Minggu, 26 September 2010

Paduan Suara Malaikat

oleh:
Romo William P. Saunders *
Dengan segala macam pembicaraan mengenai malaikat, beragam gambar dan kisah mengenainya, dan bahkan tayangan televisi yang menampilkan sosok malaikat, mengapakah kita tidak sering mendengarnya di gereja? Sebagian tayangan di atas menjadikan malaikat tampak bagaikan makhluk-makhluk halus khayalan. Mohon tanggapan.
~ seorang pembaca di Alexandria

Katekismus Gereja Katolik dengan jelas menegaskan, “bahwa ada makhluk rohani tanpa badan, yang oleh Kitab Suci biasanya dinamakan `malaikat', adalah satu kebenaran iman. Kesaksian Kitab Suci dan kesepakatan tradisi tentang itu bersifat sama jelas” (No. 328). Kita sungguh percaya akan malaikat; kita mendefinisikannya sebagai makhluk rohani murni dan wujud pribadi yang mempunyai akal budi dan kehendak bebas; mereka tidak dapat mati. Seperti dicatat dalam Kitab Suci, malaikat menampakkan diri kepada manusia dalam rupa manusia.

Sejak abad keempat, malaikat diklasifikasikan dalam sembilan paduan suara atau kelompok malaikat. Ketiga paduan suara yang pertama menatap dan bersembah sujud langsung di hadapan Tuhan. SERAFIM, yang artinya “yang bernyala-nyala,” memiliki “nyala” kasih yang paling berkobar kepada Tuhan dan memahami-Nya dengan pemahaman yang paling mendalam. (Menariknya, Lucifer, adalah salah satu dari serafim yang terang cemerlangnya berubah menjadi kegelapan). KERUBIM, yang artinya “kesempurnaan kebijaksanaan,” merenungkan penyelenggaraan ilahi dan rancangan Allah bagi makhluk ciptaannya. Terakhir, TAHTA, melambangkan keadilan ilahi dan kuasa pengadilan, merenungkan kuasa dan keadilan Allah.

Ketiga paduan suara berikutnya menunaikan rencana penyelanggaraan ilahi bagi alam semesta: PENGUASA, yang namanya menyiratkan otoritas, memimpin paduan suara malaikat yang lebih rendah. KEUTAMAAN, yang namanya membangkitkan kesan daya atau kekuatan, melaksanakan perintah-perintah PENGUASA dan memimpin kelompok-kelompok surgawi. Terakhir, KEKUATAN, menghadapi serta melawan kuasa-kuasa jahat yang menentang rancangan penyelanggaraan ilahi.

Ketiga paduan suara terakhir berhubungan langsung dengan masalah-masalah manusia. KERAJAAN melindungi kerajaan-kerajaan duniawi, seperti bangsa-bangsa atau kota-kota. MALAIKAT AGUNG menyampaikan pesan-pesan Allah yang paling penting kepada umat manusia, sementara setiap MALAIKAT mengemban tugas sebagai pelindung bagi masing-masing kita. Walau bukan merupakan dogma resmi, skema ini menjadi populer pada Abad Pertengahan melalui tulisan-tulisan St Thomas Aquinas, Dante, St Hildegard dari Bingen dan Yohanes Scotus Erigina.

Kita percaya bahwa Allah yang Mahakuasa menciptakan malaikat sebelum karya ciptaan lainnya. Sementara itu, sebagian malaikat, dengan dipimpin oleh Lucifer, berontak melawan Allah. Para malaikat ini, dengan kehendak bebasnya memilih dengan tak dapat dibatalkan kembali untuk menolak Allah dan hukum-hukum-Nya secara radikal. Sebab itu, mereka dicampakkan ke dalam neraka. Peristiwa ini disebut-sebut, walau sekilas, dalam beberapa ayat Perjanjian Baru. St Petrus menulis, “Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman” (2 Pet 2:4). Dalam surat St Yudas kita baca, “Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar, sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang” (Yud 6-7). Ketika Yesus berbicara mengenai Pengadilan Terakhir dan pentingnya melayani saudara-saudara yang paling hina, Ia berkata kepada mereka yang jahat, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya” (Mat 25:41). Patut kita ingat bahwa malaikat-malaikat yang jatuh ini - setan dan roh-roh jahat - diciptakan sebagai baik, namun dengan kehendak bebas mereka sendiri memilih untuk berdosa dan berpaling dari Allah.

Kunci untuk memahami malaikat ialah dengan melihat apa yang mereka lakukan. Pertama, malaikat memandang, memuji dan memuliakan Allah di hadirat ilahi-Nya. Yesus bersabda, “Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga” (Mat 18:10), suatu ayat yang juga mengindikasikan bahwa masing-masing kita mempunyai seorang malaikat pelindung. Kitab Wahyu menggambarkan bagaimana para malaikat mengelilingi tahta Allah dan memadahkan puji-pujian (bdk Why 5:11dst, 7:11dst). Pula, para malaikat bersukacita atas jiwa orang berdosa yang bertobat (Luk 15:10).

Kedua, malaikat berasal dari kata Ibrani “malach” yang berarti “utusan”; dalam bahasa Inggris, malaikat disebut `angel', berasal dari kata Yunani “angelos” yang juga berarti “utusan”. Malaikat merupakan sebutan yang menggambarkan peran mereka dalam interaksinya dengan dunia ini. St Agustinus menyatakan bahwa malaikat “melaksanakan firman-Nya dengan mendengarkan suara firman-Nya.” Sepanjang Kitab Suci, para malaikat berperan sebagai utusan Allah, baik itu menyampaikan pesan aktual mengenai rencana keselamatan Allah, melaksanakan keadilan, ataupun memberikan kekuatan serta penghiburan. Berikut adalah beberapa contoh dari peran mereka sebagai utusan dalam Perjanjian Lama: Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dan dihalau dari Eden, kerubim ditempatkan Tuhan untuk menjaga jalan masuk ke Taman Eden (Kej 3:24). Para malaikat melindungi Lot dan keluarganya di Sodom dan Gomora (Kej 19). Malaikat menghentikan Abraham sementara ia hendak mempersembahkan Ishak sebagai kurban (Kej 22). Seorang malaikat melindungi umat Allah dalam perjalanan menuju Tanah Terjanji (Kel 23:20). Dalam Perjanjian Baru: Seorang malaikat menampakkan diri kepada perwira Kornelius dan menghantarnya pada pertobatan (Kis 10:1dst); seorang malaikat membebaskan St Petrus dari penjara (Kis 12:1dst). Ibrani 1:14 menggambarkan peran malaikat dengan sangat jelas, “Bukankah mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan?”

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Choirs of Angels” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.

baca selanjutnya...

Minggu, 19 September 2010

Bolehkah Menyambut Komuni Lebih dari Satu Kali dalam Sehari?

oleh: Romo William P. Saunders *
Berapa kalikah seseorang diperkenankan menyambut Komuni Kudus dalam satu hari?
Saya menghadiri Misa Perkawinan pagi hari dan kemudian pergi ke Misa Sabtu sore. Saya tidak yakin apakah saya diperkenankan menyambut Komuni Kudus untuk kedua kalinya.
~ seorang pembaca di Sterling

Kitab Hukum Kanonik No. 917 menyatakan, “Yang telah sambut Ekaristi mahakudus, dapat menyambut lagi hari itu hanya dalam perayaan Ekaristi yang ia ikuti, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 921 §2.” Selanjutnya, Kan. 921 §2 menyatakan, “Meskipun pada hari yang sama telah sambut komuni suci, namun sangat dianjurkan agar mereka yang berada dalam bahaya mati sambut komuni lagi.” Singkat kata, orang diperkenankan menyambut Komuni Kudus dua kali dalam satu hari.

Patutlah kita menghormati alasan pemikiran yang mendasari hukum resmi Gereja tersebut. Kurban Kudus Misa dan Perayaan Ekaristi merupakan “pusat sejati dari keseluruhan hidup Kristiani, baik bagi Gereja universal maupun bagi kongregasi lokal Gereja tersebut” (Pedoman Penyembahan Misteri Ekaristi, no. 6). Perayaan Misa dan menyambut Komuni Kudus pada hakekatnya saling berhubungan erat. Terlebih lagi, bagian-bagian Misa, teristimewa Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, membentuk suatu kesatuan yang utuh.

Sebab itu, dalam keadaan normal, orang wajib ambil bagian secara penuh dalam keseluruhan rangkaian Perayaan Misa dengan memper-sembahkan dirinya sendiri kepada Tuhan. Orang wajib ikut ambil bagian sejak dari awal hingga akhir Perayaan Misa, mencurahkan perhatian sepenuhnya sebaik yang dapat ia lakukan. Partisipasi penuh dan perhatiannya menghantar orang tersebut menyambut Komuni Kudus dengan layak. Menyambut Komuni Kudus dengan layak tidak saja memungkinkan orang untuk masuk dalam persekutuan dengan Kristus, tetapi juga mengikat orang tersebut dalam persekutuan iman dan kasih dengan para anggota Gereja lainnya.

Jangan pernah, dalam keadaan normal, kita memisahkan penerimaan Komuni Kudus dari Perayaan Misa selanjutnya. Gereja memberikan ijin untuk menyambut Komuni Kudus dua kali dalam satu hari bagi kepentingan mereka yang menghadiri mungkin Misa Perkawinan dan Misa Pemakaman pada hari yang sama, atau ikut ambil bagian dalam Misa Harian dan kemudian pergi pula mengikuti Misa dengan intensi khusus pada hari yang sama; namun demikian, persyaratannya adalah bahwa ia ikut ambil bagian dalam keseluruhan Misa dalam masing-masing Misa tersebut. Sayang sekali, saya mengenal orang-orang yang secara rutin setiap hari “muncul” dalam Misa (bahkan beberapa Misa) tepat pada saat pembagian Komuni Kudus dan kemudian menghilang sebelum Perayaan Misa berakhir; seakan-akan mereka mendapatkan “obat Yesus” untuk hari itu daripada menghaturkan sembah sujud kepada Tuhan dan menyambut Sakramen Mahakudus dengan sepenuh hati.
Seperti dinyatakan dalam Kitab Hukum Kanonik 921 §2, dalam keadaan khusus apabila seseorang berada dalam bahaya maut, ia diper-kenankan menyambut Komuni Kudus sebagai “viaticum” bersamaan dengan Sakramen Tobat dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, bahkan meskipun ia telah menerima Komuni Kudus dua kali pada hari itu. Keadaan khusus lainnya apabila orang harus rawat inap di rumah sakit atau harus tinggal di rumah; orang tersebut diperkenankan menyambut Komuni Kudus tanpa harus ambil bagian dalam Misa, tetapi tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus lebih dari satu kali dalam satu hari kecuali jika ia berada dalam bahaya maut.

Dua persyaratan utama lainnya yang mengatur masalah sambut Komuni Kudus ialah:
Pertama, “Yang sadar berdosa berat, tanpa sambut sakramen pengakuan sebelumnya, jangan merayakan Misa atau menyambut Tubuh Tuhan, kecuali jika ada alasan berat serta tiada kesempatan mengaku; dalam hal demikian hendaknya ia ingat bahwa ia wajib membuat tobat sempurna, yang mencantum niat untuk mengaku secepat mungkin.” (Kitab Hukum Kanonik No. 916).

Kedua, “Yang hendak sambut Ekaristi mahakudus hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.” (Kitab Hukum Kanonik No. 919). Namun demikian, tenggang waktu berpuasa sebelum menyambut Komuni Kudus dikurangi hingga “kurang lebih seperempat jam” bagi mereka yang sakit di rumah ataupun di rumah sakit, bagi para lanjut usia yang harus tinggal di rumah ataupun di panti, dan bagi mereka yang merawat orang-orang tersebut dan tidak mungkin memperhatikan waktu puasa bagi dirinya sendiri (Immensae Caritatis, 1973).

Gereja dalam kebijaksanaannya menetapkan hukum-hukum ini guna membantu kita agar memiliki kehidupan rohani yang seimbang, dan terhindar dari sikap ekstrim. Sama seperti Gereja mewajibkan umatnya untuk menyambut Komuni Kudus sekurang-kurangnya sekali dalam setahun (“kewajiban Paskah”), demikian pula Gereja membatasi seringnya kita menyambut Komuni Kudus dalam satu hari.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.

sumber : “Straight Answers: Receiving Communion More Than Once a Day” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

baca selanjutnya...

Selasa, 14 September 2010

Posisi Tabernakel

Pertanyaan:
Mengapa sesudah Konsili Vatikan II, posisi Tabernakel tempat Sakramen Maha kudus ditahtakan menjadi bergeser ke kanan altar dr posisi di tengah2 altar (dari gereja2 yang dibangun sesudah konsili Vatikan II yang saya bandingkan dengan gereja2 yang dibangun sebelum Konsili ) Sepertinya bagi saya pribadi saya lebih menyetujui kalau Tabernakel berada di tengah2 (pusat) gereja seperti gereja2 sebelum Konsili. Kalau di tengah bukankah fokus utama kita adalah Tabernakel dimana ada Sang Roti Hidup yaitu Kristus sendiri bertahta dalam tempat yang paling utama dalam gereja.
Mengapa sampai terjadi perubahan posisi? Apakah pergeseran ini karena alasan tekhnis?, atau alasan iman? atau alasan alkitab?. Mohon penjelasannya dan terima kasih.

Jawaban:
Sebenarnya, tidak benar jika dikatakan bahwa setelah konsili Vatikan ke II maka posisi Tabernakel (tempat Sakramen Maha Kudus) digeser ke samping. Tidak semua gereja yang dibangun setelah Konsili Vatikan ke II mempunyai tipologi yang demikian. Setidak-tidaknya, saya melihat masih banyak gereja yang baru dibangun meletakkan tabernakelnya di tengah- tengah, dan di tempat yang mudah terlihat dari segala arah. Sebab demikianlah ketentuannya, dan saya rasa jika di gereja anda tidak demikian, silakan anda mengusulkannya kepada Dewan Paroki.

Ketentuan mengenai hal ini ada dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, sebagai berikut:

Kan. 938 § 2 Tabernakel, tempat Ekaristi mahakudus di simpan, hendaknya terletak pada suatu bagian gereja atau ruang doa yang mencolok, tampak, dihias pantas, layak untuk doa.

Kan. 938 § 3 Tabernakel tempat Ekaristi mahakudus disimpan secara terus- menerus, hendaknya bersifat tetap, terbuat dari bahan yang keras yang tak tembus pandang dan terkunci sedemikian sehingga sedapat mungkin terhindarkan dari bahaya profanasi.

Saya kurang tahu apakah di Indonesia sudah ditetapkan peraturan bangunan untuk gereja Katolik, namun kalau di Amerika, USCCB (Kongregasi para Uskup Amerika) sudah menetapkannya, dan berikut ini, saya sertakan linknya selengkapnya, silakan klik, dan ini adalah sedikit kutipannya:

§ 72 § The general law of the Church provides norms concerning the tabernacle and the place for the reservation of the Eucharist that express the importance Christians place on the presence of the Blessed Sacrament. The Code of Canon Law directs that the Eucharist be reserved “in a part of the church that is prominent, conspicuous, beautifully decorated and suitable for prayer.”94 It directs that regularly there be “only one tabernacle” in the church.95 It should be worthy of the Blessed Sacrament—beautifully designed and in harmony with the overall decor of the rest of the church. To provide for the security of the Blessed Sacrament the tabernacle should be “solid,” “immovable,” “opaque,” and “locked.”96 The tabernacle may be situated on a fixed pillar or stand, or it may be attached to or embedded in one of the walls. A special oil lamp or a lamp with a wax candle burns continuously near the tabernacle as an indication of Christ’s presence.97

§ 73 § The place of reservation should be a space that is dedicated to Christ present in the Eucharist and that is designed so that the attention of one praying there is drawn to the tabernacle that houses the presence of the Lord. Iconography can be chosen from the rich treasury of symbolism that is associated with the Eucharist.

Jadi dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat posisi Tabernakel disyaratkan adalah: harus menempati tempat utama, menyolok, dihias dengan indah, dan layak/ cocok untuk menghantar kepada suasana doa. Walaupun tidak dikatakan tempatnya harus di tengah- tengah, namun sangat wajar jika dipilih tempat yang di tengah- tengah, agar mudah/ dapat dilihat oleh umat dari berbagai sudut pandang umat. Saya pribadi juga berpendapat, seharusnya Tabernakel sedapat mungkin diletakkan di tengah- tengah, karena memang dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tabernakel terletak di tempat yang “prominent”/ utama. Harap juga diketahui bahwa selain menempati tempat utama tersebut, Tabernakel juga harus dibuat dari material tertentu yang solid, tidak dapat digeser/ dipindah-pindah, tidak tembus pandang, dan dapat dikunci. Tabernakel juga disertai dengan lampu yang tetap menyala sebagai tanda kehadiran Yesus dalam Sakramen Maha Kudus.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

baca selanjutnya...

Minggu, 12 September 2010

Doa dengan istilah “semoga”, salahkah?

Pertanyaan saya adalah :

1. kata “semoga…” adalah ciri khas doa kita orang khatolik (Pastur selalu menggunakan kata ini) apapun yang dipanjatkan selalu ada kata semoga …
Sangat kontras dengan ayat firman Luk 11:23-24 Mat 21:22
Sepertinya kita itu tidak yakin BAPA kita di Surga mengabulkan doa kita.
Seperti kata sopan santun. Padahal banyak sekali firman Tuhan yang menunjukkan BAPA selalu bersedia memberkati kita.

2. Saya paling jarang berdoa kepada Bunda Maria kecuali bulan mei dan oktober (=bulan Maria) banyak orang berdoa sangat yakin melalui perantaraan Bunda Maria mengabulkan doa mereka.
Saya coba mengamati tingkat keberhasilan doa melalui ungkapan syukur dalam perayaan ekaristi boleh dibilang cukup banyak yang terkabul doanya. Jarang sekali ada ungkapan syukur kepada BAPA atas terkabulnya doa permohonan.
Mengapa demikian ?

3. Memang tidak ada rumusan tertentu sebuah doa dikabulkan sebab itu hak privelege BAPA. Namun banyak yang mengatakan bahwa doa yang tidak berpusat kepada pemenuhan diri sendiri biasanya sering dikabulkan. Kenyataannya hidup kita ini banyak sekali kebutuhan untuk pribadi maupun untuk keluarga. Kalau demikian menurut pengalaman iman Ibu, doa yang seperti bgmn yang paling menyentuh hati BAPA segera mengabulkan permohonan doa kita.

Contoh begini : ada seseorang berdoa mohon dapat pekerjaan yang tidak berhubungan dengan pajak karena dia seorang lulusan sarjana akuntansi. Dari beberapa pengalaman kerja sebelumnya selalu diperintahkan oleh pimpinan perusahaan untuk membuat double pembukuan yaitu untuk intern dan untuk extern (=laporan ke pajak atau buat minta kredit bank). Pembukuan extern selalu berbeda dengan intern…sering dia harus mengundurkan diri atau menolak pekerjaan seperti itu. Akhirnya dia memutuskan untuk memohon melalui doa dan juga melalui surat lamaran. Sudah 2 tahun lamanya tidak ada satupun yang bersedia menerimanya kalau tidak mau mengerjakan pembukuan eksteren. Sering menangis mohon pertolongan BAPA namun seperti kenyataan
dia harus menunggu … bersabar…. dan selalu berharap ….

Suatu kali temannya dari kristen mengajarkan cara berdoa kurang lebih seperti ini :
” Dalam nama Yesus, aku perkatakan aku sudah menerima pekerjaan yang tidak berhubungan dengan pajak. Terima kasih Yesus….amin ” selama ini cara berdoanya seperti ini :
” BAPA, Engkau tahu apa yang aku butuhkan… aku mohon ya BAPA semoga Engkau berkenan mengabulkan permohonanku. Kemuliaan ….amin”
Dalam waktu kurang lebih 1 bulan dia dipanggil sebuah perusahaan dan diterima bekerja sesuai permohonannya….
Saya tidak menitik-beratkan waktu 1 bulan dibandingkan 2 tahun… tapi pada cara penghayatan doa.
Kejadian ini sering saya lihat terjadi pada teman-teman dari kristen… cara berdoa mereka sangat kontras berbeda dengan cara doa kita…. kemudian mereka sangat aktif memperkatakan ayat-ayat dirman Tuhan didalam doa mereka sedangkan cara doa kita sangat tersusun rapi dalam standard baku yang telah dicetak dalam sebuah buku panduan.

Terima kasih. Saya sangat menunggu jawaban Ibu.
Notes : Sekedar usul, jawaban atas pertanyaan dalam katolisitas … mohon diusahakan tidak lama sekitar 1 minggu sejak pertanyaan diajukan.
Buka forum chatting tanya jawab… pengasuh chatting tidak harus anda berdua suami-istri
bisa menunjukkan staff lain yang kompeten jika anda sedang sibuk dengan kegiatan rohani lainnya (ingat…Musa pernah menangani semuanya sendiri namun akhirnya tidak sanggup)

Salam Sejahtera Selalu,
Surya Darma
Jawaban:

Shalom Surya Darma,
1. Berdoa dengan kata “semoga” artinya tidak yakin?

Kata “semoga” ini hendaknya jangan disalahartikan sebagai ungkapan kurangnya iman. Sebab kata “semoga” ini mengungkapkan pengharapan kita, yang dengan kerendahan hati di hadapan Allah, dan mengakui bahwa Allah- lah yang akhirnya memutuskan, perihal pengabulan doa kita. Atau juga “semoga” ini mengungkapkan harapan akan sesuatu yang baik dapat terjadi pada orang yang kita doakan. Kitab Suci mencatat bahwa ungkapan doa semacam inilah yang diajarkan oleh para rasul, seperti Rasul Paulus dan Rasul Yohanes. Berikut ini kutipan contohnya:

“Aku berdoa, semoga dengan kehendak Allah aku akhirnya beroleh kesempatan untuk mengunjungi kamu.” (Rom 1:10)

“Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus…. Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan.” (Rom 15:5, 13)

“Semoga Allah, sumber damai sejahtera, segera akan menghancurkan Iblis di bawah kakimu. Kasih karunia Yesus, Tuhan kita, menyertai kamu!” (Rom 16:20)

“Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian… (Flp 1:9)

“Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” (1 Tes 5:23)

“Saudaraku yang kekasih, aku berdoa, semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja.” (3 Yoh 1:2)

Memang ada banyak cara berdoa, namun yang jelas, ungkapan “semoga” ini bukan ungkapan yang keliru. Janganlah sampai kita menuduh para Rasul ini, (Paulus dan Yohanes) sebagai orang yang ‘kurang iman/ kurang yakin akan pertolongan Allah Bapa’ karena mereka berdoa dengan menggunakan kata “semoga”. Jika kita berpikir demikian, sudah saatnya memohon ampun kepada Tuhan karena kita telah menjadi sombong rohani, dengan menganggap bahwa seolah doa kita menjadi lebih baik daripada doa para Rasul, atau kita ini lebih beriman daripada para rasul. Jangan lupa, doa dengan kata “semoga” itu dicatat di dalam Kitab Suci, yang sama- sama kita yakini sebagai “Sabda Allah”, maka kita yakini juga bahwa Allah menghendaki kita untuk berdoa dengan kata “semoga”. Bukan karena kita kurang percaya, tetapi karena kita mempunyai iman bahwa Allah Bapa yang mengasihi kita adalah yang paling berkuasa untuk menentukan segala sesuatunya di dalam hidup kita; dan Ia yang paling tahu kapan saatnya yang terbaik untuk pengabulan doa kita; atau bagaimana Ia dapat memberikan hal yang lebih baik daripada yang kita mohonkan.

Lalu apakah penggunaan kata ’semoga’ ini bertentangan dengan ayat Mrk 11:23-24 dan Mat 21:22? Tentu jawabnya: tidak. Sebab yang disebutkan dalam ayat- ayat tersebut adalah sikap batin pada saat berdoa, yang memang harus yakin akan pertolongan Tuhan, namun juga tetap rendah hati mengakui bahwa Tuhanlah yang akhirnya menentukan.
2. Jarang ada ungkapan syukur kepada Bapa atas pengabulan doa?

Puncak ucapan syukur bagi kita umat Katolik adalah perayaan Ekaristi Kudus. Sebab kata ‘Ekaristi’ sendiri artinya adalah ucapan syukur, tentu di sini konteksnya adalah ucapan syukur kepada Tuhan. Katekismus mengajarkan:

KGK 1360 Ekaristi adalah kurban syukur kepada Bapa. Ia adalah pujian, yang olehnya Gereja menyatakan terima kasihnya kepada Allah untuk segala kebaikan-Nya: untuk segala sesuatu, yang Ia laksanakan dalam penciptaan, penebusan, dan pengudusan. Jadi, Ekaristi pertama-tama merupakan ucapan syukur.

KGK 1407 Ekaristi adalah pusat dan puncak kehidupan Gereja. Lewat Ekaristi Kristus mengikutsertakan Gereja-Nya dan semua anggota-Nya di dalam kurban pujian dan syukur yang Ia persembahkan di salib kepada Bapa-Nya satu kali untuk selama-lamanya. Melalui kurban ini Ia mengalirkan rahmat keselamatan kepada tubuh-Nya yaitu Gereja.

Jadi kenyataan bahwa Gereja Katolik mengadakan perayaan Ekaristi (Misa kudus) setiap hari, dan pada hari biasapun dapat dipersembahkan Misa lebih dari sekali. Artinya ucapan syukur kepada Allah Bapa itu diwartakan setiap hari oleh Gereja Katolik di seluruh penjuru dunia. Silakan, jika anda mau bersyukur kepada Allah Bapa secara khusus, untuk menghadiri perayaan Ekaristi Kudus, dan ajukanlah ujud ucapan syukur di dalam Misa tersebut.

Devosi kepada Bunda Maria merupakan sesuatu yang baik yang dianjurkan oleh Gereja, karena jika dilakukan dengan benar, devosi ini dapat membantu seseorang untuk bertumbuh di dalam iman, pengharapan dan kasih kepada Tuhan Yesus, [karena Bunda Maria akan membawa orang itu untuk lebih dekat kepada Puteranya Yesus]. Jika anda belum mengalaminya, tidak ada salahnya anda coba.
3. Doa seperti apa yang paling menyentuh Allah Bapa?

Anda mengajukan contoh tentang pengabulan doa. Dan dari contoh itu anda membandingkan dua cara doa antara perkataan, “Dalam nama Yesus, aku perkatakan aku sudah menerima pekerjaan yang tidak berhubungan dengan pajak. Terima kasih Yesus….amin.” dengan, “BAPA, Engkau tahu apa yang aku butuhkan… aku mohon ya BAPA semoga Engkau berkenan mengabulkan permohonanku. Kemuliaan ….amin”

Memang ada banyak cara berdoa. Cara yang pertama, kemungkinan dilakukan karena mengingat ayat ini, “Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.” (Mrk 11:24). Namun jika diperhatikan, Tuhan Yesus tidak mengajarkan untuk secara eksplisit berdoa demikian. Yang diajarkan-Nya adalah sikap batin di dalam doa, yaitu untuk menaruh kepercayaan total kepada Allah bahwa Ia sanggup mengabulkan apa yang kita doakan. Cara doa permohonan yang eksplisit diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam doa Bapa Kami (Mat 6: 9-13) adalah, “Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti disurga” (ay.10). Pernyataan ini tentu bukan untuk diartikan sebagai “kurang iman”, tetapi justru “penuh iman” bahwa Allah yang adalah Bapa kita yang Maha Pengasih pasti mengetahui yang terbaik dan pasti menghendaki yang terbaik terjadi di dalam kehidupan kita.

Sekarang tentang cara berdoa yang kedua. Cara ini mengungkapkan kepercayaan kepada Tuhan bahwa Ia telah mengetahui segala sesuatu yang kita butuhkan, ini tentu baik. Tetapi sesungguhnya, adalah baik jika di dalam doa kita menyebutkan juga secara spesifik apa yang kita mohon. Berani mengakui pergumulan/ kesulitan kita di hadapan Tuhan adalah ungkapan yang menunjukkan ‘kemiskinan rohani’ kita di hadapan Tuhan. Kita mengakui kebesaran-Nya, dan sekaligus kita mengakui ketidakberdayaan kita. Ibaratnya, kita mengangkat tangan kepada-Nya minta tolong, dan pada saat itulah Tuhan turun tangan untuk menolong kita. Maka, jika memang pergumulan orang itu adalah pekerjaaannya, ia selayaknya menyatakan kepada Tuhan permohonannya ini, dan dengan rendah hati mohon agar Tuhan campur tangan untuk membantunya menemukan pekerjaan baru yang lebih sesuai. Ingatlah bahwa Sabda Tuhan mengajarkan kita, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Flp 4:6).

Jadi fakta bahwa Tuhan mengabulkan doa orang itu setelah berdoa dengan cara doa yang pertama, sebenarnya bukan karena cara berdoanya, tetapi karena Tuhan melihat sikap batin orang itu yang sudah siap untuk menerima pengabulan doanya. Janganlah dilihat proses doa itu hanya sebulan sesudah ia mengganti cara berdoanya. Sebab Tuhan yang menilik hati orang itu, melihat sikap batinnya dalam dua tahun plus satu bulan itu (atau bahkan termasuk waktu- waktu sebelumnya). Sebab Tuhan melihat apa yang tidak nampak di mata manusia, sedangkan kita manusia cenderung melihat yang sebaliknya. Maka doa yang paling menyentuh hati Allah Bapa, adalah doa yang keluar dari hati kita, entah itu doa spontan, ataupun doa yang dibacakan. Tuhan Yesus juga telah mengajarkan kepada kita doa Bapa Kami, maka alangkah baik jika dapat menghayati doa ini dengan sungguh- sungguh, agar setiap kali kita mendoakannya, doa ini dapat keluar sebagai ungkapan hati. Jika kita melakukan hal ini, tentu kita menyenangkan hati Allah Bapa dan Tuhan Yesus yang mengajarkannya.

Silakan anda membaca lebih lanjut di artikel seri Apakah berdoa percuma? di sini, silakan klik, untuk melihat prinsip ajaran Gereja katolik tentang doa dan pengabulan doa.

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 1)
Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 2)
Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 3)
Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 4 – Selesai)
Doa Bapa Kami, doa yang sempurna
4. Usul agar jawaban pertanyaan tidak lebih dari satu minggu sejak pertanyaan diajukan dan buka forum chatting, tambahkan staff lain yang kompeten.

Untuk ini saya dan Stef mohon maaf, bahwa memang kami tidak dapat berjanji untuk menjawab semua pertanyaan dengan cepat, kurang dari satu minggu. Kami akan mengusahakannya, namun jika tidak memungkinkan karena keterbatasan kami, kami mohon pengertian anda. Membuka forum chatting, belum dapat kami lakukan, karena terbatasnya tenaga/ resources kami. Selanjutnya, tidak mudah untuk merekrut staff, karena komitmen kami di Katolisitas untuk memberikan informasi pengajaran yang benar- benar sesuai dengan ajaran Gereja Katolik dan bukan atas dasar pandangan pribadi; sehingga staff yang menjawab di sini hendaknya mempunyai ‘bekal’ formasi yang baik dalam hal pemahaman akan ajaran Gereja Katolik. Hal inilah yang menjadi kendala, apalagi karya kerasulan ini sifatnya bukan komersial, sehingga kami juga tidak dapat dengan mudah merekrut karyawan seperti pada perusahaan sekular.

Karya kerasulan Katolisitas adalah hanya setitik air saja dalam ’samudra’ Gereja Katolik. Memang masih kecil dan terbatas dalam segala hal, namun baru inilah yang dapat kami bagikan kepada para pembaca pada saat ini. Semoga anda juga dapat memahami situasi kami dan mendukung kami dalam doa. Jika anda mempunyai usulan yang lebih konkret silakan disampaikan di rubrik Berpartisipasi dalam karya kerasulan Katolisitas.org.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Sumber : http://katolisitas.org/2010/09/10/doa-dengan-istilah-semoga-salahkah/

baca selanjutnya...

Rabu, 08 September 2010

Penyesuaian dan inkulturasi liturgi

Pelbagai Istilah

Ada banyak istilah yang dipakai untuk penyesuaian liturgi antara lain akomodasi, adaptasi, akulturasi, inkulturasi, interkulturasi, kontekstualisasi, pemribumian atau indigenisasi (Indonesianisasi).
[1] Dalam hubungan dengan ini kita mendengar juga istilah liturgi kreatif,
[2] liturgi inovatif, liturgi kontemporer kalau liturgi itu hendak disesuaikan dengan daya kreasi dan inovasi kelompok tertentu terutama orang-orang muda yang hidup pada zaman ini. Kebanyakan istilah ini sebenarnya dipakai oleh para peneliti di bidang antropologi, sosiologi dengan arti khusus. Namun kemudian istilah-istilah ini dipakai juga dalam bidang teologi, missiologi serta liturgi.
[3] Dalam bidang liturgi, pelbagai istilah ini dipakai untuk mengungkapkan kenyataan yang kurang lebih sama tetapi dengan aspek penekanan yang khas baik menyangkut isi atau bentuk serta titik tolak dan tujuan dari proses penyesuaian liturgi itu sendiri.

Akomodasi

Yang dimaksudkan dengan akomodasi dalam bidang liturgi ialah penyesuaian dalam tahap yang sederhana dan belum berkaitan langsung dengan budaya peraya setempat.
[4] Berdasarkan akomodasi itu dapat dipilih kemungkinan yang telah disiapkan dalam buku-buku liturgi (seperti doa-doa atau bacaan-bacaan) agar sesuai dengan kelompok umat dan tingkat perayaan liturgis. Bila disiapkan berbagai kemungkinan rumusan doa dan bacaan untuk kelompok umat yang berbeda-beda, maka boleh dipilih yang sesuai dengan kelompok orang yang merayakan dan orang yang didoakan. Misalnya memilih salam liturgis untuk kelompok umat yang sedang bersukacita atau yang berduka. Atau memilih bacaan yang cocok untuk orang kudus yang dirayakan, memilih rumus doa untuk anak, orang muda atau untuk orang tua. Juga memilih rumus prefasi dan nyanyian yang cocok dengan tema perayaan, memilih rumus berkat yang sesuai dengan masa tahun liturgi. Pemilihan teks yang telah disiapkan dalam buku-buku liturgi dapat dilakukan oleh imam sebagai pemimpin[5] atau petugas lain yang diberi tanggungjawab dan kepercayaan untuk itu dalam kerja sama dengan pemimpin perayaan.

Sering tahap penyesuaian akomodasi ini dipandang kurang berarti bahkan dicap “hanya lahiriah” atau “hanya di permukaan saja”. Padahal sebagai salah satu tahap dari keseluruhan proses penyesuaian, akomodasi liturgi sebenarnya mempunyai arti penting. Tanpa tahap itu akan terjadi lompatan yang tinggi, seperti halnya menaiki sebuah tangga yang tinggi tanpa melewati anak tangga yang kecil. Bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi ketika tidak ada anak tangga yang kecil yang menghantar menuju tangga yang lebih tinggi itu. Kesediaan menerima dan memanfaatkan serta mengapresiasi tahap akomodasi juga mempunyai arti seperti halnya menghargai dan memanfaatkan baju yang dipakai, meskipun nampak hanya di luar tetapi berfungsi melindungi dan memberi arti pada bagian yang lebih dalam yaitu hati, jantung dan paru-paru dalam tubuh manusia sekaligus secara simbolis mengungkapkan apa yang ada di dalam hati dan budi manusia yang menggunakannya. Kalau terus menerus seseorang tidak memakai baju dan berusaha menyesuaikannya dengan kebutuhan menurut situasi atau cuaca di sekitarnya maka bagian dalam dari tubuh akan terancam juga. Memang masalahnya akan muncul bila penyesuaian itu berhenti pada tahap akomodasi saja dan tidak dilanjutkan atau diarahkan ke tahap yang lebih mendalam. Bila demikian akomodasi tidak berfungsi sebagai tahap penting menuju tangga penyesuaian yang lebih tinggi dan mendalam.

Adaptasi-akulturasi

Penyesuaian yang lebih mendalam terjadi bila penyesuaian itu berkaitan dengan budaya orang setempat yang mengambil bagian dalam perayaan. Dalam tahap ini penyesuaian dapat digolongkan dalam adaptasi-akulturasi dan inkulturasi. Adaptasi-akulturasi terjadi kalau ritus romawi dengan unsur-unsur budaya romawi disesuaikan dengan unsur-unsur budaya orang-orang setempat.[6] Titik tolak proses penyesuaian ini (terminus a quo) adalah ritus romawi dan yang mau dicapai atau dihasilkan dalam proses ini adalah ritus romawi dengan unsur budaya setempat (terminus ad quem). Tata perayaan ritus romawi tidak mengalami perubahan besar namun unsur-unsur yang didukung oleh budaya romawi dapat mengalami perubahan karena disesuaikan dengan budaya setempat. Misalnya tata perayaan Ekaristi romawi tidak berubah tetapi bahasanya, gaya pengungkapan atau simbol-simbolnya dapat berubah karena disesuaikan dengan budaya orang setempat seperti budaya Jawa.

Dalam proses adaptasi-akulturasi[7] ini kekhasan bentuk budaya romawi yang terdapat dalam unsur-unsur perayaan liturgi dapat dilucuti dan diganti, dapat pula dipertahankan dan di diperjelas.

Kemungkinan pertama: unsur dengan ciri khas budaya romawi dilucuti dan diganti. Bentuk ekspresi dari unsur-unsur tata perayaan romawi itu dihilangkan karena kurang menyentuh atau bahkan bertentangan dengan bentuk ekspresi budaya setempat. Dengan kata lain kekhasan ekspresi budaya romawi dalam unsur-unsur itu dihilangkan (tanpa menghilangkan maknanya) lalu diganti dengan kekhasan ekspresi budaya setempat sehingga arti dari unsur itu tidak hilang tetapi dapat dengan lebih mudah dipahami dan dihayati oleh orang-orang setempat. Misalnya perecikan air suci yang dicampur dengan garam diganti dengan perecikan air kelapa muda yang dicampur dengan daun tumbuhan hijau dan sejuk atau perecikan dengan air yang ditaburi bunga menurut adat kebiasaan setempat. Dalam hal ini makna dari perecikan tidak dihilangkan tetapi bentuk ekspresi budaya romawi diganti dengan kekhasan ekspresi budaya setempat.

Kemungkinan lain: unsur dengan ciri khas budaya romawi dipertahankan dan diperjelas. Unsur budaya romawi itu dipertahankan tetapi maknanya diperjelas dengan tambahan unsur budaya khas setempat. Misalnya rumusan doksologi Doa Syukur Agung yang diakhiri Amin tidak dihilangkan tetapi diperjelas dengan tambahan unsur budaya yang khas sebagai tanda setuju dari suku tertentu seperti seruan hooo hooo heee heee.

Adaptasi-akulturasi dapat menimbulkan dinamika hubungan antara dua budaya serentak membuat unsur-unsur budaya yang berbeda-beda itu saling tumpang-tindih tanpa ada asimilasi satu sama lain.[8] Chupungco menggambarkan proses akulturasi ini sebagai perpaduan unsur budaya A+B = AB. Keduanya disatukan tetapi masing-masing mempertahankan identitasnya. Tidak terjadi perubahan berarti pada masing-masing unsur budaya. Menghilangkan atau mempertahankan salah satu unsur budaya yang berbeda itu (entah unsur budaya romawi atau budaya setempat) tidak akan menimbulkan kerugian besar.[9] Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam proses penyesuaian pada tahap ini. Ada pertemuan dari unsur-unsur dua budaya (romawi dan non romawi) tetapi masing-masing mempertahankan kekhasannya dan tidak melebur untuk membentuk satu budaya baru. Akan tetapi akulturasi merupakan syarat yang penting menuju inkulturasi liturgi.[10]

Inkulturasi

Inkulturasi sebagai istilah baru pada mulanya dipakai pada tahun1973 oleh G.L.Barney dalam bidang missiologi dan bukan pertama-tama dalam bidang liturgi. Barney mengatakan bahwa di tanah misi nilai-nilai Injil yang adi budya (mengatasi kultur) dan mau diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan dalam budaya orang setempat itu sehingga dapat terbentuk satu budaya baru yang bersifat kristen.[11] Secara khusus istilah inkulturasi ini dipakai dalam bidang katekese ketika pada tahun 1975 para anggota sidang umum Serikat Yesus berdiskusi mengenai metode pewartaan.[12] P. Arrupe, pemimpin umum Serikat Yesus, menggunakan istilah itu dalam bidang katekese ketika beliau berbicara tentang katekese dan inkulturasi di depan para uskup yang membuat sinode tentang katekese pada tahun 1977 di kota Roma. Maka sinode itu memakai istilah inkulturasi dalam dokumen resminya yang berjudul “Pesan kepada umat Allah”. Ditegaskan bahwa warta kristiani harus berakar dalam kebudayaan setempat. Para pewarta tidak hanya memberi kepada melainkan juga menerima dari kebudayaan setempat yang mendengarkan Injil. Inkulturasi terjadi kalau hidup orang beriman digerakkan oleh Roh Kudus untuk menjadi pelayan Injil dengan mewartakan serta menyaksikan Kristus sebagai penyelamat semua orang bersama kebudayaan mereka. Inkulturasi memampukan orang beriman untuk berdialog dengan kebudayaan setempat, tidak hanya berbicara kepada tetapi juga berbicara dengan orang-orang setempat mengenai hidup dan kebudayaannya.[13]

Almarhum Paus Yohanes Paulus II menggunakan istilah inkulturasi secara resmi dalam dokumen-dokumen Gereja, mulanya dalam konteks inkarnasi dan katekse. Ia mengakui istilah inkulturasi dan enkulturasi sebagai istilah baru, namun dapat mengungkapkan dengan tepat keagungan misteri inkarnasi.[14] Dalam surat apostolik Catechesi tradendae Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa katekese mempunyai dimensi inkarnasi. Katekis yang baik mengetahui kalau katekese mendapat bentuk nyata (menjadi daging) dalam berbagai budaya dan situasi. Seperti lewat inkarnasi Sabda Allah menjadi manusia (menjadi daging) demikian pula lewat inkulturasi katekese sebagai satu bentuk pewartaan Injil, mendapat ekspresi budaya.[15] Katekese mesti membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang diwujudkan oleh Yesus Kristus. Jadi menurut Paus Yohanes Paulus II, inkulturasi adalah inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain Beliau mendefinisikan inkulturasi sebagai transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang berbeda-beda. Maka ada gerak ganda dalam inkulturasi yaitu “lewat inkulturasi Gereja membuat Injil menjelma dalam aneka kebudayaan, dan sekaligus memasukkan para bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka, ke dalam persekutuan Gereja sendiri.”[16] Nampak jelas bahwa Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya asli dan integrasinya ke dalam kristianitas yang memungkinkan penjelmaan Injil dalam budaya setempat sehingga kekristenan sungguh berakar di dalam budaya asli para penganut iman kristiani.

Para uskup juga menggunakan istilah ini ketika mereka mengadakan sinode di Roma pada tahun 1985.[17] Dalam deklarasi akhir dari Sinode (no. D.4) mereka menyatakan bahwa inkulturasi bukanlah sekedar penyesuaian lahiriah melainkan suatu transformasi internal dari nilai-nilai budaya yang khas. Hal ini terjadi melalui proses penyatuan ke dalam kekristenan dan berakarnya kekristenan dalam pelbagai budaya manusia. Betapa pentingnya proses asimilasi satu sama lain dan transformasi internal dari satu budaya serta berakarnya iman kristiani dalam budaya setempat.

Lebih kemudian Shorter mendefinisikan inkulturasi sebagai hubungan yang kreatif dan dinamis antara iman kristen dengan satu atau lebih budaya. Selain itu ia menegaskan tiga hal berkaitan dengan inkulturasi. Pertama, inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dan selalu relevan untuk setiap bangsa atau wilayah di mana iman kristiani mulai bertumbuh. Kedua, iman kristiani hanya akan ada bila telah memperoleh bentuk ekspresi budaya. Ketiga, antara iman kristiani dan kebudayaan haruslah ada interaksi dan asimilasi satu sama lain.[18] Jadi Shorter menekankan hubungan yang kreatif dan dinamis dalam proses inkulturasi antara iman kristiani dan kebudayaan.

Patut dicatat pendapat seorang teolog dari Vietnam, Peter C. Phan, mengenai inkulturasi. Menurut Phan ada lima keyakinan tentang inkulturasi.Pertama, inkulturasi merupakan suatu persoalan paling mendesak dan kontroversial dalam beberapa dasawarsa mendatang. Kedua, paham dan praktik inkulturasi tengah ditantang karena perbedaan paham tentang inkulturasi dan karena kebudayaan sedang alami pembaruan dalam teologi, misiologi dan antropologi. Ketiga, inkulturasi sangat diuntungkan oleh penghargaan terhadap religiositas kerakyatan. Keempat, pemahaman historis tentang misi menyajikan pelajaran berharga mengenai proses inkulturasi dan peran agama populer. Kelima, keberhasilan atau kegagalan inkulturasi amat menentukan masa depan Gereja.[19] Sebenarnya tidak berlebihan ungkapan Phan yang terakhir itu, karena proses inkulturasi yang tidak jauh berbeda dari proses inkarnasi, merupakan cara Allah hadir dan mewujudkan karya-karyaNya yang menyelamatkan manusia. Maka Gereja yang meneruskan karya agung Allah ini perlu mencontohi Yesus sendiri yang rela berinkarnasi dan berinkulturasi.[20] Inkulturasi sebagai satu pokok penting yang menentukan keberadaan Gereja, patut ditelaah dalam hubungan dengan liturgi yang merupakan puncak dan sumber kegiatan Gereja.

Inkulturasi liturgi

Pemakaian istilah inkulturasi dalam bidang liturgi mulai disebarkan oleh C. Valenziano ketika ia menulis satu artikel pada tahun 1979 untuk menguraikan hubungan antara liturgi dan religiositas populer. Ia mengatakan bahwa inkulturasi merupakan satu cara yang dapat memungkinkan interaksi timbal balik antara liturgi dan pelbagai bentuk religiositas populer.[21]

Menurut Anscar J. Chupungco,[22] berbeda dengan adaptasi-akulturasi yang digambarkan sebagai proses perpaduan dua budaya: A+B=AB (masing-masing budaya mempertahankan identitasnya) maka inkulturasi sebaliknya merupakan perpaduan dua budaya berbeda sedemikian rupa sehingga menghasilkan satu budaya baru yang kristiani (A+B=C). Dalam proses inkulturasi ini terjalinlah kontak antara budaya A dan B sehingga keduanya saling memperkaya. Maka budaya A tidak tetap seperti A semula tetapi mengalami perubahan menjadi budaya C. Demikian pula budaya B berubah menjadi C. Selain itu budaya A tidak menjadi B, demikian juga budaya B tidak menjadi A. Khususnya dalam konteks liturgi, ditinjau dari ttik tolak proses penyesuaian, Chupungco mendefinisikan inkulturasi sebagai proses di mana upacara keagamaan pra-kristiani diberi arti kristiani. Itu berarti struktur atau susunan asli dari upacara pra-kristiani itu tidak diubah secara radikal tetapi artinya diubah untuk mengungkapkan misteri iman kristiani. Kalau adaptasi-akulturasi bertitik tolak dari ritus romawi dan berupaya mengubah sifat-sifat khas budaya romawi dengan menerima unsur budaya baru yang dihayati oleh para peraya, maka inkulturasi sebaliknya bertitik tolak dari sifat khas budaya setempat berusaha membuat perubahan-pembaruan di dalam kebudayaan itu dengan memasukkan pewartaan kristiani.[23] Dengan kata lain unsur-unsur perayaan pra-kristiani itu tetap dipertahankan sejauh tidak bertentangan dengan iman yang benar dan lebih dari itu unsur-unsur itu ditafsirkan atau diberi makna menurut iman kristiani. Kalau titik tolak (terminus a quo) dalam proses inkulturasi ini adalah upacara pra-kristiani, maka yang mau dicapai sebagai hasil (terminus ad quem) adalah perayaan liturgi jawa-kristiani (sungguh berciri khas budaya Jawa dengan makna baru yaitu kristiani) dan bukan romawi-jawa (sungguh-sungguh berciri khas Romawi tetapi diberi polesan unsur-unsur budaya Jawa).

Inkulturasi dan akulturasi

Setelah melihat pengertian adaptasi-akulturasi dan inkulturasi, baiklah kita membuat perbandingan antara keduanya ditinjau dari titik tolak, apa yang diubah, apa yang dipertahankan serta apa yang menjadi hasil dari proses masing-masingnya.

Pertama, dari segi titik tolak (terminus a quo), adaptasi-akulturasi bertitik tolak dari ritus romawi. Pola dan unsur-unsur liturgi romawi didalami, diteliti dan disadari ciri-ciri khas budaya romawinya. Sedangkan inkulturasi bertitik tolak dari upacara-upacara pra-kristiani. Misalnya upacara asli orang Jawa, Dayak, Marapu atau Papua dipelajari dan dinilai baik pola dan unsur maupun simbol dan isi doa. Tetapi kalau sama sekali tidak bertentangan maka dapat diterima dan diberi makna sesuai dengan iman kristiani.

Kedua, yang diubah dalam proses adaptasi-akulturasi adalah ciri-ciri khas budaya romawi yang memberi bentuk pada unsur-unsur ritus romawi. Kalau unsur-unsur yang didukung ciri khas budaya romawi itu kurang cocok atau bertentangan dengan cita rasa serta cara pikir atau ciri khas budaya orang-orang setempat maka dapat diubah dengan menggantinya. Sedangkan yang diubah dalam proses inkulturasi adalah upacara pra-kristiani itu. Jika ada unsur yang bertentangan dengan iman yang benar karena berkaitan dengan takhyul atau bersifat magis maka hal-hal itu diabaikan.

Ketiga, yang dipertahankan dalam proses adaptasi-akulturasi adalah nilai-nilai kristiani atau nilai-nilai Injili seperti iman yang diungkapkan oleh unsur-unsur budaya romawi. Lalu yang dipertahankan dalam proses inkulturasi adalah nilai-nilai universal yang terkandung dalam unsur-unsur upacara pra-kristiani. Biasanya nilai universal tidak bertentangan dengan nilai kristiani. Nilai-nilai universal yang langeng ini dapat diberi makna kristiani.

Keempat, yang menjadi hasil (terminus ad quem) dari keseluruhan proses adaptasi-akulturasi adalah ritus romawi yang mendapat unsur-unsur pengungkapan dengan ciri khas budaya setempat seperti budaya Jawa. Dengan kata lain hasil akulturasinya adalah ritus romawi-jawa. Sedangkan hasil dari proses inkulturasi liturgi adalah ritus asli pra-kristiani (ritus jawa) menjadi perayaan kristiani dan bisa disebut perayaan jawa-kristiani (misalnya perayaan perkawinan jawa-kristiani).

Perbandingan di atas dapat menjadi lebih jelas bila kita mencermati kemungkinan-kemungkinan inkulturasi dan adaptasi-akulturasi dalam liturgi menurut instruksi tentang inkulturasi liturgi yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen pada tanggal 25 Januari 1994 dengan judul De Liturgia Romana et Inculturatione. Dalam instruksi ini diuraikan pengertian, proses, tuntutan dan syarat awal untuk inkulturasi liturgi, asas dan kaidah praktis inkulturasi ritus romawi, dan bidang-bidang penyesuaian di dalam ritus romawi.

Kemungkinan inkulturasi liturgi

Manakah kemungkinan inkulturasi dalam liturgi Gereja? Apakah semua liturgi sakramen dan perayaan lain dalam Gereja dapat diinkulturasikan? Mungkinkah kita membuat proses inkulturasi untuk liturgi Ekaristi sehingga kita mempunyai liturgi Ekaristi inkulturatif seperti Ekaristi Jawa Katolik? Menurut instruksi tentang inkulturasi liturgi, kemungkinan inkulturasi liturgi dapat dibuat untuk tata cara inisiasi, tata cara perkawinan, tata cara pemakaman dan tata cara pemberkatan (sakramentali). Berarti perlu dipelajari seluruh tatacara pra-kristiani asli dan bila ada unsur yang bertentangan dengan iman kristiani, baiklah dihilangkan. Lalu semua unsur lain termasuk tatacaranya yang mengandung nilai-nilai universal digunakan dan diberi arti kristiani.

Inisiasi Kristiani. Khususnya di daerah misi, Konferensi Waligereja harus memutuskan apakah tata cara inisiasi yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat disesuaikan untuk Tatacara Inisiasi Kristiani. Konferensi juga memutuskan apakah tatacara itu sebaiknya dipakai.[24] Dengan memakai kata “tatacara” dari perayaan, menjadi jelas bahwa pola atau tata perayaan inisiasi yang asli menjadi acuan dan titik tolak proses penyesuaian inkulturatif.

Sakramen Perkawinan. Dari semua liturgi sakramen, tatacara perkawinan menuntut penyesuaian paling banyak agar tidak asing untuk masyarakat setempat. Setiap Konferensi mempunyai kesempatan mempersiapkan tatacara perkawinan untuk wilayahnya sendiri, yang harus serasi dengan hukum yang menuntut agar pelayan tertahbis atau awam, seturut keadaan, minta dan mendapat persetujuan timbal balik dari kedua mempelai yang akan mengikat janji nikah dan memberi mereka berkat mempelai. Tatacara khas ini harus secara jelas mengungkapkan arti perkawinan kristiani, menekankan rahmat sakramen dan menggarisbawahi tugas-tugas suami istri.[25] Tentang hal ini Chupungco menulis: “Praenotanda upacara perkawinan tidak hanya berbicara tentang akulturasi melainkan juga inkulturasi. Hal ini memberikan kemungkinan untuk menyusun upacara perkawinan yang cocok dengan adat istiadat masyarakat setempat.”[26] Orang Batak mempunyai tatacara perkawinan yang berbeda dari orang Papua. Kekhasan masing-masing diterima dan dihargai oleh Gereja, termasuk urutan perayaan, doa-doa dan simbol-simbol, peralatan dan pakaian, waktu dan lamanya perayaan serta tempat seluruh kegiatan itu dilaksanakan. Semuanya mendapat arti kristiani.

Tatacara Pemakaman. Ritus Romawi menyediakan beberapa bentuk tatacara pemakaman. Konferensi Waligereja memilih yang sesuai dengan kebiasaan setempat. Semua unsur yang baik dipertahankan. Hendaknya tatacara pemakaman itu mengungkapkan iman kristiani akan kebangkitan dan memberi kesaksian tentang nilai-nilai benar dari Injil.[27] Suku-suku di Indonesia mempunyai adat kebiasaan khas untuk melepaskan jenasah lalu menghantar dan menyemayamkannya di tempat peritirahatan abadi. Misalnya orang Sumba dan suku Toraja.

Upacara Pemberkatan (Sakramentali). Ada pula kemungkinan untuk membuat inkulturasi upacara pemberkatan. Instruksi Ritus Romawi dan Inkulturasi (LRI) menyatakan bahwa Konferensi Waligereja dapat memanfaatkan kelonggaran yang telah digariskan untuk penyesuaian upcara pemberkatan.[28] Ada banyak perayaan orang asli yang menggunakan sarana perecikan disertai doa-doa untuk memberkati benda, tempat atau orang tertentu. Bertolak dari adat kebiasaan setempat ini Gereja lokal dapat menyusun tataperayaan pemberkatan yang sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan umat pendukung budaya tersebut.

Semua kemungkinan inkulturasi liturgi yang disebut oleh LRI di atas (inisiasi, perkawinan, pemakaman dan sakramentali, secara khususperkawinan) meliputi keseluruhan pola atau tatacara pelaksanaan perayaan. Dengan kata lain seluruh tata perayaan asli menurut adat kebiasaan para peraya setempat menjadi titik tolak proses penyesuaian. Apakah sakramen-sakramen yang lain termasuk Ekaristi dapat diinkulturasikan? Dalam LRI tidak ditulis tentang penyesuaian seluruh tata perayaan (tatacara) sakramen-sakramen lain. Itu berarti tata perayaan pra-kristiani yang mirip pengakuan dosa, tahbisan imam, pengurapan orang sakit dan perjamuan kudus atau Ekaristi tidak dapat jadi acuan atau titik tolak untuk memulai proses inkulturasi sakramen-sakramen itu. Misalnya seluruh tatacara perjamuan (= tata perayaan) dengan nasi tumpeng dan minuman arak menurut budaya Jawa tidak dapat dijadikan perayaan kristiani yaitu Ekaristi Jawa. Maka kita tidak dapat mengatakan bahwa ada perayaan Ekaristi inkulturatif Jawa. Yang sering terjadi dalam proses penyesuaian perayaan Ekaristi adalah sebenarnya adaptasi akulturasi atau akomodasi. Dalam hal ini unsur-unsur tertentu dalam Ekaristi ritus romawi disesuaikan dengan unsur-unsur budaya setempat dan seluruh tata perayaan Ekaristi ritus romawi tetap dipertahankan. Jadi urutan perayaan Ekaristi ritus romawi tidak berubah secara radikal tetapi bahasanya, peralatannya, pakaiannya, nyanyiannya, alat musiknya dan hiasannya disesuaikan dengan ciri khas budaya setempat.[29] Ekaristi seperti ini bukanlah Ekaristi inkulturatif (karena bukan perayaan perjamuan syukur setempat yang jadi titik tolak proses penyesuaian) tetapi lebih baik disebut Ekaristi dengan unsur-unsur inkulturatif (sebab unsur-unsur tertentu itu sungguh mengalami proses inkulturasi namun digunakan dalam kerangka tata perayaan Ekaristi ritus romawi).

Interkulturasi Liturgi

Dapat terjadi bahwa dalam perayaan liturgis yang sama terdapat perpaduan ciri khas budaya dari beberapa kelompok pendukung yang berbeda. Ada komunikasi iman di antara bermacam-macam kelompok peraya dengan cara pengungkapan berbeda berdasarkan kekhasan budayanya.[30] Tidak hanya ada perpaduan antara dua budaya (romawi dan satu budaya setempat). Hal ini sering dialami di dalam perayaan liturgi yang diselenggarakan di kota-kota metropolitan yang para perayanya terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya. Interakasi ini lebih permanen dibandingkan dengan kemungkinan perayaan liturgi yang diselenggarakan dalam pertemuan-pertemuan nasional atau internasional yang dihadiri oleh umat beriman dari berbagai suku atau bangsa. Masing-masing pendukung budaya mengungkapkan imannya di dalam perayaan itu dengan menggunakan unsur-unsur budayanya yang khas (Batak, Sunda, Jawa, Bali, Sumba, Dayak, Sikka-Flores, Papua). Misalnya di kota Roma dirayakan Ekaristi dengan nyanyian Gregorian dalam bahasa Latin, bacaan dalam bahasa Italia, Perancis, Inggris, cara perarakan bahan persembahan menurut budaya India, tarian gaya Indonesia, lagu khas Jepang dan Korea. Meskipun pengalaman ini berlangsung mungkin sekitar 2 jam saja, namun dapat menjadi sebuah pengalaman Pentakosta yang mengagumkan dan membawa dampak positip yang kuat dan bertahan lama bagi setiap orang yang mengambil bagian dalam perayaan tersebut sebagaimana dialami oleh para rasul sesudah peristiwa Pentakosta.

Dalam hal ini dibutuhkan kesediaan untuk menerima ungkapan budaya lain apa adanya sebagai tanda penghargaan terhadap kebhinekaan cara untuk mengungkapkan satu iman yang sama. Hal ini hendaknya meyakinkan kita untuk mengutamakan penghayatan iman yang sama dengan cara pengungkapan yang berbeda berdasarkan latarbelakang budaya yang khas. Keterbukaan seperti itu kita butuhkan pada masa sekarang dan lebih lagi di masa depan ketika kemungkinan pertemuan berbagai budaya yang berbeda tidak dapat dielakkan. Globalisasi dapat membawa dampak negatip karena bisa menghancurkan kekhasan budaya setempat dengan pendukung dalam jumlah kecil. Namun keyakinan akan manfaat dari interkulturasi dapat membantu kita menghadapi dampak negatip dari globalisasi itu. Liturgi yang interkulturatif dapat sangat menguatkan dan mempersatukan karena di dalam perayaan itu kita menghargai satu sama lain dan dengn budaya yang berbeda-beda kita bersatu dalam iman untuk memuliakan Tuhan yang sama.

Penyesuaian menurut kaidah-kaidah liturgis

Apapun istilah yang dipakai, seluruh proses penyesuaian yang dilaksanakan dalam liturgi perlu memperhatikan kaidah-kaidah liturgis selain dasar teologis-biblis dan kultural serta pastoral.[31] Liturgi sebagai perayaan pada dasarnya adalah kegiatan yang selalu mengalami proses penyesuaian dengan para peraya dan situasi atau lingkungan sekitar. Maka para perancang dan pelaksana liturgi hendaknya mengetahui tuntutan-tuntutan liturgis dalam hal penyesuaian. Berdasarkan hakekat dan tradisi liturgi dapatlah disebut beberapa asas liturgis demi penyesuaian.

1. Penyesuaian dalam liturgi pertama-tama adalah karya Tuhan. Liturgi yang sesuai dengan kebutuhan umat, adalah pertama-tama hasil karya Allah. Tuhanlah yang berusaha menyesuaikan diri-Nya dalam liturgi dengan cara sedemikian sehingga manusia bisa melihat, mendengar, mencium, meraba atau menyentuh-Nya dalam liturgi. Allah sekian rela dan rendah hati menyesuaikan diri-Nya dengan manusia. Untuk memperdengarkan sabda-Nya, Allah rela menggunakan mulut dan suara lektor atau diakon dan imam. Untuk menjadi makanan dan minuman surgawi bagi manusia yang kelaparan dan kehausan, Allah rela memberi diri-Nya dalam rupa roti dan anggur. Oleh karena itu kalau para peraya membuat penyesuaian dalam liturgi, itu berarti mereka mengambil bagian dalam karya Allah. Para peraya (termasuk perancang, petugas khusus dan pemimpin) tidak dapat mengandalkan kegiatan penyesuaian liturgi sebagai karyanya sendiri. Penyesuaian liturgi sebagai upaya para peraya akan sungguh berarti kalau dilaksanakan sebagai partisipasi dalam karya Allah untuk menyelamatkan manusia. Jadi penyesuaian liturgi terjadi sebagai karya Allah dan diteruskan oleh para petugas khusus yang berusaha meneruskan tindakn penyesuaian Allah dengan merancang dan melaksanakan liturgi sedemikian rupa sehingga sungguh menggugah dan membarui para peraya.

2. Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja yaitu upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan pertemuan antara Allah dan manusia dalamnya terjadi dialog bukan monolog. Liturgi sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka penyesuaian dari pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu ditanggapi oleh semua peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha menyesuaikan diri dengan Allah serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman liturgi terutama pedoman umum mengenai hal-hal pokok dan penting yang dipandang sebagai unsur pembentuk liturgi.[32] Arah penyesuaian terakhir sering kurang mendapat perhatian dalam pembicaraan mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan dalam diskusi dan proses penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat liturgi itu sesuai atau cocok untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian liturgi menjadi pincang.

3. Arah penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. Sebab liturgi adalah penghormatan dan kemuliaan bagi Allah yang agung dalam karya penyelamatan.[33] Bila penyesuaian itu mengurangkan atau menghilangkan kemungkinan untuk menyampaikan pujian dan syukur kepada Allah dan lebih menomorsatukan keinginan yang kuat untuk meminta atau mendesak Tuhan lewat permohonan-permohonan saja, maka penyesuaian itu tidak mengindahkan sikap dasar liturgis yang utama.

4. Litugi adalah perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah.Kehadiran Allah dalam liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain. Inilah yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda dengan suasana profan. Maka perayaan liturgi bukanlah suatu upacara sipil biasa meskipun unsur-unsur tertentu dari suatu upacara sipil dapat dialami dalam liturgi. Bila penyesuaian itu mengarahkan para peraya kepada suatu suasana resepsi yang penuh acara entertainment, maka perlu ditinjau kembali karena perayaan seperti itu kehilangan suasana khas liturgis yang sakral.

5. Inti semua perayaan liturgi adalah misteri Paskah yang mencapai puncak dalam hidup dan karya Yesus khususnya penderitan-kematian dan kebangkitan.[34] Kedua aspek ini perlu dialami: kematian dan kebangkitan, kurban dan keselamatan, derita dan sukacita, keheningan dan keaktipan, gelap dan terang. Pada kesempatan tertentu salah satu aspek dari misteri yang utuh itu lebih digarisbawahi, namun tidak berarti aspek yang lain dihilangkan. Maka penyesuaian yang hanya mau mengenangkan satu aspek dan melupakan yang lain akan menimbulkan kepincangan dalam penghayatan misteri keselamatan dalam liturgi. Jadi menggaribawahi salah satu aspek bukan berarti menghilangkan atau melupakan aspek lain dari misteri keselamatan dalam liturgi.

6. Sabda Allah yang tertulis atau Kitab Suci mendapat tempat penting dalam Liturgi. Allah sendiri hadir dan langsung menyapa para peraya ketika Kitab Suci dimaklumkan. Keunggulan Kitab Suci dalam setiap perayaan liturgi tidak dapat digantikan oleh bacaan lain. Mengganti pemakluman Kitab Suci dengan bacaan lain yang diambil dari sumber-sumber non biblis (seperti konstitusi salah satu Tarekat Religius atau manifestasi salah satu kelompok yang disebarluaskan lewat surat kabar atau majalah) bukanlah cara penyesuaian yang terpuji. Ada petugas khusus yang memakluman secara agung dan para peraya lain mendengarkan dengan penuh rasa hormat. Setiap upaya penyesuaian yang mengaburkan dimensi “pemakluman yang agung” dari pihak Allah dan “mendengarkan dengan penuh hormat” dari pihak manusia peraya, sebenarnya tidak mengindahkan “arah menurun” dan “arah mengatas” dari karya penyelamatan yang sedang terjadi dalam liturgi khususnya pada saat liturgi sabda. Sering dimensi ini diabaikan dengn alasan partisipasi aktif dari umat sebanyak mungkin. Tetapi benarkah demikian?

7. Penyesuaian perlu memperhatikan partisipasi aktif dan penuh sesuai dengan fungsi liturgis masing-masing dalam perayaan. Umat, anggota koor, dirigen, pemazmur, lektor, diakon, imam bisa aktif bersama-sama tetapi pada saatnya yang tepat karena alasan liturgis masing-masing aktif melaksanakan tugasnya yang khas. Kalau ada lektor yang memaklumkan sabda, mengapa semua umat mau membaca seperti lektor. Bila lektor memaklumkan sabda Tuhan, para peraya lain mendengarkan dengan sungguh. Mungkin masalah muncul karena lektor memaklumkan dengan suara dan artikulasi kurang jelas, atau pra peraya lain tidak mendengar dengan penuh perhatian. Maka jalan keluarnya adalah latihan lektor untuk memaklumkan dengan baik dan latihan para peraya untuk mendengar dengan penuh perhatian dn hormat.

8. Hal-hal yang pokok dan tidak pokok perlu diperhatikan. Untuk yang pokok Gereja selalu berusaha untuk mempertahankannya sedapat mungkin.[35] Sedangkan untuk hal-hal yang tidak pokok terdapat kemungkinan-kemungkinan penyesuaian yang lebih besar. Yang disebut pokok adalah hal-hal penting dan sekaligus inti dalam setiap perayaan liturgis. Hal-hal itu tidak dapat dihilangkan karena merupakan “materia dan forma sacramenti” yang menjamin sahnya perayaan liturgis dan juga menjamin keutuhan iman yang diakui oleh Gereja universal.[36] Hal-hal pokok yang dimaksudkan oleh dokumen-dokumen Gereja adalah:

a. Dalam hal isi perayaan: Misteri Paskah.

b. Dalam hal siapa yang bertindak: Allah Tritunggal (Bapa, Putera, Roh Kudus) dan Gereja: Imam dan umat.

c. Dalam hal tindakan: yang menjadi tindakan Allah paling pokok adalah menguduskan, menyelamatkan (forma sacramenti). Sedangkan tindakan umat paling pokok adalah bersyukur.

d. Dalam hal peralatan atau bahan atau benda (materia sacramenti): yang paling penting untuk dapat melaksanakan tindakan pokok (teks Kitab Suci, teks Doa Syukur Agung, roti dan anggur, atau air untuk pembaptisan).

e. Dalam hal bagian-bagian perayaan (khususnya Ekaristi): Liturgi Sabda dan Liturgi Ekristi. Liturgi Sabda sebagai “bagian” pokok tidak dapat dihilangkan atau diganti (misalnya dengan kegiatan devosional: doa rosario, jalan salib). Demikian pula Liturgi Ekaristi tidak dapat dihilangkan atau diganti dengan kegiatan lain karena merupakan bagian pokok.

f. Dalam hal unsur: misalnya pemakluman Sabda Tuhan dari Kitab Suci tidak dapat diganti dengan bacaan non biblis. Unsur Doa Syukur Agung juga tidak dapat dihilangkan karena merupakan unsur pokok.

Di samping hal-hal pokok terdapat hal-hal yang tidak pokok yaitu:

a. Dalam hubungan dengan isi perayaan: aspek-aspek tambahan dari kehidupan orang kudus/mati maupun orang yang masih hidup (misalnya hari ulang tahun kelahiran).

b. Dalam hubungan dengan siapa yang bertindak dalam perayaan: petugas-petugas khusus yang lain, misalnya penyanyi solo, pembawa bahan persembahan.

c. Dalam hubungan dengan tindakan: ada kegiatan yang bersifat fakultatip misalnya perarakan dengan pedupaan atau pernyataan damai. Tergantung pada tingkat perayaan.

d. Dalam hal peralatan atau bahan: misalnya dalam perayaan Ekaristi ada bahan-bahan tambahan seperti buah-buahan yang dibawa waktu perarakan persembahan.

e. Dalam hal bagian-bagian perayaan Ekaristi: Ritus Pembuka dan Ritus Penutup. Pada kesempatan tertentu Ritus Pembuka dapat diganti dengan kegiatan liturgis lain seperti pada Hari Minggu Palma atau pada Hari Jumad Agung. Demikian pula Ritus Penutup seperti pada Hari Kamis Putih ketika merayakan kenangan akan Perjamuan Tuhan. Dalam perayaan Ekaristi Pemakaman, setelah komuni, Ritus Penutup dihilangkan dan diganti dengan pemberkatan jenasah dan perarakan menuju tempat pemakaman.

f. Dalam hubungan dengan unsur perayaan. Perlu dibedakan “bagian” dan “unsur” perayaan. Sebagai bagian, Liturgi Sabda tidak dapat diganti. Tetapi unsur tertentu dari Liturgi Sabda dapat dihilangkan misalnya “Syahadat” atau “Doa Umat” pada hari biasa.

Wasana Kata

Penyesuaian liturgi (akomodasi, adaptasi-akulturasi, inkulturasi dan interkulturasi) merupakan suatu hal penting. Penyesuain liturgi dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan lain dari Gereja seperti katekese, persekutuan persaudaraan dan semangat pelayanan. Lingkungan masyarakat, budaya, situasi konkrit, pergulatan hidup serta alam sekitar mempunyai dampak terhadap perencanaan dan penyelenggaraan perayaan liturgis yang turut membentuk sikap dari para peraya. Orang beriman yang kreatif akan selalu menemukan cara terbaik untuk menyesuaikan diri dengan kehendak dan rencana Tuhan yang agung yang dirayakan dalam liturgi. Belajar dari Tuhan sendiri yang rela menyesuaikan Diri dengan situasi dan kebiasaan manusia, para peraya dapat berusaha menyesuaikan diri tidak hanya di dalam perayaan tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Terbuka terhadap bimbingan Allah Roh Kudus yang telah memungkinkan proses inkarnasi-inkulturasi dan sangat aktif dalam peristiwa Pentakosta, manusia beriman dapat dengan mudah menyesuaikan diri dalam setiap situasi dan kebudayaan untuk menyaksikan dan menghayati dengan teguh anugerah iman dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan. Bersama Yesus Kristus kita mengupayakan penyesuaian liturgi bukan untuk mencerai-beraikan kita tetapi untuk semakin mempersatukan kita dengan Allah dan sesama.

CATATAN KAKI:

1. Lihat tulisan atau buku-buku mengenai hal ini antara lain R.Francis, “Adaptation, Liturgical,” dalam The New Dictionary of Sacramental Worship, (ed. Peter E. Fink, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1990), 14-25; Mario Saturnino Dias (ed), Evangelisation and Inculturation, (Pauline Publications, Mumbai, 2001); Mario Saturnino Dias (ed), Rooting Faith in Asia: Sourcebook for Inculturation (Claretian Press, Bangalore, India and Quezon City, Philippines, 2005); Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis (The Liturgical Press Collegeville, Minessota, 1992); Edmund S. Glenn with Christine Glenn, Man & Mankind, Conflict & Communication Between Cultures (Ablex Publishing Corporation, Norwood, New Jersey, 1981); Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005). [↩]

2. Bdk Bernard Boli Ujan, “Siapa Yang Kreatif Dalam Misa Kreatif,” dalam Liturgi: Sumber Dan Puncak Kehidupan Vol. 16, No. 01, Januari-Pebruari 2005, 24-25. [↩]

3. Onscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation, Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 13. [↩]

4. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (terjemahan Komisi Liturgi KWI, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987) 100. [↩]

5. “Akomodasi yang menjadi wewenang penuh pelayan ibadat, dalam pelaksanaan perayaan-perayaan hendaknya jangan diremehkan, karena sesungguhnya sesuai dengan jiwa SC 38-39. Justru itulah satu-satunya bidang penyesuaian di mana pelayan ibadat masing-masing dapat menggunakan wewenang dalam liturgi. Akomodasi bukanlah suatu bentuk hiburan bagi orang-orang tolol yang terpaksa diterima dengan enggan. Pilihan bacaan dan doa-doa yang tepat sangat menentukan untuk membuat seltiap perayaan liturgis menjadi penuh makna, entah itu ibadat Romawi, Bizantium entah India. Di sinilah liturgi dapat menyentuh kelompok umat Kristen. Dan hanya seorang pastorlah yang dapat merasakan perasaan umatnya dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka. Bahkan hal yang begitu kecil seperti rubrik ‘Dia menyapa mereka dengan kata ini atau dengan kata-kata senada’ adalah penting, karena hal-hal kecil semacam itu memberi kemungkinan adanya suasana yang lebih hangat dan lebih pribadi.” Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 66. [↩]

6. G. Arbuckle, “Inculturation, Not Adaptation: Time to Change Terminolgy,” Worship 60/6 (1986) 512-520. Sebenarnya adaptasi bukanlah suatu istilah antropologis. Tetapi istilah ini dipakai dalam Konstitusi Liturgi SC 37-40 untuk memberi pedoman tentang penyesuaian liturgi dengan budaya setempat. Maka dipakai istilah “adaptasi budaya”. Arbuckle tidak setuju dengan penggunaan istilah adaptasi dalam bidang liturgi karena berpendapat bahwa istilah itu di masa lampau dipakai untuk menyatakan manipulasi budaya sebagai metode para penjajah dalam melangengkan kekuasaan di daerah jajahan. Maka Arbuckle mengusulkan agar istilah itu tidak lagi dipakai dalam bidang teologi dan liturgi, dan sebaiknya adaptasi diganti dengan istilah inkulturasi untuk menggambarkan proses implikasi injili menurut teologi Gereja setempat. Namun buku-buku liturgi resmi masih juga menggunakan istilah adaptasi budaya. Meskipun ada yang mencampuradukan atau menyamakan istilah adaptasi dan inkulturasi namun lebih baik kalau adaptasi dimaknai sebagai penyesuaian pada umumnya termasuk dalam bidang budaya, sedangkan inkulturasi dan akulturasi adalah cara-cara penyesuain khusus dalam bidang budaya. Lihat juga Mark R.Francis, “Adaptation, Liturgical,” dalam The New Dictionary of Sacramental Worship,(ed. Peter E. Fink, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1990), 14-15; Bdk Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 24. [↩]

7. Menurut Shorter (Towards a Theology of Inculturation, London, 1988, 6-8, 12), akulturasi berarti pertemuan antara satu budaya dengan yang lain, atau pertemuan antara dua budaya yang berbeda. Dalam pertemuan itu muncullah rasa saling menghargai dan toleransi. Shorter juga mengatakan bahwa pertemuan itu terjadi pada hal-hal lahiriah. [↩]

8. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 11. [↩]

9. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 27. [↩]

10. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, (London, 1988) 6-8, 12 [↩]

11. G. Barney, “The Supracultural and the Cultural: Implications for Frontier Missions,” The Gospel and Frontier Peoples (Pasadena, 1973); G.D. Napoli, “Inculturation as Communication,” Inculturation 9 (1987) 71-98; Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 25. [↩]

12. A. Crollius, “What is So New About Inculturation?” Gregorianum 59 (1978) 721-738. [↩]

13. J.B. Banawiratma, “Menjernihkan Inkulturasi,” dalam Inkulturasi, Bina Liturgia I (Yogyakarta, 1985) 19. Istilah inkulturasi barangkali dimaksudkan sebagai padanan dari kata enculturation. Sebenarnya dalam bahasa Latin tidak ada kata enculturatio dan inculturatio. Hanya adaincultus (tidak beradab, tidak berbudaya, kasar), cultus (adat kebiasaan, cara hidup, budaya) dan cultura (pembudayaan, pengabdian, penghormatan, upacara liturgis). Lihat P.Th L. Verhoeven & Marcus Carvallo, Kamus Latin Indonesia (Penerbit Nusa Indah-Percetakan Arnoldus, Ende 1969) 513 dan 162; Charlton T. Lewis, Latin DictionaryFounded on Andrews’ Edition of Freund’s Latin Dictionary (The Clarendon Press, Oxford, 1996) 930 dan 488-489. Dalam bahasa Latin biasanya tidak ada awalan en tetapi ada awalan in. Maka jauh lebih memungkinkan menggunakan istilah inculturatio sebagai suatu istilah teknis baru (neologisme) dengan arti yang berbeda dari incultus. Menurut Shorter,enculturation sebagai istilah dalam bidang antropologi sebenarnya sama artinya dengan socialization yaitu proses belajar dengannya seseorang masuk ke dalam kebudayannya karena berusaha mengenal dan menghayati adat istiadat serta nilai-nilai budayanya. A. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 5-6; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26. [↩]

14. Johanes Paulus II, “Address to the Pontifical Biblical Commission,” Fede e cultura alla luce della Bibbia (Turin, 1981) 5. [↩]

15. Johanes Paulus II, Catechesi tradendae, no 53. [↩]

16. Johanes Paulus II, Slavorum Apostoli (2 Juni 1985) dan Redemptoris Missio, 7 Desember 1990, no 52. Lihat juga instruksi mengenai inkulturasi liturgi yang dikeluarkan pada tahun 1994 oleh Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, De Liturgia Romana et Inculturazione (Liturgi Romawi dan inkulturasi), no. 4, terjemahan Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2004, 13-14. Seterusnya disingkat LRI. [↩]

17. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 29 [↩]

18. A. Shorter, Towards a Theology of Inculturation, 11; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 28-29. [↩]

19. Peter C. Phan, In Our Own Tongues: Asian Perspectives on Mission and Inculturation (Maryknoll, N.Y., Orbis Books, 2003), xii, seperti dicatat oleh Stephen B. Bevans & Roger P. Schroeder, Terus Berubah – Tetap Seti:, Dasa, Pola, Konteks Misi (terjemahan Yosef Maria Florisan, Penerbit Ledalero, 2006), 663. [↩]

20. Hubungan yang erat antara evangelisasi dan inkulturasi dapat dibaca dalam Evangelisation and Inculturation, ed. Fr. Mario Saturnino Dias (Pauline Publications, Mumbai, 2001); Rooting Faith in Asia: Sourcebook for Inculturation, ed. Mario Saturnino Dias (Claretian Press, Bangalore, India and Quezon City, Philippines, 2005); Evangelisation in the Light of Ecclesia in Asia, ed. Fr. Mario Saturnino Dias (Clarletian Publications,Bangalore, 2003), khususnya artikel Sr. Ko Ha Fong Maria, “Evangelisation as Inculturation as seen in Ecclesia in Asia,” dan jawaban-jawaban dari Fr. C.Joy Parera dan Sis. Techie Rodriguez, halaman 188-225. [↩]

21. C. Valenziano, “La religiosita popolare in prospettiva antropologica,” Ricerche sulla religiosita popolare (Bologna, 1979) 83-110; A. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 26. [↩]

22. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 29-30. [↩]

23. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 104. [↩]

24. LRI, no 56. “Untuk Tatacara Inisiasi Kristen, Konferensi Waligereja ‘harus menguji dengan saksama dan bijaksana, unsur-unsur mana yang layak diambil dari tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa.’ Di daerah-daerah misi Konferensi Waligereja harus memutuskan apakah tatacara inisiasi yang berlaku di kalangan bangsa yang bersangkutan dapat disesuaikan untuk Tatacara Inisiasi Kristen. Konferensi Waligereja juga harus memutuskan apakah tatacara itu sebaiknya dipakai. Tetapi perlu diingat, bahwa istilah ‘inisisi’ tidak selalu mempunyai arti yang sama atau menyatakan hal yang sama bila istilah itu digunakan dalam upacara inisiasi di kalangan bangsa tertentu, atau bila, sebaliknya, digunakan untuk proses inisiasi Kristen, yang melalui upacara-upacara katekumenat mengantar katekumen ke persatuan dengan Kristus dalam Gereja lewat Sakramen Baptis, Krisma, dan Ekaristi.” [↩]

25. LRI, no 57. “Di banyak tempat tatacara perkawinanlah yang menuntut penyesuaian paling banyak agar tidak asing untuk kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat. Untuk menyesuaikannya dengan kebiasaan berbagai daerah dan bangsa, setiap Konferensi Waligereja mempunyai ‘kesempatan mempersiapkan tatacara perkawinan untuk wilayahnya sendiri, yang harus serasi dengan hukum yang menuntut agar pelayan tertahbis atau awam, seturut keadaan, minta dan mendapat persetujuan timbal balik dari kedua mempelai yang akan mengikat janji nikah dan memberi mereka berkat mempelai. Tatacara khas setempat ini, tentu saja, harus secara jelas mengungkapkan arti perkawinan kristen, menekankan rahmat sakramen, dan menggarisbawahi tugas-tugas suami-istri.” Lihat juga KHK, kanon 1108 dan 1112, kanon 77; Upacara Perkawinan, Pedoman Umum, no 42. [↩]

26. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 105 [↩]

27. LRI, no 58. “Pada segala bangsa, pemakaman selalu diliputi upacara-upacara khusus, yang kerapkali mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Untuk menjawab kebutuhan yang beraneka-ragam Ritus Romawi menyediakan beberapa bentuk tatacara pemkaman. Konferensi Waligereja harus memilih yang sesuai dengan kebiasaan setempat. Mereka akan mempertahankan semua yang baik dalam tradisi keluarga dan kebiasaan setempat, dan memastikan bahwa tatacara pemakaman mengungkapkan iman kristen akan kebangkitan dan memberikan kesaksian tentang nilai-nilai yang benar dari Injil. Dalam cakrawala inilah tatacara pemakaman dapat menampung kebiasaan-kebiasaan dari berbagai kebudayan dan menaggapi kebutuhan-kebutuhan setiap daerah sebaik mungkin.” Lihat juga Upacara Pemakaman, Pedoman Umum, no. 4 dan no 9 serta 21:1-3, juga no 2; SC, no. 81. [↩]

28. LRI, no 59. [↩]

29. LRI no. 54. “Untuk perayaan Ekaristi, Buku Misale Romawi (Missale Romanum), ‘meskipun mengizinkan (…) adanaya perbedaan-perbedaan yang sah dan penyesuaian-penyesuaian menurut ketentuan Konsili Vatikan II’, harus tetap menjadi ‘tanda dan alat persatuan’ Ritus Romawi dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Pedoman Umum Misale Romawi menggarisbawahi bahwa ‘sesuai dengan Konstitusi Liturgi, setiap Konferensi Waligereja memiliki kuasa menentukan kaidah-kaidah untuk wilayahnya sendiri, yna g cocok dengan tradisi dan ciri khas bangsa, daerah dan kelompok yang berbeda-beda.’ Hal yang sama berlaku dalam hal tatagerak dan sikap badan umat beriman, cara-cara menghormati altar dan buku Injil, sayair nyanyian pembuka, nyanyian persiapan persembahan, dan nyanyian komuni, cara salam damai, sayarat-syarat mengatur komuni dengan piala, bahan-bahan altar dan perabot liturgi, bahan dan bentuk bejana suci, busana liturgi. Konferensi Waligereja juga dapat menentukan cara menerimakan komuni.” Jadi dalam hubungan dengan penyesuaian Ekaristi, LRI tidak menyebut kemungkinan perubahan radikal dalam tata perayaan (susunan) Ekaristi tetapi hanya menunjukkan penyesuaian unsur-unsur tertentu dalam kerangkan tata perayaan Ekaristi ritus romawi. Dalam TPE 2005 terdapat sejumlah penyesuaian (akomodasi dan adaptasi-akulturasi) yang telah disahkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia dan disetujui oleh Kongregasi Ibadat di Roma. Lihat juga Bernardus Boli Ujan, “TPE 2005 Miskin Penyesuaian?” dalam majalah LITURGI: Puncak dan Sumber Kehidupan, VOL 16, NO 06 – 2006, 24-25. [↩]

30. Mengenai komunikasi antar budaya lihat Edmund S. Glenn with Christine Glenn, Man & Mankind, Conflict & Communication Between Cultures, 1-4, khususnya bab 1: “The Analysis of Intercultural Communication”. [↩]

31. Anscar J. Chupungco, Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis, 58-71. [↩]

32. Penyesuaian tidak hanya dituntut dari pihak liturgi, Gereja, atau Tuhan tetapi juga dituntut dari para peraya terus menerus untuk menyesuaikan seluruh dirinya dengan misteri keselamatan, karya dan kehendak Tuhan serta pandangan Gereja dan tuntutan liturgi. Dengan demikian para peraya dapat mencapai tujuan atau inti dari setiap upaya penyesuaian: semakin peka dan mampu menjadi seperasaan, sepikiran, sehati, serupa dengan Yesus Kristus untuk memuliakan Allah dan mengambil bagian dalam hidup ilahi. Lihat Bernardus Boli Ujan, “TPE 2005 Miskin Penyesuaian?” dalam
majalah Liturgi:Sumber dan Puncak Kehidupan, Vol. 16, No. 06 – 2006, 24-25. [↩]

33. “Salah satu asas yang sangat penting adalah bahwa ‘liturgi pertama-tama adalah penghormatan atas keagungan ilahi’ (SC 33)….Liturgi adalah doa Kristus yang utuh, kepala dan seluruh anggota. Aspek ibadat ini sedemikian hakiki bagi liturgi; tanpa aspek ini perayaan merosot menjadi upacara yang hampa. Liturgi yang tidak memberi kemungkinan adanya pertemuan pribadi dengan Allah kehilangan sifatnya yang sangat mendasar. … Masalah ini sering timbul dari interpretasi yang terlalu horisontal tentang kata perayaan. Misalnya: perayaan yang terlalu menonjolkan dimensi antarpribadi sehingga merusak unsur doa; sharing gagasan yang bertele-tele; keterlaluan menekankan relevansi menusiawi dan kemasyarakatan dari perayaan, sikap masa bodoh yang sering kali berakhir pada kelalaian dan kebosanan. Semuanya ini membuat liturgi menjadi tidak lebih dari sekedar pertemuan antarindividu yang mungkin menyenangkan atau mungkin juga tidak menyenangkan. Memang harua ada interaksi, dan perayaan harus mempertimbangkan situasi manusiawi; tetapi jangan sampai mengurbankan ibadat kepada Allah, perjumpaan pribadi manusia dengan Allah, atau partisipasi dalam misteri Kristen yang diungkapkan dan dihadirkan oleh perayaan itu..” Lihat Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 81-82. [↩]

34. Sebagai pola dasar dalam proses inkulturasi, misteri paskah perlu dihayati oleh Gereja. Maka dalam Pedoman Inkulturasi Liturgi yang dirumuskan oleh Komisi Liturgi KWI dikatakan, “Di satu pihak Gereja harus berani mati terhadap warna kultural yang disandangnya sewaktu datang ke suatu tempat. Ia harus berani menanggalkan busana kultural yang lama itu, lalu mengenakan busana kultural yang baru, yang selarlas dengan adat budaya setempat. Di situlah ia akan bangkit dan tampil dengn wajah baru yang serba tampan dan serasi dalam konteks sosio-budaya setempat. Di lain pihak, kebudayaan setempat pun harus berani mati intuk dibangkitkan. Unsur-unsur yang tidak selaras dengan iman harus ditanggalkan. Maka tinggallah unsur-unsur yang baik, yang bila dipadukan dengan iman kristen akan menampilkan kekayaan baru di tengah tradisi bangsa yang sudah ada.” Komisi Liturgi KWI, Pedoman Inkulturasi Liturgi, 1996, hlm. 3 [↩]

35. LRI no. 36: “Penyesuaian liturgi itu haruslah ‘mempertahankan kesatuan hakiki ritus romawi.’ Kesatuan hakiki ini biasa diungkapkan dalam buku-buku editio typica, yang diterbitkan dengan kewibawaan Bapa Suci, dan dalam buku-buku liturgi yang disahkan oleh Konferensi Waligereja untuk wilayah yang bersangkutan dan dikukuhkan oleh Takhta Suci. Karya inkulturasi tidak berarti menuntut diciptakannya rumpun liturgi baru; inkulturasi menanggapi kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus Romawi.” Lihat juga amanat yang diberikan oleh Yohanes Paulus II kepada para peserta Sidang Pleno Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, 26 Januari 1991, no. 3. [↩]

36. Presidium KWI dalam rapatnya tgl 14-16 Januari 2003 merumuskan sikapnya mengenai Ekaristi sebagai berikut: “Dalam hal-hal pokok kita perlu mengikuti ketentuan Gereja universal, tetapi dalam hal-hal yang tidak pokok kita tidak usah bersikap kaku mengingat adanya aneka perbedaan budaya dan bangsa. Bahkan di Indonesia sendiri ada kebhinekaan yang amat besar”. Ketika mendiskusikan pengertian dari “hal pokok” dan “tidak pokok”, para anggota Dewan Inti Komisi Liturgi KWI akhirnya menyepakati beberapa unsur yang menjadi ciri dari hal yang pokok dan tidak pokok.

Arti “Yang Pokok”

a) Unsur yang harus ada dan tidak dapat dihilangkan atau digantikan.

b) Unsur yang mampu menjaga persatuan gereja. Mempertahankan atau memelihara unsur itu akan menjamin atau menjadi suatu tanda persatuan Gereja, sebaliknya mengabaikan unsur itu akan merongrong kesatuan iman.

c) Unsur yang menjamin kontak hidup dengan Kristus Tuhan dan Pengantara, berarti unsur tersebut menjamin relasi dan komunikasi dengan Allah Tritunggal dan para kudus.

d) Sakralitas yaitu keseluruhan suasana perayaan yang memungkinkan para peraya mengalami kehadiran Allah yang kudus dan karya-karya-Nya yang menguduskan.

e) Partisipasi atau keterlibatan dalam perayaan.

f) Forma dan materia sakramen yang menjamin syahnya suatu perayaan liturgi.

g) Unsur yang langsung berkaitan dengan ajaran resmi Gereja (magisterium) universal. [↩]

Sumber: http://katolisitas.org/2010/08/06/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/

baca selanjutnya...

Jumat, 03 September 2010

Mengenal Musik Liturgi

Pengantar

Berbicara tentang musik - liturgis, kita ingat akan nama - nama lain yang juga sering kita dengar seperti: musik - gereja, musik - rohani, musik - suci dan lain - lain. Dalam rangka mengerti kekhasan musik liturgi baiklah lebih dahulu kita memahami arti dari istilah-istilah lain itu dan hubungannya dengan musik - liturgis.

Jenis Musik

“Musik-gereja” atau musica eccelsiastica adalah istilah yang digunakan oleh para pengikut Kristus atau Gereja ketika persekutuan beriman ini menyadari kekhasannya dalam mengekspresikan iman lewat musik terutama dalam ibadat atau liturgi. Istilah ini mengacu pada tatanan bunyi dengan melodi tertentu tanpa teks atau sesuai dengan bentuk teks yang mengungkapkan baik isi hati umat beriman maupun ajaran dan iman Gereja. Musik ini dapat dihasilkan dengan bantuan alat/instrumen atau/dan dengan suara penyanyi. Karena mengungkapkan iman yang diajarkan dan dihayati oleh umat beriman maka musik Gereja memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik dari umat yang beragama lain meskipun dipengaruhi juga oleh musik agama lain misalnya dari musik orang Yahudi. Musik gereja pada umumnya adalah salah satu bentuk dari musik-religus atau musik-rohani.

Yang dimaksudkan dengan “musik-religius” (musica religiosa) atau “musik-rohani” adalah musik yang mengungkapkan atau mengandung tema-tema rohani. Musik atau lagu rohani ini dimiliki umat agama manapun. Bahkan ada tema musik-rohani yang umum diterima oleh umat manapun karena bersifat universal. Baik melodi maupun teksnya mengungkapkan pengalaman rohani yang diterima oleh orang beriman dari berbagai agama. Ketika suatu musik/lagu rohani mengungkapkan pengalaman khusus dari umat agama tertentu, maka ia menjadi musik/lagu yang khas misalnya lagu-rohani khas Yahudi atau khas Hindu dan Budha atau khas Kristen dan Islam. Musik-rohani itu jadi khas Kristiani bila mengungkapkan keyakinan iman akan Kristus Tuhan dan Penyelamat atau akan Tritunggal Mahakudus serta pokok iman lain yang diyakini orang Kristiani. Itulah yang kita namakan secara umum musik-gereja. Di dalam lingkup Gereja sendiri, musik-rohani dalam arti sempit berarti segala macam musik/lagu yang mengungkapkan pengalaman rohani khas Gereja tetapi tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam perayaan-perayaan liturgis.

Ada juga istilah “musik-suci” (musica sacra) yang pernah dipakai oleh Gereja Katolik dalam arti segala macam musik-rohani atau musik-gereja yang digubah khusus untuk ibadat atau perayaan-perayaan liturgis. Kini istilah yang lebih populer adalah “musik-liturgis”. Karena itu sekedar untuk membedakan musik-suci dari musik-liturgis, menurut Gelineau (Voices and Instruments in Christian Worship: Principles, Laws, Applications, Collegeville: The Liturgical Press, 1964) musik-suci dalam arti tertentu mengacu pada semua macam musik yang inspirasinya atau maksud dan tujuan serta cara membawakannya mempunyai hubungan dengan iman Gereja. Lalu apa itu musik-liturgis dan ciri-cirinya?

Ciri-ciri Musik Liturgis

“Musik-liturgis” (khususnya melodi yg dihasilkan oleh alat-alat musik) dan “nyanyian-liturgis” (khususnya teks atau tindakan liturgis yang diberi melodi), dapat dilagukan dengan suara dan bunyi alat-alat musik sebagai pengiring. Baik teks maupun musik dengan melodinya yang secara khas mengekspresikan iman Gereja yang dirayakan dalam liturgi yaitu tentang apa yang dilakukan Allah (karya agung Allah yang menyelamatkan) dan tanggapan manusia beriman (syukur-pujian, sembah-sujud, dan permohonan).

Kita menggunakan istilah “musik-liturgis” dan bukan “musik dalam liturgi” karena dengan “musik-liturgis” mau digarisbawahi pandangan Gereja tentang musik sebagai bagian utuh dari perayaan liturgi dan bukan sebagai suatu unsur luar yang dicopot dan dimasukkan ke dalam perayaan liturgis seakan-akan suatu barang asing atau hal lain dari liturgi lalu diletakkan di tengah perayaan liturgi.

Sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi itu merupakan doa dan bukan sekedar suatu ekspresi seni yang jadi bahan tontonan. Memang musik-liturgi itu mesti indah dan memenuhi persyaratan-persyaratan seni musik/nyanyian pada umumnya, namun lebih dari itu musik-liturgi mengungkapkan doa manusia beriman. Bahkan musik atau nyanyian-liturgis sebagai doa mempunyai nilai tinggi. Sebab musik-liturgi menggerakkan seluruh diri manusia yang menyanyi atau yang menggunakan alat-alat musik (budi, perasaan-hati, mata, telinga, suara, tangan atau kaki dll). Sekaligus demi harmoni dituntut kurban untuk meninggalkan diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan orang lain, dengan tempat, dengan situasi, dengan maksud-tujuan musik/nyanyian liturgis yaitu demi Tuhan dan sesama. Ini memang cocok dengan hakekat dari liturgi sebagai perayaan bersama yang melibatkan banyak orang demi kepentingan umum (kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia, bukan hanya demi diri sendiri). Oleh karena itu Gereja mewarisi pandangan bahwa orang yang menyanyi dengan baik sebenarnya berdoa dua kali (si bene cantat bis orat). Sekali lagi, nilai yang tinggi itu tercapai kalau ada kurban dengan meninggalkan diri sendiri dan bersatu dengan yang lain dalam menyanyi atau bermusik demi kepentingan bersama.

Seni Musik Liturgis

Musik-liturgis sebagai karya seni (bukan tontonan atau pertunjukan) sebenarnya membantu kita semua sebagai peraya untuk mengarahkan seluruh diri kepada inti misteri yang dirayakan dalam liturgi yaitu kepada Tuhan sendiri sebagai sumber segala karya seni. Oleh karena itu cara-cara yang mengalihkan perhatian kita kepada hal lain atau kepada tokoh tertentu perlu diwaspadai. Bisa saja kita memilih seorang artis sebagai pemazmur atau penyanyi solo tetapi ketika ia menjalankan tugasnya tidak boleh ditonjolkan keartisannya, tetapi “fungsi liturgisnya”. Memberikan aplaus kepada si pemazmur atau solist karena suaranya yang bagus lebih merupakan bagian dari suatu acara panggung pertunjukan. Demikian juga pembawa homili yang memilih dan membawakan lagu yang sedang populer di tengah atau di akhir homili (karena ada kaitan dengan tema homili) yang langsung ditanggapi oleh umat dengan tepuk tangan meriah, perlu dipertimbangkan apakah hal seperti itu punya fungsi atau makna liturgis. Padahal ketika imam menyanyikan Prefasi atau Kisah Institusi dalam Doa Syukur Agung dengan suara yang bagus tidak diberi aplaus.

Pertimbangan yang sama dapat kita pakai untuk menilai kebiasaan koor menyanyikan semua lagu selama perayaan liturgis. Sebetulnya koor dengan dirigen yang bagus sungguh berfungsi liturgis kalau dapat membantu semua peraya yang lain untuk menyanyi bersama dengan lebih baik seperti atau mendekati cara koor menyanyi. Kalau dari awal sampai akhir semua nyanyian dibawakan hanya oleh koor, meskipun semuanya sangat mempesona, sebetulnya telah mengurangkan maknanya sebagai musik/nyanyian liturgis. Perlu ada suatu pembagian yang lebih seimbang dalam hal ini.

Proses Menjadi Musik Liturgis

Menerima musik-liturgis sebagai doa liturgis menuntut pula kesediaan setiap peraya atau kelompok peraya untuk menerima musik atau nyanyian yang sudah disepakati oleh Gereja untuk dipakai di dalam perayaan-perayaan liturgi. Musik/nyanyian yang ada di dalam buku-buku nyanyian yang diterbitkan dengan nihil obstat dan imprimatur pimpinan Gereja, dipandang sebagai musik-liturgis. Tentu melewati proses seleksi yang dibuat oleh orang-orang yang punya kemampuan dalam bidangnya hingga mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja. Kesempatan terbuka bagi para komponis untuk mencipta lagu-lagu bagu yang lebih sesuai dengan rasa seni musik orang setempat, namun untuk dipakai sebagai musik/nyanyian liturgis perlu menempuh prosedur seleksi hingga mendapat pesetujuan resmi untuk dipakai dalam perayaan liturgi. Patut kita puji inisitip-inisitip untuk mencipta dan menemukan lagu-lagu baru yang lebih seusai dengan budaya setempat dan kebutuhan liturgis, misalanya dalam misa dengan “lagu-lagu alternatif”. Akan tetapi perlu kita waspadai kecenderungan menggunakan nyanyian-nyanyian baru itu tanpa peduli pada proses untuk “menjadi milik besama” dari Gereja, apalagi kalau yang jadi patokan utama adalah rasa suka, tertarik, tersentuh tanpa mengindahkan persyaratan liturgis.

Kadang terjadi bahwa kita memilih musik/nyanyian tertentu untuk perayaan liturgi karena sudah bosan dengan yang lama padahal yang baru itu belum tentu memenuhi persyaratan liturgis. Ini tantangan buat kita: merasa bosan dengan musik/nyanyian liturgis karena terus menerus menyanyikan yang sama (lama) atau merasa tidak tertarik, tidak suka, tidak tersentuh, tidak tergerak. Kita cendrung tersentuh dengan yang baru. Maka serta merta kita mencari dan membawakan musik/nyanyian baru dalam liturgi, tetapi tanpa pertimbangan atau seleksi. Dengan demikian dapat terjadi bahwa kita menggunakan musik/nyanyian yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk perayaan liturgis.

Jadi bukan soal utama suka atau tidak suka, menarik atau tidak menarik, menyentuh atau tidak menyentuh, baru atau lama tetapi apakah telah menjadi “milik bersama” dari Gereja karena disepakati sebagai musik/nyanyian liturgis. Sebuah nyanyian atau musik diterima sebagai “milik bersama” bukan hanya karena telah dimasukkan ke dalam buku nyanyian resmi tetapi juga karena dilatih bersama, dinyanyikan bersama dan dipahami serta dihayati bersama maknanya dalam perayaan.

Musik-liturgis diterima atau diakui oleh Gereja sebagai miliknya, milik persekutuan demi kepentingan bersama (dikenal tradisi untuk tidak menulis si komponisnya dalam buku-buku resmi nyanyian-liturgis, tetapi nama mereka ditulis dalam catatan sejarah penyusunan buku). Perlu ada proses menjadikan musik-liturgis itu sebagai milik bersama. Dalam proses ini Gereja melihat betapa pelunya membuat latihan untuk menguasai dan menghayati musik/nyanyian bersama sebagai nyanyian dari hati, nayanyian yang mempengaruhi seluruh pribadi peraya. Jadi ada proses meninggalkan diri sendiri (rasa dan keinginan pribadi atu kelompok khusus) lalu menerima yang umum dan menjadikannya bagian atau milik pribadi demi kepentingan umum. Ini sebuah proses yang tidak gampang, karena yang menjadi tantangan adalah kecenderungan untuk mengutamakan rasa atau keinginan pribadi/kelompok khusus. Aspek personalnya lebih nampak dari pada aspek liturgis (yang umum). Kepentingan pribadi lebih menonjol dari pada kepentingan umum.

Untuk memenuhi persyaratan sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi juga mesti berfungsi liturgis dalam arti baik teks maupun lagunya sesuai dengan unsur atau tindak liturgis dalam keseluruhan tata perayaan liturgis. Maka kita dapati nyanyian yang cocok untuk liturgi pembaptisan tetapi tidak sesuai untuk liturgi pernikahan. Nyanyian-liturgis untuk Ekaristi juga mesti sesuai dengan teks liturgi Ekaristi dan tindakan liturgis dalam unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu dari liturgi Ekaristi. Sebuah lagu pembuka tentu tidak cocok untuk kesempatan seruan “kudus-kudus”, meskipun dari sudut kebenaran teks dan keindahan lagu tak ada cacat. Dalam hal ini tempat liturgis lagu pembuka itu tidak cocok atau nyanyian itu tidak mempunyai fungsi liturgis karena dinyanyikan pada saat “kudus kudus”.

Memilih Musik Liturgis

Perlu diketahui juga teks-teks liturgis mana saja yang dapat dinyanyikan (khususnya dalam liturgi Ekaristi). Ada teks-teks baku-tetap (antara lain Tuhan Kasihanilah Kami, Kemuliaan, Aku Percaya, Kudus-Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah). Nyanyian ini disebutordinarium. Ada juga teks-teks yang dapat berubah atau bervarisi rumusannya sesuai dengan perayaan pada hari bersangkutan dan disebutproprium (Antifon Pembuka atau Lagu Pembuka untuk mengiringi perarakan masuk, Mazmur Tanggapan untuk menanggapi Sabda Allah yang telah dimaklumkan, Alleluia-Bait Pengantar Injil untuk menyiapkan diri mendengarkan pemakluman Injil, Antifon Komuni atau Lagu Komuni selama atau sesudah komuni, Nyanyian Persiapan Persembahan untuk mengiringi perarakan bahan-bahan persembahan dan Lagu Penutup untuk mengiringi perarakan kembali). Teks-teks ini sangat kaya dan berhubungan erat dengan tindakan liturgis, unsur-unsur liturgis, tema perayaan, masa liturgis serta bacaan-bacaan dalam perayaan liturgi. Suatu hal yang patut dipuji adalah kebiasan menyanyikan Mazmur Tanggapan dan Alleluia-Bait Pengantar Injil dengan teks yang bervariasi sesuai dengan hari atau pestanya. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah lagu yang sesuai dengan teks-teks antifon (Pembuka dan Komuni) yang sebenarnya sangat kaya dan bervariasi serta biblis.

Dalam hubungan dengan teks-teks liturgi, terutama yang harus atau boleh dinyanyikan, diharapkan agar susunannya tepat serta mudah dan indah kalau dinyanyikan. Dalam hal ini lagu melayani teks dan bukan sebaliknya. Baiklah kita waspadai nyanyian-nyanyian yang mengorbankan ketepatan dan kebenaran iman demi mempertahankan suatu melodi. Misalnya lagu Bapa Kami Filipina, demi penyesuaian dengan melodinya diubahlah rumusan “jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga” menjadi “jadilah kehendak-Mu di bumi dan di surga”. Mengganti “seperti” dengan “dan” sebenarnya mengubah iman kita akan surga, bahwa di surga dan di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi. Padahal kita percaya bahwa kehendak Tuhan selalu terjadi di surga sedangkan di bumi tidak selalu terjadi karena ulah manusia yang suka melawan kehendak Tuhan, maka kita mohon agar kehendak Tuhan terjadi di bumi seperti di surga. Kalau prinsip “melodi melayani teks” diperhatikan, maka ketepatan dn kebenaran teks-teks liturgis juga dapat lebih dijamin.

Ditulis oleh: Romo Bernardus Boli Ujan SVD (Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI tahun 2002-2008)
Tulisan ini pernah dimuat sebagai artikel dalam Majalah Bulanan Kristiani INSPIRASI, Lentera Yang Membebaskan, No 24, Tahun II Agustus 2006, hlm 27-29.
Sumber: http://katolisitas.org/2010/08/06/musik-liturgi/

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP