Minggu, 19 Juni 2011

Berlutut, sikap hormat dan mengakui kelemahan di hadapan Allah

Print Friendly and PDF

Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut sejenak. Mengapa?

Kita berlutut pada saat akan duduk dan beberapa kali berlutut selama Misa Kudus. Untuk memahami hal ini, sesungguhnya kita harus menghayati dulu Siapa yang hadir di hadapan kita dalam Misa Kudus. Jika kita mengimani bahwa Tuhan Yesus Kristus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi itu dan di dalam diri imam-Nya yang memimpin Misa Kudus, maka kita akan dengan lapang hati berlutut, dan sungguh tidak ada halangan bagi kita untuk berlutut. Sebab Alkitab mengatakan, “dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (Flp 2:10).

Kebiasaan berlutut berasal dari Eropa pada abad pertengahan. Pada waktu itu ada suatu kebiasaan di Eropa untuk menekukkan satu lutut (genuflect) di hadapan seorang raja atau seseorang yang berkedudukan tinggi. Berlutut bisa menandakan bahwa kita ”kalah” dan kita ”pasrah”. Dalam tradisi Katolik, berlutut menjadi tanda kepasrahan dan pengakuan atas kelemahan kita dihadapan Allah. Di dalam gedung gereja, berlutut juga menjadi ungkapan rasa hormat kita akan adanya Altar dan tabernakel di hadapan kita. Altar menjadi tempat dimana Yesus Kristus hadir secara riil dalam Ekaristi, dan tabernakel menjadi tempat Sakramen Mahakudus yang merupakan Tubuh Kristus sendiri.

Kapan saja kita ”berlutut”?
Ada beberapa kali kita berlutut di dalam gereja atau selama Misa Kudus. Pertama kali kita berlutut ketika kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, kita berlutut sejenak dengan menekuk satu lutut (”kaki kanan menyentuh lantai”) dan membuat tanda salib. Sikap ini merupakan ungkapan rasa hormat kepada Altar dan tabernakel yang merupakan tempat kudus yang ada di hadapan kita. Sikap hormat yang sama ini juga dilaksanakan oleh para petugas liturgi (prodiakon, lektor dan misdinar) ketika hendak naik ke panti imam atau setelah melaksanakan tugas di panti imam. Bagi para petugas liturgi, ”berlutut” dapat diganti dengan ”menundukkan kepala” pada saat dalam perarakan, atau ketika sedang membawa salib, lilin, dupa atau Kitab Suci. Menurut PUMR 275a, “menundukkan kepala” dilakukan juga ketika mengucapkari nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.

Kita juga berlutut pada saat ”Doa Syukur Agung”, pada saat persiapan Komuni:”inilah Anak Domba Allah ….”, dan pada saat doa pribadi sesudah komuni. PUMR 43 mengatakan : ”Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengijinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi”.

Berlutut bisa juga menandakan sikap pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh dengan berlutut ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita ini tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh itu, kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, Putra-Nya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karyaNya di dalam diri kita. Kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan.

Mari kita mengikuti Misa dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ucapan syukur, karena Yesus mengundang kita untuk datang ke perjamuanNya: “Berbahagialah kita yang diundang ke-perjamuanNya!”

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St.Herkulanus, Depok.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP