlu adanya katekese mengenai surga, neraka, api penyucian, dosa, kerahiman Allah, dan sebagainya, sehingga umat memiliki penghargaan secara baru dan merayakan Sakramen Tobat secara lebih intens. Sakramen Tobat dirayakan bukan hanya sekurang-kurangnya sekali setahun (lihat perintah Gereja ke-4 dalam 5 perintah Gereja), tetapi lebih baik lagi kalau dilakukan lebih sering dan teratur.
Pastor Paroki (pelayan Gereja) perlu sekali menanamkan dalam diri umat kesadaran akan pentingnya merayakan Sakramen Tobat secara pribadi. Tentu saja hal ini menuntut kesediaan para imam untuk menerimakan Sakramen Tobat kapan saja umat memintanya secara wajar (bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 986).
Penyadaran akan kelemahan dan dosa serta penelitian batin perlu dibudayakan; juga ibadat tobat bersama pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya kesempatan retret, rekoleksi, Adven, Prapaskah, dan sebagainya.
Sakramen Tobat adalah salah satu keunggulan dan kekhasan Gereja Katolik, yang tidak dimiliki oleh Gereja-Gereja Protestan. Kita sendiri harus menghargainya secara baru dan merayakannya secara lebih intens. Melalui Sakramen Tobat, bilur-bilur, penyakit, dan luka-luka dosa kita disembuhkan oleh Allah yang Mahabelaskasih. Pengampunan dan penyembuhan-Nya sungguh konkrit dan nyata.

Sumber :
http://www.carmelia.net/index.php/artikel/tanya-jawab-iman/71-sakramen-tobat-sebagai-sakramen-penyembuhan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP